Investigasi Berdasarkan Testimoni Sri Radjasa Chandra, Mantan Intel BIN
JAKARTA – Misteri di balik belum tertangkapnya Mohamad Riza Chalid, sosok yang kerap dijuluki “The Gasoline Godfather”, kembali menyeruak. Meski telah berstatus tersangka dalam kasus tata kelola minyak mentah dan berbagai perkara migas lainnya, keberadaan Riza Chalid tetap gelap. Upaya penegakan hukum berulang kali seperti membentur dinding tak kasatmata.
Sejumlah analis telah memberi pendapat, namun salah satu yang paling tajam datang dari Sri Radjasa Chandra, mantan intel Badan Intelijen Negara (BIN) yang puluhan tahun memantau industri migas dari sisi geopolitik, keamanan, dan operasi bisnis. Dalam penjelasannya, Sri Radjasa menyebut bahwa kekuatan Riza Chalid tidak bisa dipandang sebagai jaringan kriminal biasa—melainkan jaringan multi-lapis yang mencakup pelaku industri, pejabat, intelijen asing, hingga konglomerasi global yang kepentingannya terhubung dengan pasokan energi Indonesia.
Inilah lapisan-lapisan kekuatan itu, sebagaimana diurai Sri Radjasa, yang membuat aparat sulit menjangkau tokoh kontroversial tersebut.
1. Jejaring Bisnis Global yang Menancap Sampai Negara-Negara Teluk
Menurut Sri Radjasa, Riza Chalid bukanlah “broker minyak lokal”, melainkan pemain yang memiliki koneksi ke jaringan pedagang minyak global. Dalam dunia migas, jaringan semacam ini menentukan siapa yang bisa mengakses kontrak jangka panjang, mengatur harga lifting, hingga menentukan arah pasokan energi ke suatu negara.
Sri Radjasa menyebut, Riza memiliki akses langsung ke perusahaan-perusahaan trader raksasa yang berbasis di Singapura dan Dubai, hubungan dengan pemilik kapal tanker dan fasilitas floating storage, relasi dengan pejabat negara-negara Teluk melalui jaringan perantara yang dikenal sebagai energy brokers.
“Siapa pun yang ingin menangkapnya harus siap berhadapan dengan kepentingan energi negara lain,” ujar Sri Radjasa.
Ini menjelaskan mengapa keberadaan Riza Chalid sulit dideteksi. Negara-negara dengan industri perdagangan minyak besar memiliki kepentingan agar jaringan tertentu tetap berjalan stabil—dan aktor seperti Riza menjadi bagian integral dari struktur itu.
2. Keterlibatan Dalam Off-taker Minyak Mentah Indonesia
Dalam sejumlah penjelasannya, Sri Radjasa menegaskan bahwa kontrol terhadap penentuan off-taker—pihak yang membeli dan mengelola minyak mentah Indonesia—merupakan salah satu akar kekuatan Riza.
Selama bertahun-tahun, penunjukan off-taker sering kali ditengarai tidak berdasarkan mekanisme lelang terbuka. Sosok-sosok seperti Riza memiliki pengaruh untuk mengatur siapa yang mendapat kontrak, berapa volume, dan ke mana minyak akan diarahkan.
“Begitu Anda menguasai off-taker, Anda menguasai denyut nadi energi nasional,” kata Sri Radjasa.
Akses seperti ini membuat keberadaan Riza tidak sekadar kriminal, tetapi strategis.
Jika ia hilang dari peredaran, bisa terjadi “gangguan” dalam rantai pasok migas yang selama ini berjalan di balik layar.
3. Perlindungan dari Elite Politik dalam Negeri
Sri Radjasa secara terang menyebut bahwa pengaruh Riza menjangkau berbagai spektrum elite politik.
Menurutnya, banyak pejabat yang selama bertahun-tahun “berhutang budi” kepada Riza, terutama terkait pendanaan politik.
Dalam setiap siklus politik nasional, ada aliran dana yang bersumber dari bisnis energi. Para pelaku, kata Sri Radjasa, memahami bahwa Riza adalah salah satu simpul dalam sistem yang tak tercatat tersebut.
Aliansi seperti ini tidak selalu berupa perlindungan langsung, tetapi bisa hadir berupa: akses informasi sebelum operasi penegakan hukum, koordinasi “informal” untuk memperlambat proses hukum, konflik kepentingan yang membuat kasus migas sulit disentuh.
Ini bukan sekadar teori, tetapi pola yang berulang dalam sejumlah kasus besar migas sejak awal 2000-an.
4. Dukungan dari Mantan Pejabat dan Jaringan Keamanan
Sebagai mantan intel, Sri Radjasa memberi konteks yang jarang dibahas publik: ada jaringan keamanan non-formal yang sejak lama terkait dengan operasi perdagangan minyak.
Bukan dalam konteks ilegal, melainkan karena industri migas selalu dianggap sebagai sektor nasional vital yang berkaitan dengan keamanan negara. Dalam sistem semacam ini, pelaku bisnis yang memiliki hubungan dengan aparat tertentu bisa mendapat perlindungan tingkat tertentu.
Menurut Sri Radjasa, jaringan keamanan ini berlapis-lapis: mantan aparat, jaringan intel perdagangan internasional, hingga kelompok logistik yang mengamankan jalur distribusi.
Jejaring seperti inilah yang membuat mobilitas seseorang seperti Riza dapat dilakukan tanpa meninggalkan jejak konvensional.
Riza Chalid (kiri) dan Purnomo Yusgiantoro (kanan). Purnomo Yusgiantoro berperan besar dalam karir Riza Chalid dalam membangun jaringan migas dunia
5. Kendala Penegakan Hukum: Dokumen, Akses, dan Wilayah Yurisdiksi
Sri Radjasa menekankan: upaya menangkap Riza bukan hanya soal keberanian, tetapi soal yurisdiksi internasional.
Banyak transaksi yang melibatkan Riza dilaporkan berada dalam skema: perusahaan cangkang di negara bebas pajak, rekening multi-negara, dokumen kontrak yang tidak berada di Indonesia, dan aset yang tersebar di Singapura, Timur Tengah, dan Hong Kong.
Operasi seperti ini membuat aparat Indonesia bergantung pada mutual legal assistance (MLA), yang prosesnya panjang dan rentan “macet” karena kepentingan negara lain.
6. “Terus Bergerak dan Tidak Menjejak”: Karakter Seseorang yang Terlatih Beroperasi di Luar Radar
Sri Radjasa menggambarkan Riza sebagai figur yang memahami bagaimana bekerja di sektor berisiko tinggi. Pergerakannya tidak seperti pengusaha biasa.
“Dia tahu cara membuat dirinya tidak mudah dilacak. Bukan hanya sembunyi—tetapi membangun ruang gerak di luar jangkauan aparat,” ujar Sri Radjasa.
Dalam dunia perdagangan minyak internasional, mobilitas lintas negara, penggunaan jet charter, perubahan identitas bisnis, dan keberadaan di zona ekonomi khusus adalah praktik umum.
Jika aparat tidak mampu menembus jaringan ini, operasi penangkapan akan terus gagal.
Kesimpulan: Kasus Riza Bukan Sekadar Hukum, Tapi Juga Geopolitik Energi
Testimoni dan analisis Sri Radjasa Chandra menunjukkan bahwa keberadaan Riza Chalid bukanlah persoalan kriminal semata. Ini adalah persimpangan antara energi, politik, bisnis global, dan jaringan keamanan internasional.
Upaya menangkapnya membutuhkan: koordinasi intelijen antarnegara, kemauan politik tingkat tinggi, transparansi penuh dalam tata kelola migas, pemutusan hubungan antara bisnis energi dan pendanaan politik, serta reformasi besar-besaran dalam proses penunjukan off-taker minyak Indonesia.
Tanpa itu, kata Sri Radjasa, Riza akan tetap menjadi “bayang-bayang” yang bergerak bebas di dunia energi internasional—meski menyandang status tersangka.
EDITOR: REYNA
Baca juga:
- Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara
- Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas
- Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (3-Tamat): Korupsi Migas Sudah Darurat, Presiden Prabowo Harus Bertindak!
Related Posts

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Penjara Bukan Tempat Para Aktifis

FTA Mengaku Kecewa Dengan Komposisi Komite Reformasi Yang Tidak Seimbang

Keadaan Seperti Api Dalam Sekam.

Ach. Sayuti: Soeharto Layak Sebagai Pahlawan Nasional Berkat Jasa Besarnya Dalam Fondasi Pembangunan Bangsa

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah

Pak Harto Diantara Fakta Dan Fitnah

Surat Rahasia Bank Dunia: “Indonesia Dilarang Membangun Kilang Minyak Sendiri”

Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Mengaku Ditekan 2 Tokoh (PY) dan (HR) Untuk Memperhatikan Perusahaan Riza Chalid

Prabowo Melawan Akal Sehat atas Dugaan Ijazah Palsu Jokowi dan Kereta Cepat Whoosh






Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun - Berita TerbaruNovember 14, 2025 at 11:13 am
[…] Jejak Kekuatan Riza Chalid: Mengapa Tersangka “Godfather Migas” Itu Masih Sulit Ditangkap? […]