Karen Agustiawan: Membongkar “Aksi Kolektif” di Balik Tuduhan Korupsi LNG Pertamina

Karen Agustiawan: Membongkar “Aksi Kolektif” di Balik Tuduhan Korupsi LNG Pertamina
Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014, Karen Agustiawan

JAKARTA – Di ruang pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dingin dan sunyi, suara langkah Karen Agustiawan terdengar tenang namun pasti. Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) itu kembali menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Namun kali ini, ia datang bukan untuk sekadar menjawab pertanyaan — melainkan membawa bukti yang ia yakini mampu membalikkan tuduhan korupsi yang disangkakan kepadanya.

“Hari ini, 5 Oktober 2023, saya telah memberikan keterangan sebagai tersangka untuk kedua kalinya kepada penyidik, dengan 25 butir pertanyaan. Saya juga menyerahkan beberapa bukti yang mendukung posisi saya dan membantu penyidik untuk secara obyektif mempertimbangkan fakta perkara ini,” ungkap Karen dalam keterangan tertulis kepada redaksi.

Nada pernyataannya bukan nada pembelaan emosional, melainkan argumentatif dan penuh detail. Seperti seseorang yang telah lama memendam keyakinan bahwa tuduhan yang menimpanya bukan persoalan pribadi, melainkan salah tafsir atas sebuah keputusan korporasi besar yang bersifat kolektif.

“Ini Bukan Keputusan Pribadi”

Karen dengan tegas menolak anggapan bahwa keputusan kerja sama Pertamina dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL) di Amerika Serikat — yang kini menjadi dasar tuduhan korupsi — merupakan kebijakan sepihak dirinya.

“Keputusan Pertamina untuk bekerja sama dengan CCL adalah keputusan kolektif kolegial dan merupakan aksi korporasi. Saya hanya menjalankan perintah jabatan berdasarkan Perpres 5/2006, Inpres 1/2010, Inpres 14/2011, serta Surat UKP4 2013.”

Dalam dunia korporasi, keputusan kolektif kolegial berarti bahwa setiap direktur memiliki hak suara yang setara. Karen menegaskan, bahkan jika ia menolak, keputusan tetap bisa berjalan bila mayoritas anggota direksi menyetujui.

“Kalaupun saya menyatakan tidak setuju atas penandatanganan LNG SPA dengan CCL, namun tujuh anggota direksi lain tetap menyetujui. Maka, keputusan itu tetap berjalan sesuai prinsip one man one vote.”

Artinya, tudingan bahwa Karen bertindak sendiri dalam menandatangani kontrak dengan CCL menjadi tak berdasar bila melihat struktur pengambilan keputusan Pertamina saat itu.

Train LNG Corpus Christi Liquefaction (CCL) Texas AS

Kajian Mendalam, Konsultan Internasional

Bukti lain yang dibawa Karen memperlihatkan bahwa kerja sama LNG tersebut bukan keputusan spontan. Ia menunjukkan dokumen analisis dan kajian teknis yang disusun bersama Wood Mackenzie, K.C. Wilson & Associates (Singapura), dan Fact Global Energy (FGE) — tiga konsultan internasional yang berpengalaman di industri energi.

“Sebelum penandatanganan kontrak, sudah ada kajian menyeluruh dan review berjenjang. Bahkan permintaan alokasi gas sudah diajukan ke Kementerian ESDM, tapi belum mendapat kepastian hingga akhir 2013. Padahal UKP4 menargetkan adanya alokasi gas (B04) dan penandatanganan kontrak LNG (B09) sebagai indikator keberhasilan proyek FSRU Jawa Tengah,” jelas Karen.

Dengan kata lain, penandatanganan itu dilakukan untuk mengejar target strategis pemerintah sendiri, bukan inisiatif pribadi.

Sengkarut Prosedur dan Persepsi

Salah satu isu yang menjerat Karen adalah ketiadaan persetujuan Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Namun Karen menunjukkan memorandum legal corporate tanggal 24 Agustus 2013, yang menyatakan penandatanganan LNG SPA tidak memerlukan izin tersebut.

Pasal 11 ayat (8) dan (10) Anggaran Dasar Pertamina, serta Board Manual 2013, menjadi dasar hukumnya.

“Jadi semuanya bukan keputusan saya seorang. Tidak pernah ada intervensi dari saya kepada tim pengadaan LNG. Semua proses berjalan sesuai jalur korporasi.”

Keterangan ini memperkuat narasi bahwa kasus ini bukan soal penyimpangan prosedural, tapi perbedaan tafsir terhadap batas wewenang direksi.

Kontrak yang Berganti, Data yang Terpotong

Dalam pemeriksaannya, Karen juga mengungkap fakta penting: kontrak LNG yang dianggap merugikan negara itu ternyata tidak berlaku lagi sejak 2015.

“Saya mengundurkan diri tahun 2014. Kontrak yang berlaku hari ini ditandatangani tahun 2015, menggantikan seluruh pasal kontrak 2013 dan 2014. Tapi anehnya, penentuan untung-rugi hanya dihitung sampai tahun 2021, padahal kontrak berjalan sampai 2040.”

Pernyataan ini membuka ruang analisis baru: apakah benar ada kerugian negara, atau hanya potongan data finansial yang belum mencerminkan nilai keseluruhan proyek jangka panjang?

Karen bahkan menegaskan bahwa hasil perhitungan terbaru menunjukkan posisi Pertamina justru diuntungkan.

“Saya sudah menyerahkan bukti yang menunjukkan kontrak dengan CCL menguntungkan. Kalau dihitung secara penuh hingga 2040, tidak ada kerugian.”

Fasilitas tangki LNG Corpus Christi Liquefaction (CCL) Texas AS

Antara Fakta Hukum dan Fakta Korporasi

Kasus LNG ini menggambarkan benturan dua logika besar: logika hukum pidana dan logika korporasi.
Dalam hukum pidana, motif dan tanggung jawab individu menjadi fokus.
Dalam dunia bisnis, keputusan selalu diambil secara sistemik, kolektif, dan seringkali dengan risiko ekonomi yang tak bisa diukur secara sederhana.

Seorang pengamat energi dari Universitas Indonesia menilai, kasus Karen memperlihatkan kesenjangan pemahaman aparat hukum terhadap tata kelola korporasi BUMN.

“Direksi BUMN bekerja dalam mandat strategis yang diarahkan negara. Bila setiap keputusan bisnis jangka panjang dikriminalisasi karena risiko keuangan jangka pendek, maka tidak akan ada yang berani mengambil keputusan besar di masa depan,” ujarnya.

Mencari Titik Terang

Pernyataan Karen Agustiawan pada 5 Oktober 2023 itu bukan sekadar pembelaan diri — melainkan permintaan agar penyidikan melihat konteks yang lebih luas. Ia menegaskan, bukti-bukti yang dibawanya tidak dimaksudkan untuk menghindar, melainkan memperlihatkan bagaimana keputusan strategis Pertamina lahir dari mekanisme kolektif yang sah.

Sampai kini, proses hukum masih berjalan. Namun pernyataannya hari itu menandai satu hal penting: bahwa dalam pusaran tuduhan korupsi bernilai miliaran dolar, masih ada ruang bagi logika, bukan hanya prasangka.

Refleksi

Kasus ini menunjukkan kompleksitas tata kelola energi nasional. Antara mandat negara, kepentingan bisnis global, dan hukum yang sering kaku dalam menilai risiko ekonomi.
Karen Agustiawan, dengan segala kontroversinya, kini berdiri di simpang jalan: antara sejarah yang menilainya sebagai pionir kebijakan energi strategis, atau pengadilan yang mungkin menganggapnya bersalah.

Namun satu hal pasti — dalam ruang dingin KPK hari itu, ia tidak datang untuk menyerah.

Ia datang dengan data, dokumen, dan keyakinan, bahwa kebenaran teknokratis suatu hari akan berbicara lebih lantang dari stigma korupsi yang menempel pada namanya.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K