Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR
Masyarakat antri beli gas elpiji 3 KG, karena mendadak hilang ditingkat pengecer terdekat.

Oleh : Dr. Baskara Agung Wibawa*

 

Kompor di dapur yang menguji Kedaulatan

Ada satu ruang kecil yang diam-diam mampu mengatakan apakah sebuah bangsa benar-benar merdeka atau tidak..Bukan ruang rapat kabinet, bukan kilang minyak raksasa, bukan ladang gas di tengah laut, bukan pula ruang komando militer.

Ruang itu jauh lebih sederhana, sering dianggap remeh, dan jarang masuk analisis ekonomi para ahli: dapur. Ya, dapur, tempat ibu-ibu memanaskan wajan, tempat bapak-bapak membuat kopi hitam, tempat anak-anak kost membuat mi instan di malam hari.

Dapur terlihat kecil, namun di sanalah seluruh rantai energi nasional bermuara. Jika api dapur menyala stabil, negara stabil. Jika api dapur padam, maka seluruh teori kedaulatan energi runtuh.

Itu sebabnya urusan gas dapur bukan urusan remeh. Ini urusan emak-emak makhluk terkuat di bumi, urusan devisa, urusan negara, bahkan urusan martabat. Faktanya, selama puluhan tahun dapur Indonesia menyala dari gas yang sebagian besar bukan milik kita. Tabung hijau 3 kilogram yang kita sebut “tabung melon” itu sejatinya adalah “tabung dolar”.

Tiga per empat LPG Indonesia adalah impor. Konsumsi kita mendekati 10 juta Ton per tahun, sedangkan produksi dalam negeri hanya 1,3 juta Ton. Artinya, setiap pagi ketika kita menyalakan kompor, setiap tabung melon negara harus mengeluarkan subsidi sebesar sepuluh ribu per kg x 3 kg.

Kita sebenarnya sedang membakar uang yang seharusnya bisa membangun sekolah, rumah sakit, atau jembatan.

Setiap suara “ceklek” pemantik kompor adalah bunyi kecil yang menyembunyikan kenyataan besar: dapur Indonesia tergantung pada kapal tanker dari Qatar atau Uni Emirat Arab.

Dapur adalah ruang paling domestik, tetapi bahan bakarnya adalah yang paling internasional. Ironi sebesar itu tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Oleh karena itu Indonesia harus mencari jalan keluar. Banyak jalannya, dan satu pun tidak sederhana.

Namun semuanya menuju satu tujuan: kedaulatan kompor. Sebuah gagasan yang terdengar lucu, namun sebenarnya sangat serius: bagaimana agar api kompor rakyat menyala dari gas yang lahir dari tanah Indonesia sendiri.

Bauran Energi yang saling melengkapi

Pencarian itu membawa kita pada empat jalur energi dapur yang berbeda karakter: LPG, DME, Jargas, dan CNGR. Keempatnya bukan hanya solusi teknis; mereka adalah empat kisah yang saling silang, saling menambal lubang, saling mengisi peran.

Keempatnya mempunyai keunggulan dan sekaligus kelemahan masing-masing, sebagaimana pepatah “tidak ada gadis yang tak retak”. Dan bila digabungkan, mereka menjadi mozaik besar yang bisa mengakhiri ketergantungan kita pada impor LPG.

Masyarakat harus antri untuk beli elpiji 3 kg

LPG adalah aktor lama. Ia berjasa, loyal, dan rajin. Ia telah menyelamatkan Indonesia dari krisis minyak tanah. Tanpa LPG, energi dapur kita akan kacau. LPG adalah energi transisi yang paling sukses dalam sejarah Indonesia.

Tapi LPG membawa kelemahan bawaan: ia impor. Ia menumpang kapal tanker sepanjang hidupnya. Ia stabil di dapur rakyat, tetapi rapuh di meja anggaran negara.

Setiap kenaikan harga minyak dunia membuat subsidi naik seperti mercusuar. Setiap konflik di Timur Tengah membuat pemerintah mulai berkeringat.

LPG adalah teman baik, tetapi teman baik yang terlalu mahal dan terlalu labil yang mudah berubah-ubah.

Lalu datanglah DME, Dimethyl Ether. DME seperti anak muda yang idealis: penuh semangat, ingin mematahkan ketergantungan pada LPG impor. DME lahir dari batubara—bahan baku yang selama ini kita pandang sebelah mata.

DME adalah bukti bahwa batubara bisa naik kelas. Ia tidak lagi sekadar menjadi bahan bakar yang menghitamkan cerobong, tetapi dapat diubah menjadi gas bersih yang menyala di kompor ibu-ibu.

Kementerian ESDM mencatat bahwa jika pabrik DME Tanjung Enim beroperasi penuh, Indonesia bisa menggantikan satu juta ton LPG impor setiap tahun (https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/resmikan-proyek-hilirisasibatubara-jadi-dme-presiden-ri-tekan-impor-dan-serap-lapangan-kerja-).

Ini bukan angka kecil. Ini bukan retorika. Ini adalah langkah yang benar-benar bisa mengubah struktur energi kita.

Namun DME tidak datang sebagai malaikat tak bersayap. Ia datang bersama tantangan. Investor Air Products dari Amerika mundur karena lebih tertarik pada proyek hydrogen di AS, dicarilah mitra baru investor dari China.

Perhitungan keekonomian yang membuat banyak analis mengernyitkan dahi. Harga produksi DME yang awalnya jauh lebih mahal dibanding LPG impor (https://perhapi.or.id/lika-liku-proyek-dme-pengganti-lpgditinggal-investor-terganjal-keekonomian/).

Pembangunan pabrik raksasa yang memerlukan waktu. Semua itu membuat DME tampak seperti mimpi yang mahal, mimpi yang terlalu besar untuk dikejar.

Tetapi bangsa ini tidak boleh memutuskan masa depannya hanya dengan kalkulator. Untuk rakyat, BUMN jangan hanya mengejar NPAT (Net Profit After Tax – bahasa kerennya dari bathi). Jika kita hanya mengejar yang termurah, kita tidak akan pernah merdeka.

Kedaulatan memang tidak murah. Kemerdekaan memang tidak gratis.

Sebenarnya, bahan bakar kompor di dapur yang berasal dari batubara bukan barang baru. Di area Menteng, Jakarta kota, Bogor, Bandung, Makassar, Surabaya pada jaman belanda sudah dialiri gas yang berasal dari batubara.

Yang mengalirkan adalah perusahaan swasta Belanda bernama Firma L.J.N. Eindhoven & CO Gravenhage yang
didirikan pada tahun 1859.

Selama era kolonial, perusahaan ini beroperasi untuk mengalirkan gas buatan dari batubara, namun statusnya menjadi perusahaan negara (Perusahaan Gas Negara) setelah dinasionalisasi pada 13 Mei 1965.

Bayangkan sudah sejak lebih dari 160 tahun, gas kota dari batu bara telah mengalir di republik ini.

Dan di tengah jalur panjang DME, ada jalur energi lain yang jauh lebih senyap tetapi sangat efektif: Jargas – Jaringan Gas Kota.

Kalau DME adalah energi masa depan, Jargas adalah energi masa kini. Ia sudah bekerja. Sudah mengalir. Sudah masuk ratusan ribu rumah.

Tetapi karena bentuknya pipa kecil di bawah tanah, bukan tabung, Jargas tidak pernah viral. Jargas tidak pernah masuk trending topic. Ia hanya mengalir. Senyap, stabil, setia.

Gas bumi dialirkan langsung dari sumbernya ke kompor rakyat di kota-kota besar. Tidak ada logistik. Tidak ada kapal. Tidak ada pengisian tabung. Tidak ada antrean. Tidak ada impor. Gas mengalir, klik api menyala.

Namun Jargas memiliki batasan yang sangat Indonesia: geografi. Indonesia terlalu besar, terlalu luas, terlalu terpencar, terlalu beragam untuk dihubungkan hanya dengan pipa.

Pipa membutuhkan kepadatan, jarak antar rumah harus dekat, makanya jargas hanya cocok untuk perkotaan. Jargas adalah teknologi yang sempurna, tetapi tetap saja tidak sempurna dengan berbagai kelemahannya.

Per Sambungan Rumah Tangga (SRT) membutuhkan 7,5 s/d 10 juta rupiah untuk pasang jaringannya. Karena itu Jargas relatif murah dan praktis. Jargas harus menjadi pilar – tetapi bukan satu-satunya solusi.

Kemudian, dari balik ruang rapat inovasi, lahirlah sebuah gagasan yang masih dalam kandungan: CNGR – Compressed Natural Gas for Rakyat. CNGR belum lahir. Belum diluncurkan. Belum dipakai oleh rumah tangga. Tetapi denyutnya sudah terasa.

Proyek pipa gas bumi West Natuna Transportation Syastem (WNTS) ke Pulau Pemping, Provinsi Kepulauan Riau.

CNGR adalah gagasan untuk memampatkan gas bumi dalam tabung kecil yang aman, ringan, terjangkau, dan bisa diangkut ke daerah yang tidak memiliki pipa Jargas. Dengan CNGR, dapur di pulau kecil yang selama ini bergantung pada LPG bisa mendapatkan gas bumi Indonesia tanpa harus menunggu jaringan pipa dibangun selama puluhan tahun.

Murah, tentu – karena komoditas dari gas bumi yang telah kita miliki. Butuh subsidi? Iya tapi tidak besar.

Sebagaimana yang lain CNGR tetap butuh subsidi, namun tidak sebesar yang lain. Isi tabung tidak butuh subsidi, tapi negara perlu memberikan subsidi tabungnya. Sehingga subsidi terukur dan efisien.

Bagaimana jalur distribusi dan penjualan, sama persis dengan DME dan LPG. Sehingga agen bisa jualan LPG, DME sekaligus CNGR. Ekosistem LPG sekarang tidak berubah, bahkan bisa jualan aneka ragam.

Namun CNGR bukan bayi yang mudah dilahirkan. Ia membutuhkan keputusan teknologi: apakah memakai CNG 200 bar yang berat dan keras, atau ANG 30–60 bar yang aman dan ringan? Apakah tabungnya baja atau komposit? Apakah tekanan rendah cukup untuk memasak? Apakah ibu-ibu bisa mengangkat tabung tersebut dengan mudah?
Bagaimana standar keselamatannya? Bagaimana harganya? Bagaimana regulasinya?

Semua pertanyaan itu harus dijawab sebelum CNGR boleh keluar dari ruang klinik inovasi. Kita tentu saja sangat menunggu para insinyur Pertamina di Divisi RTI (Research, Technology, & Innovation) dan Divisi Engineering & Technology di PGN menyelesaikan proses ini.

Dalam perspektif teknis, keempat sumber energi ini adalah empat pendekatan yang berbeda. LPG adalah cair dengan tekanan rendah dan sangat mudah dipasarkan. DME adalah cair sintetis yang bisa dicampur LPG tanpa mengganti perangkat. Jargas adalah gas murni yang dialirkan lewat pipa. CNGR adalah gas murni yang dimampatkan dalam tabung.

LPG sangat fleksibel, tetapi impor. DME sangat mandiri, tetapi berat di investasi. Jargas sangat bersih, tetapi terbatas jangkauan. CNGR sangat fleksibel, tetapi sedang mencari format teknis terbaik.

Dalam perjalanan panjang kedaulatan energi, empat jalur ini bisa menjadi jalan pulang bagi bangsa Indonesia menuju dapur yang mandiri. Dapur yang tidak takut impor. Dapur yang tidak dihantui harga minyak dunia. Dapur yang tidak ditentukan oleh kontrak ekspor orang lain. Dapur yang menyala dari gas milik bangsa sendiri. Dapur yang membuktikan bahwa kedaulatan dimulai dari ruang terkecil – ruang yang setiap hari kita masuki untuk membuat kehidupan berjalan.

Penutup

Bayangkan suatu pagi di sebuah desa kecil, ibu-ibu menyalakan kompor dengan CNGR. Di sebuah kota besar, keluarga menyalakan Jargas. Di kota industri, tabung-tabung DME mulai mengisi pasar. Di seluruh Indonesia, LPG masih beredar sebagai penyangga agar dapur tetap tenang.

Dan suatu hari nanti, api kecil itu akan menyala dari setiap dapur rakyat Indonesia, dari bahan bakar domestik. Kita jadikan kompor di dapur semakin berdaulat di negeri yang kaya batubara dan gas bumi. Kita bukan hanya menyalakan api gas, tetapi kita sedang mengobarkan api kedaulatan.

*Dr. Baskara Agung Wibawa adalah Anggota Komite BPH Migas periode 2025-2029. Tulisan ini merupakan
opini pribadi dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K