Oleh: Ibrahim Aji
(Content Creator/ Digital Enthusiast)
Sebelum ada media sosial, manusia berbincang face to face Dalam realitas ragawi. Melihat mimik, merasakan emosi, terus mencoba saling memahami dan mencapai kesepakatan.
Tidak mudah mencari harmoni, selalu ada perdebatan, antarsuami isteri atau tetangga, teman misalnya, tentang sesuatu yang diperdebatkan. Tapi mekanisme moral memunculkan values sebagai acuan para pihak. Maka harmoni pun tercapai.
Di era media sosial, waktu habis di depan layar, kita menjadi masyarakat tontonan (society of spectacle). ketidakhadiran ragawi dalam mode komunikasi terrkini, via Whatsapp misalnya, juga membuat kita tidak melihat mimic, merasakan emosi lawan bicara, apalagi untuk berempati dan mencari harmoni.
Representasi Bukan Kebenaran
Ketidakhadiran ragawi dalam komunikasi digital tidak hanya menghilangkan konteks dari teks, juga menjadikan teks sebagai kebenaran yang diyakini parapihak. Apa yang kita katakan di WhatsApp adalah bahasa dan bahasa adalah representasi semesta.
Tentu, representasi adalah wakil, bukan semesta. Sama seperti Jam tangan atau jam dinding yang mewakili waktu. Waktu bukan jam, waktu adalah kesadaran eksistensial akan saat ini (atau yang kita anggap saat ini).
Sama seperti poster gemoy kekanakan salah satu paslon di pilpres 2024, itu adalah representasi yang dimanipulasi. Tentu pada realitas ragawi, paslon itu tidak gemoy menggemaskan kekanakan.
Mudah Tersinggung
Kembali ke soal komunikasi digital. Hilangnya ragawi dalam komunikasi interpersonal juga menghilangkan mekanisme moral untuk mengacu pada values. Itulah mengapa, kita lebih mudah marah di WA, jika ada Pernyataan yang tidak sejalan dengan preferensi kia.
Kita jadi mudah tersinggung ketika sang teman hanya menjawab pertanyaan dengan klaimat-kalimat pendek, atau hanya dibaca, tidak dibales.
Banyak pertengkaran terjadi karena kita mengambil keputusan dari komunikasi digital.
Soal ini sebenarnya sudah diperingatkan pada 1930-an oleh Neil Postman, setelah beberapa dekade sebelumnya, Amerika dan dunia terpana oleh kecepatan komunikasi via telegraf.
Moda komunikasi yang mirip komunikasi digital, kalimat pendek, cepat sampai, tapi datang tanpa konteks bahkan values di belakangnya.
Menuju Peradaban Dagelan
Teman-teman, teknologi mengubah dunia, cara kita hidup dan berpikir, bahkan nilai-nilai.
Sebelum ada kendaraan bermotor, kota dibangun untuk manusia. hari-hari ini, kebanyakan kota-kota dibangun untuk kendaraan bermotor. Jalan terus diperluas, buat jembatan layang, permukiman penduduk digusur, tapi tetap saja macet.
Di era 80-an selebritas biasanya adalah seniman seperti pemusik dan penyanyi berkualitas. Hari ini, dengan dmeokratisasi konten, semua bisa jadi selebritas hanya dengan joged-joged atau live lempar-lembaran terigu ke wajah di tiktok.
Nilai-nilai kita akan siapa yang berhak jadi selebritas telah berubah, bukan lagi seniman berkualitas, cukup badut dadakan yang gak punya rasa malu untuk berulah di depan kamera ponsel
Can You Handle The Truth?
Perubahan adalah keniscayaan. Juga nilai-nilai yang berubah. Pertanyaannya, after you know the truth, can you handle it? Setelah kita sadari bahwa kita sedang berubah, menuju peradaban dagelan, can you handle it?
Itulah mengapa, baru sekarang, wapres bisa diambil dari orang yang belum makan asam garam di jagad politik, apalagi kenegarawanan. Apalagi dengan kisruh pelanggaran etis pendaftarannya. Dan, bangsa ini pun akhirnya menerimanya.
Jujur sampai saat ini saya belum bisa menemukan jawaban, atas pertanyaan: after you know the truth, can you handle it?
EDITOR: REYNA
Related Posts

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

Negeri di Bawah Bayang Ijazah: Ketika Keadilan Diperintah Dari Bayangan Kekuasaan

Novel “Imperium Tiga Samudra” (11) – Dialog Dibawah Menara Asap

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (3-Tamat): Korupsi Migas Sudah Darurat, Presiden Prabowo Harus Bertindak!

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas

Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila



No Responses