Oleh: Rizal, mengutip Cak Nur dari buku bunga rampai Fatsoen
Ternyata masih banyak orang yang ingin menjadi priyayi: masuk kabinet, mendapat pangkat, dan seterusnya. Apalagi dalam keadaan di mana ada kesejajaran yang sangat mengkhawatirkan di negeri kita ini: antara jabatan dan kekayaan. Menjabat berarti menjadi kaya. Godaan menjabat itu menjadi gabungan antara godaan tahta dan harta.
Melihat gejala yang sangat mengkhawatirkan ini, sudah seharusnya kita terus-menerus menanamkan kembali ide mengenai oposisi sampai tiba saatnya di mana seseorang merasa terhormat menjadi oposisi; merasa terhormat berada di luar pemerintahan; dan merasa terhormat tidak mempunyai derajat atau pangkat seperti yang dipahami dalam masyarakat yang dijiwai oleh feodalisme absolut itu. Oposisi tidak perlu dipahami sebagai sikap menentang (to oppose memang berarti menentang), sebab dalam oposisi kita ada pula segi to support-nya, sehingga dalam konteks politik, oposisi lebih merupakan kekuatan penyeimbang, suatu check and balance, yang bisa membuat perasaan-perasaan tersumbat tersalurkan.
Pada dasarnya, perlunya oposisi bisa dimulai dengan suatu postulat yang sederhana sekali, yaitu bahwa masalah sosial dan politik tidak bisa dipertaruhkan dengan iktikad baik pribadi – betapapun klaim orang itu mempunyai iktikad baik, sebab yang dipertaruhkan adalah kehidupan orang banyak. Dan kalau sesuatu itu sudah bersifat sosial yang menyangkut orang banyak, maka itu harus dipersepsi, dipahami, dan dipandang sebagai persoalan yang terbuka, di mana partisipasi menjadi suatu bentuk keharusan. Salah satu bentuk partisipasi adalah oposisi, yakni suatu kegiatan sosial-politik yang mengingatkan, jangan sampai kita menjadi korban yang fatal untuk suatu kenyataan yang sederhana: bahwa manusia itu selalu bisa salah.
Kini kita sudah berhasil memasuki tahap paling penting dalam kehidupan sosial-politik, yaitu memasuki transisi menuju demokrasi. Tetapi, dibandingkan dengan tahap-tahap sebelumnya, ini merupakan tahap paling sulit, karena menuntut banyak sekali persyaratan, yang apabila kita renungkan akan terdengar sebagai klise, bahkan stereotipe, seperti misalnya perlunya kedewasaan politik, kesanggupan menerima perbedaan, dan menyelesaikan perbedaan itu di dalam batas-batas keadaban politik, bahkan keadaban itu sendiri.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Penasehat Hukum RRT: Penetapan Tersangka Klien Kami Adalah Perkara Politik Dalam Rangka Melindungi Mantan Presiden Dan Wakil Presiden Incumbent

Negeri di Bawah Bayang Ijazah: Ketika Keadilan Diperintah Dari Bayangan Kekuasaan

Novel “Imperium Tiga Samudra” (11) – Dialog Dibawah Menara Asap

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (3-Tamat): Korupsi Migas Sudah Darurat, Presiden Prabowo Harus Bertindak!

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas

Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila



No Responses