Bayang-Bayang Oligarki di Antara Konflik Prabowo dan Jokowi

Bayang-Bayang Oligarki di Antara Konflik Prabowo dan Jokowi
Isa Ansori



Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi

Konflik antara Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin menunjukkan tanda-tanda keterbukaan. Perbedaan kepentingan politik menjadi faktor utama yang memicu ketegangan ini. Prabowo, sebagai presiden baru, berusaha membangun citra sebagai pemimpin yang pro-rakyat, sementara di sisi lain, ia dibebani oleh politik balas budi akibat keterlibatan Jokowi dalam kemenangan Pilpres 2024. Sebaliknya, Jokowi selama pemerintahannya dikenal sebagai presiden yang pro-oligarki, membangun jaringan kekuasaan yang erat dengan kelompok pengusaha besar.

Ketegangan ini semakin nyata dengan kasus perobohan pagar laut dan pencabutan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang dibatalkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid. Keputusan tersebut mencerminkan konflik langsung antara kebijakan Prabowo yang lebih berpihak pada masyarakat nelayan dan pesisir Tangerang dengan kepentingan oligarki yang selama ini mendapat perlindungan dari kebijakan Jokowi.

Tidak hanya itu, kebakaran gedung ATR/BPN turut menimbulkan dugaan adanya kepentingan tertentu yang ingin melemahkan pemerintahan Prabowo. Keputusan Prabowo menunda pemindahan ibu kota negara (IKN) hingga 2028 serta pemblokiran dana pembangunan dengan dalih efisiensi anggaran menjadi indikasi kuat bahwa Prabowo ingin melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi yang menjadikan IKN sebagai proyek strategis bagi kelompok oligarki.

Konflik ini pun berpotensi merambah lebih jauh, termasuk hubungan Prabowo dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan partai-partai politik yang masih loyal kepada Jokowi dalam kabinet. Kasus terbaru, seperti pernyataan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia terkait LPG 3 kg dan sikap Menteri Kelautan dan Perikanan yang menolak perobohan pagar laut, menunjukkan adanya dinamika politik yang masih dikendalikan oleh jaringan lama Jokowi.

Dalam hal kebijakan pembatasan peredaran LPG 3 Kg dari pangkalan ke pengecer yang menimbulkan kegaduhan dan menimbulkan korban jiwa, Sufmi Dasco, ketua pengurus harian DPP Gerindra yang sekaligus juga wakil ketua DPR RI, memberikan kalrifikasi bahwa kebijakan itu bukanlah atas perintah Prabowo, yang menimbulkan kesan bahwa Bahlil yang juga ketua umum Golkar tidak melakukan koordinasi dengan presiden dalam mengambil kebijakan tersebut. Pernyataan Sufmi Dasco lalu dibantah oleh Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kunia menegaskan, tidak mungkin Presiden Prabowo tak mengetahui kebijakan yang diambil para menteri di kabinetnya.

“Semua menteri-menteri, bukan hanya menteri dari Golkar saya rasa tidak ada kebijakannya yang tidak sepengetahuan Presiden. Tidak mungkin. Enggak mungkin ada menteri yang berani-beranian atau yang mengarang-mengarang kebijakan itu tanpa ada koordinasi atau instruksi dari presiden,” kata Doli, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).

Bagaimana Membaca Dinamika Tersebut ?

Dalam sejarah Nusantara, konflik semacam ini bukan hal baru. Pertarungan kekuasaan antara raja-raja kerap dipicu oleh kepentingan politik, aliansi strategis, dan pengaruh kelompok tertentu. Salah satu contohnya adalah rivalitas antara Sultan Agung dari Mataram dengan Kesultanan Banten dan VOC di abad ke-17. Sultan Agung ingin memperluas kekuasaannya dan menentang dominasi VOC, namun di sisi lain, ada kelompok elite yang lebih memilih bersekutu dengan kekuatan dagang asing demi keuntungan pribadi.

Begitu pula dengan pertikaian di Kesultanan Demak pasca wafatnya Raden Patah, yang berujung pada persaingan antara keturunan kerajaan dan para pejabat yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik. Sejarah ini menunjukkan bahwa pertarungan politik di Nusantara kerap berakar pada perebutan pengaruh dan loyalitas kelompok tertentu, bukan sekadar pertarungan antar individu.

Konflik yang terjadi dalam pemerintahan Prabowo ini pun akan berpotensi merambah lebih jauh, termasuk hubungan Prabowo dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan partai-partai politik yang masih loyal kepada Jokowi dalam kabinet. Kasus terbaru, seperti pernyataan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia terkait LPG 3 kg dan sikap Menteri Kelautan dan Perikanan yang menolak perobohan pagar laut, menunjukkan adanya dinamika politik yang masih dikendalikan oleh jaringan lama Jokowi serta terjadinya kebakaran di kantor kementerian ATR BPN.

Di sisi lain, konflik ini juga semakin memperumit hubungan antara Jokowi dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) beserta ketuanya, Megawati Soekarnoputri. PDIP yang sejak awal tidak menyetujui langkah politik Jokowi, kini tampak semakin menjauh dan bahkan mengambil sikap berseberangan. Perseteruan antara Jokowi dan Megawati dapat menjadi keuntungan tersendiri bagi Prabowo, yang mungkin akan mencoba merangkul PDIP dalam upayanya untuk memperkuat basis politiknya dan mengurangi pengaruh Jokowi di pemerintahan.

Jika konflik ini semakin tajam, kemungkinan besar Gibran, sebagai wakil presiden, akan berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, ia merupakan putra Jokowi yang tentu memiliki loyalitas terhadap ayahnya. Namun, di sisi lain, ia berada di dalam pemerintahan Prabowo yang berpotensi berseberangan dengan kepentingan politik Jokowi. Apakah Gibran akan tetap mendukung Prabowo atau justru menjadi jembatan kepentingan Jokowi dalam pemerintahan? Ini masih menjadi pertanyaan besar dalam dinamika politik nasional.

Apakah konflik ini akan membawa perubahan fundamental dalam pemerintahan Prabowo, atau justru menjerumuskannya dalam jebakan politik yang sama? Hanya waktu yang akan menjawab. Yang jelas, dinamika kekuasaan di Indonesia selalu penuh dengan intrik dan manuver politik, sebagaimana yang telah terjadi dalam sejarah panjang Nusantara

Surabaya, 10 Pebruari 2025

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=