Oleh : Salamuddin Daeng
Keuangan Indonesia telah berubah, fondasinya telah bergeser. Dulu pendapatan migas adalah Penopang utama APBN Indonesia, namun sekarang hanya tiggal sepeser, hanya tinggal 4 persen dari total penerimaan negara. Jauh sekali dibamdingkan pendapatan negara dari tembakau.
Maka muncul pertanyaan masih layakkah migas menjadi indikator utama dalam merumuskan APBN? Selama ini produksi minyak, harga minyak menjadi indikator utama, harga minyak mentukan apakah fiskal pemerintah akan membaik atau tidak. Tapi sekarang produksi minyak hanya 35 persen dari kebutuhan nasional. Sebagian besar minyak yang dibakar di Indonesia berasal dari impor.
Migas telah menjadi beban utama Indonesia, beban neraca transaksi berjalan, beban defisit perdagangan dan beban neraca pendapatan primer. Bagi pemerintah mingas telah menjadi beban besar subsidi yang tidak terkendali yang dinikmati oleh segelintir orang yang berbisnis barang subsidi dan menggunakan BBM dan LPG subsidi secara ilegal. Kontrol dan pengawasan lemah. Ada kesan disengaja.
Tidak hanya itu migas malah menjadi beban bagi rakyat beban yang sangat besar. Beban apa? yakni beban pajak. Rakyat harus membayar pajak sangat mahal untuk mendapatkan setiap liter BBM. Rakyat bayar PPN, rakyat bayar PBBKB, rakyat bayar berbagai pungutan lain yang tidak langsung.
Maka jadilah Pertamina sebagai BUMN yang ditugaskan mencari minyak dan menjual BBM sekarang menjadi pedagang BBM impor yang mengeruk pajak dari konsumen BBM. Pertamina menjadi pembayar pajak terbesar, pajak yang dipungut perusahaan tersebut dari pembeli BBM. Jadi terkait migas ini negara dikuras asing dan masyarakat dikuras pajak oleh bangsa sendiri. Tragis kan?
Sekarang bagaimana seharusnya APBN? Seharusnya dimulai dengan mendetailkan darimana sumber sumber penerimaan utama APBN, terutama penerimaan sumber daya alam. Jika seluruh sumber sumber itu mencukupi target pengeluaran maka pajak bisa ditiadakan. Karena pajak mengganggu hal paling pokok dalam ekonomi yakni mengurangi kemampuan ekonomi untuk tumbuh. Apalagi seperti sekarang pertumbuhan sebagian besar disumbangkan oleh konsumsi. Jadi pajak adalah distorsi terhadap pertumbuhan. Pajak konsumsi migas adalah pajak yang paling buruk dalam hal ini.
Lalu apa indikator utama APBN menggantikan harga minyak?. dikarenakan APBN harus kembali fokus terhadap penerimaan, maka indikatornya adalah semua hal yang berkaitan dengan penerimaan. Sumber penerimaan yang paling significant adalah harga sumber daya alam. Dengan harga sumber daya alam harus segera dipatok oleh pemerintah. Patokan ini harus menjadi dasar dalam penerimaan dan menjadi standar dalam perdagangan baik di dalam negeri maupun ekspor.
Coba lah dihitung manfaat cara ini. Coba dimulai dulu oleh pemerintahan baru Prabowo Gibran untuk memulai dengan audit migas secara menyeluruh dan audit sumber daya alam juga secara menyeluruh. Audit dengan sebaik baiknya dan sejujur jujurnya. Mungkin ini langkah yang paling berarti dalam meraih Indonesia emas 2045.
EDTOR: REYNA
Related Posts
Petruk Kehilangan Ijazah S1
Proyek Pertambangan di Kediri Yang Digarap PT. Balaraja Sakti Nusantara Belum Kantongi Izin
Apakah ada kehidupan di planet lain? Ilmuwan menemukan bukti terkuat sejauh ini
Tarif Trump: Produk apa yang dibeli Tiongkok dari AS?
Afrika harus menjauhi dorongan Trump untuk menghidupkan kembali batu bara
Gedung Putih Trump meluncurkan situs web COVID yang mengkritik WHO, Fauci, dan Biden
Krisis energi: Kapasitas penyimpanan gas alam Eropa turun di bawah 50%
EMBER: Energi bersih hasilkan rekor 40,9% listrik global
Gara-gara Takut difoto Ijazahnya, Trending “Diploma Challenge” dan Animasi AI Ulympus Galia Medusa
Dalam Pandangan Kanjeng Senopati Semakin Carut Marut Geopolitik Dan Tatanan Negara Indonesia Kedepan
No Responses