Menguak Permainan Kotor Mafia Migas (4): Kemana Uang Skandal Blending Pertalite Menggalir?

Menguak Permainan Kotor Mafia Migas (4): Kemana Uang Skandal Blending Pertalite Menggalir?
Foto Ilustrasi: Kilang Pertamina International (KPI)

Oleh: Budi Puryanto, Pemimpin Redaksi

Setelah dugaan blending ilegal BBM Pertalite di Terminal PPN Patra Niaga Merak mengemuka, pertanyaan besar selanjutnya adalah: ke mana mengalir uang hasil permainan ini? Dan siapa yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kerugian negara yang ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah?

Skema curang ini melibatkan praktik sistematis: mencampurkan BBM kualitas rendah (seperti naptha, LSR, atau kondensat) dengan bensin murni untuk menghasilkan “Pertalite” yang dijual ke masyarakat. Proses itu seharusnya dilakukan di kilang resmi dengan pengawasan ketat. Namun dalam praktiknya, pencampuran dilakukan secara ilegal di terminal distribusi — seperti Terminal Merak — tanpa jaminan mutu dan spesifikasi teknis yang benar.

Jejak Aliran Uang: Mengalir ke kantong mafia, Merugikan Negara

Dari investigasi awal dan paparan publik oleh Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, terlihat bahwa uang negara yang dikucurkan melalui kompensasi BBM subsidi kepada Pertamina dan anak usahanya, justru menjadi ladang rente bagi pihak-pihak yang terlibat dalam praktik blending ilegal ini. Setiap liter “Pertalite” hasil blending dijual dengan selisih harga tinggi, padahal bahan dasarnya murah dan tidak memenuhi standar RON 90.

Misalnya, jika komponen blending hanya menghabiskan biaya produksi sekitar Rp 6.000 per liter, namun kemudian dijual dengan harga bersubsidi sekitar Rp 10.000 per liter (melalui dana kompensasi APBN), maka ada selisih Rp 4.000 per liter yang masuk sebagai keuntungan “kotor”. Dalam satu tahun, konsumsi Pertalite bisa mencapai 23–25 juta kiloliter. Bila hanya 30% saja yang merupakan produk blending ilegal, maka keuntungan tidak sahnya bisa mencapai Rp 27–30 triliun per tahun.

Dana haram itu diduga mengalir ke beberapa kantong:

1.Pengusaha minyak swasta (seperti yang terhubung dengan Riza Chalid dan jaringan kontraktor BBM)

2.Oknum pejabat di internal Patra Niaga dan Pertamina

3.Broker dan pelobi yang memuluskan kontrak-kontrak sewa terminal dan suplai bahan blending

4.Oknum regulator dan pengawas yang sengaja tutup mata

Mengapa Skandal Blending Ini Bisa Bertahan Bertahun-Tahun?

Skandal blending ilegal BBM jenis Pertalite di Terminal Patra Niaga Merak, yang kini disorot sebagai kejahatan energi terbesar dekade ini, ternyata bukan fenomena baru. Praktik curang ini telah berlangsung bertahun-tahun, melibatkan miliaran liter BBM dan merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah.

Lalu, pertanyaan mendasar muncul: mengapa skandal sebesar ini bisa bertahan begitu lama tanpa tersentuh hukum dan pengawasan?

Jawabannya terletak pada kombinasi kelemahan sistemik, kolusi antar institusi, serta kultur pembiaran dan impunitas yang mengakar dalam tata kelola energi nasional. Berikut adalah empat alasan utama mengapa praktik ini bisa terus berlangsung:

1. Keterlibatan Elite dan Perlindungan Politik

Blending ilegal BBM tidak mungkin bertahan jika hanya dilakukan oleh level operasional. Skema ini ditengarai melibatkan pengusaha besar seperti Riza Chalid, jaringan perantara, dan bahkan oknum pejabat tinggi di sektor energi dan politik. Mereka memiliki koneksi kuat dengan kekuasaan, baik di lingkup legislatif, eksekutif, maupun aparat penegak hukum.

Dalam praktiknya, perlindungan politik memungkinkan kontrak-kontrak penyimpanan dan suplai BBM disusun sedemikian rupa agar menguntungkan pihak-pihak tertentu, sekaligus menutup akses audit independen. Siapa pun yang mencoba membongkar praktik ini akan menghadapi tembok kekuasaan — dari intervensi hingga intimidasi.

2. Pengawasan Lemah dan Sarat Konflik Kepentingan

Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas), yang seharusnya menjadi penjaga gerbang mutu dan distribusi BBM, justru kerap dianggap tak bertaji. Banyak pengamat menyebut bahwa struktur pengawasan energi kita sarat dengan konflik kepentingan, terutama karena sebagian besar pengawas berasal dari atau terafiliasi dengan industri yang mereka awasi.

Selain itu, proses pengawasan mutu BBM bersubsidi sangat terbatas. Sample kualitas BBM seringkali diambil dan diuji di laboratorium internal, yang bisa direkayasa. Tidak ada audit independen rutin dan menyeluruh terhadap titik distribusi BBM, apalagi terminal seperti Merak yang dijadikan pusat blending.

3. Manipulasi Laporan dan Celah Regulasi

Salah satu trik mafia migas adalah memanipulasi laporan blending. Produk dengan RON di bawah 90 dicatat seolah sudah sesuai spesifikasi, berkat rekayasa dokumen dan sampel laboratorium yang disesuaikan. Praktik ini makin mudah dilakukan karena tidak ada sistem digital dan transparan yang memverifikasi rantai pasok dan spesifikasi produk dari kilang hingga SPBU.

Regulasi BBM juga memberi celah. Misalnya, tidak ada larangan eksplisit soal blending di luar kilang — selama produk akhir memenuhi standar. Mafia migas menggunakan celah ini untuk membuat praktik ilegal seolah sah, padahal blending dilakukan dengan niat menurunkan biaya dan memanipulasi kualitas.

4. Ketakutan dan Budaya Diam di Internal BUMN

Banyak pegawai di lingkungan Pertamina dan anak usahanya seperti Patra Niaga yang mengetahui praktik ini, namun memilih diam. Alasannya beragam — dari takut kehilangan pekerjaan, intimidasi atasan, hingga tidak adanya perlindungan whistleblower. Budaya organisasi yang tidak mendorong keterbukaan membuat potensi pengungkapan internal menjadi sangat kecil.

BERSAMBUNG

 

EDITOR: REYNA

Baca juga artikel terkait:

Menguak Permainan Kotor Mafia Migas (1): Riza Chalid Akali Kontrak Terminal Merak

Menguak Permainan Kotor Mafia Migas (2): Blending Ilegal Pertalite di Terminal Merak

Menguak Permainan Kotor Mafia Migas (3): Siapa di Balik Skema Blending Ilegal BBM?

Last Day Views: 26,55 K