Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (10): Impor Minyak, Sumber Rente Abadi Mafia Migas

Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (10): Impor Minyak, Sumber Rente Abadi Mafia Migas
Exxon Mobil Jurong Island Refinery, Singapura. Salah satu kilang minyak pemasok utama minyak ke Indonesia. Kapasitas sekitar 592.000–605.000 barel per hari. Terletak di Jurong Island dan Pulau Ayer Chawan, Singapura. Kilang ini memproduksi bensin, diesel, jet fuel, pelumas, serta bahan baku petrokimia yang diekspor ke berbagai negara Asia-Pasifik, termasuk Indonesia

Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi

Di atas kertas, impor minyak mentah hanyalah langkah teknis untuk memenuhi kekurangan pasokan kilang domestik. Tapi di balik kontrak jutaan barel itu, ada “ladang emas” yang mengalirkan rente triliunan rupiah kepada jaringan mafia migas—sebuah sistem yang sudah berlangsung puluhan tahun dan sulit diberantas.

Kenapa Impor Jadi Primadona?

Indonesia mengimpor rata-rata ±400–500 ribu barel minyak mentah per hari untuk diolah di kilang dalam negeri, plus impor BBM siap pakai sekitar ±600 ribu barel per hari. Nilainya fantastis: dengan harga rata-rata USD 80 per barel, impor minyak mentah saja sudah bernilai lebih dari USD 14 miliar per tahun (±Rp 220 triliun).

Bagi mafia migas, angka ini bukan sekadar transaksi energi—ini adalah sumber rente rutin. Setiap kontrak impor membuka peluang: Mark-up harga dari penjual luar negeri.Fee dan komisi gelap untuk pihak perantara.Manipulasi kualitas (BBM dioplos, dijual dengan grade lebih tinggi). Pengaturan tender agar kontrak jatuh ke perusahaan tertentu.

Pertamina Pride: Salah satu Kapal tanker milik Pertamina

Skema Rente yang Terorganisir

Modus operandi yang sering disebut dalam berbagai laporan investigasi:

1. Produksi Lokal Sengaja Ditahan

Proyek eksplorasi baru dilambatkan, blok migas tidak diperpanjang tepat waktu, sehingga suplai minyak mentah domestik stagnan atau menurun.

2. Kapasitas Kilang Tidak Ditingkatkan

Rencana kilang baru mangkrak atau molor bertahun-tahun, agar alasan “kekurangan pasokan” tetap valid.

3. Tender Impor Dikondisikan

Pemenang tender sudah diatur sejak awal, biasanya perusahaan broker yang punya koneksi politik.

4. Harga Dimainkan

Dibanding harga pasar, kontrak bisa lebih mahal beberapa dolar per barel—perbedaan ini masuk ke kantong jaringan mafia.

5. Oplosan dan Manipulasi Grade
Minyak atau BBM dengan kualitas lebih rendah dicampur lalu dijual seolah-olah grade tinggi.

CERI: Kerugian Fantastis akibat Mark-Up Impor

Menurut estimasi laporan CERI (Center of Energy and Resources Indonesia), harga impor minyak mentah tersebut terlalu mahal. Diperkirakan menyebabkan kerugian negara hingga USD 1,2 miliar per tahun, atau total sekitar USD 6 miliar selama periode 2018–2023 (sekitar Rp 96 triliun)—sebuah angka yang serius dan membuktikan kebocoran besar dalam sistem rent-seeking (mencari keuntungan)

Secara keseluruhan, Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman menggarisbawahi bahwa impor minyak mentah merupakan sumber rente besar—dengan potensi manipulasi harga dan kontrak—yang menimbulkan beban keuangan signifikan bagi negara. Ia menekankan pentingnya investigasi penuh dan transparan agar mafia migas tidak lolos dengan kebijakan impor yang merugikan publik.

Yusri Usman, Direktur Eksekutif CERI

Kerugian Negara dan Konsumen

APBN Terkuras: Subsidi dan selisih harga akibat impor membuat beban fiskal membengkak ratusan triliun rupiah per tahun.

Defisit Migas Kronis: Neraca perdagangan migas selalu merah, meski non-migas surplus.

Harga BBM Tinggi: Konsumen membayar lebih, baik langsung di SPBU maupun lewat pajak yang menutup subsidi.

Peluang Investasi Hilang: Modal yang seharusnya untuk membangun kilang dan eksplorasi malah lari ke pembayaran impor.

Aktor dan Jejaring

Skandal Pertamina 2025 yang menyeret petinggi BUMN migas, broker internasional, hingga pengusaha asing  mengungkap bahwa impor minyak bukan sekadar bisnis antarnegara, tapi arena permainan elit. Dari Singapura hingga Jakarta, jaringan ini melibatkan: Pejabat tinggi BUMN migas.Perusahaan perantara berbasis luar negeri.Pengambil kebijakan yang mengatur regulasi agar impor tetap dominan.Pihak swasta dalam negeri yang menjadi “tangan lokal” bagi pemasok asing.

Mengapa Tidak Dihentikan?

Karena rente impor adalah sumber pendapatan ekonomi dan pembiayaan politik bagi kelompok tertentu. Selama impor berjalan, mereka mendapat arus kas besar yang relatif aman dari sorotan publik, karena dibungkus jargon “pemenuhan kebutuhan energi nasional”. Pembangunan kilang dan peningkatan produksi lokal justru mengancam aliran uang ini.

Impor minyak mentah di Indonesia bukan sekadar kebutuhan teknis, tetapi telah menjadi instrumen rente mafia migas. Sistem ini bekerja dengan menjaga ketergantungan impor, mengatur tender, dan memanipulasi harga. Hasilnya: negara rugi, konsumen bayar mahal, dan pembangunan energi mandiri tak pernah terwujud.

Selama tidak ada keberanian politik untuk memutus rantai rente impor, setiap barel minyak yang masuk dari luar negeri akan terus mengalirkan keuntungan ke kantong mafia—dan menguras kantong rakyat.

Riza Chalid: Peran Dalam Skandal Impor Minyak

M. Riza Chalid dikenal sebagai pengusaha migas dengan julukan “The Gasoline Godfather”. Ia memiliki pengaruh besar dalam perdagangan minyak, khususnya melalui perannya di Petral (Pertamina Energy Trading Ltd) yang akhirnya dibubarkan tahun 2015, dan lewat perusahaan seperti Global Energy Resources dan Gold Manor, yang menjadi pemasok strategis impor minyak mentah ke Pertamina,

Mohammad Riza Chalid, diduga sekarang berada di Jepang, setelah sebelumnya tinggal di Malaysia

Pada Juli 2025, Kejaksaan Agung menetapkan Riza Chalid sebagai tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina periode 2018–2023, yang berisiko merugikan negara hingga Rp200 triliun – Rp285 triliun

Ia diduga melakukan intervensi terhadap kebijakan pengadaan minyak di Pertamina, termasuk menyepakati kerja sama penyewaan Terminal BBM Tangki Merak yang sebenarnya tidak diperlukan, dengan harga kontrak yang sangat tinggi. Hal ini menguntungkan perusahaan-perusahaan yang berada di bawah kendalinya seperti PT Orbit Terminal Merak dan PT Navigator Khatulistiwa

Penyidikan juga menemukan praktek mark-up fee tinggi (13–15%) dalam kontrak pengiriman impor minyak mentah dan produk kilang, yang memperkaya broker seperti anaknya, Muhammad Kerry Adrianto Riza, dan entitas terkait lainnya

Riza Chalid bukan hanya bagian dari skandal mafia migas—ia adalah salah satu aktor sentral di balik sistem impor minyak mentah yang memproduksi rente besar bagi mafia migas. Dengan jaringan panjang dan struktur korporasi yang kompleks, modusnya melibatkan pemanfaatan koneksi, manipulasi kontrak, dan mengabaikan kebutuhan nasional demi keuntungan pribadi.

EDITOR: REYNA

Baca juga artikel terkait:

Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (9): “Godfather Gasoline” di Negeri Sakura: Mengapa Mohammad Riza Chalid Tetap Aman?

Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (8): Dugaan Praktik SPV di Pertamina Potensi Rp 10 Triliun Menguap Setiap Tahun

Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (7): Petral Mati, Mafia Migas Belum Terkubur

 

Last Day Views: 26,55 K