Oleh: Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Dosen Ilmu Politik SKSG-FISIP Universitas Indonesia
Suatu fenomena politik dianggap bermasalah secara teoritis dan praktis bila menyimpang dari salah satu dari lima lingkup politik yang ada dalam sains politik. Kelima lingkup politik yang menjadi pedoman dalam menilai subtansi fenomena politik, yaitu: (1) teologi politik (political theology), yang berisi norma religius berupa perintah dan larangan sakral; (2) filsafat politik (political philosophy), yang berisi norma moral berupa kebajikan (virtue); (3) pemikiran politik (political thinking), yang berisi nalar ilmiah berupa metode ilmiah; (4) ideologi politik (political ideology), yang berisi nalar etik berupa nilai puncak dari tradisi, ada-istiadat dan budaya; dan (5) opini politik (political opinion), yang berisi publik etis berupa kebaikan umum berdasarkan kehedendak umum. Dalam konteks fenomena rekrutmen politik termasuk rekrutmen kepemimpinan politik di DPD RI, sains politik telah menstandarnisasi kriteria, tahapan, dan prosedur rekrutmen politik yang sejalan dengan kelima lingkup politik tersebut: norma religius, norma moral, nalar ilmiah, nalar etik, dan publik etis.
Tulisan pendek ini merupakan tanggapan umum terhadap pandangan para pihak terutama politisi dan pengamat politik yang menolak, sinis, atau menganggap negatif syarat rekrutme politik berupa integritas politik dalam Tata Tertib Pemilihan Pimpinan DPD RI Periode 2024-2029. Ketentuan bahwa calon pimpinan DPD RI tidak pernah dipidana dan tidak pernah mendapat sanksi etik dari Badan Kehormatan DPD merupakan indikator integritas politik yang koheren: valid dan reliabel, sehingga tidak perlu dipermasalahkan apapun dalil dan argumentasinya.
Kriteria dan Tahap Rekrutmen Politik
Dalam konteks kepentingan institusi, rekrutmen kepemimpinan politik nasional di DPD RI harus mengacu pada rekrutmen politik, dimana kandidat harus memenuhi tiga kriteria atau syarat, yaitu: (1) memiliki kapasitas politik, berupa kemampuan akademik yang lebih (tingkat pendidikannya); (2) memiliki kapabilitas politik, berupa kemampuan dalam mendorong atau membuat fungsional organisasi yang pernah dipimpinnya (tingkat pengalamannya); dan (3) memiliki integritas politik, berupa moralitas politik yang sangat tinggi (tingkat komitmen politiknya). Tiga kriteria ini harus menjadi ketentuan dalam Tata Tertib tentang seleksi kepimpinanan politik di DPD. Kriteria itu sangat penting karena juga merupakan prasyarat bagi DPD untuk memperoleh dukungan luas dari masyarakat dan untuk menjamin DPD fungsional: tugas, fungsi, dan tanggung jawab politik DPD sebagai institusi perwakilan politik terlaksana dengan baik.
Prasyarat DPD untuk memperoleh dukungan luas dari masyarakat dan untuk menjamin institusi melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawab politiknya sebagai institusi perwakilan politik, menjadikan kriteria integritas politik bagi pimpinan DPD harus dimasukkan dalam ketentuan seleksi. Hal itu disebabkan bukan hanya karena norma moral, nalar etik, dan publik etis telah menjadi bagian dari eksistensi publik politik, tetapi juga DPD merupakan lembaga publik yang merepsentasikan perwakilan politik dan keterwakilan politik. Sangat sulit bagi publik politik mempercayai DPD sebagai repsentasi perwakilan politik dan keterwakilan politik bila dipimpin oleh orang-orang yang bermasalah moralitas (integritas) politiknya, seperti pernah dipidana, atau pernah dijatuhi saknsi etik karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik institusi.
Secara teoritis, keberadaan syarat integritas politik dalam Tata Tertib Pemilihan Pimpinan DPD RI Periode 2024-2029 berupa ketentuan calon pimpinan DPD tidak pernah dipidana dan tidak pernah mendapat sanksi etik dari Badan Kehormatan DPD sudah sesuai dengan etika politik (fatsun politik) dan teori rekrutmen politik. Dari sisi lingkup politik: norma religius, norma moral, nalar ilmiah, nalar etik, dan publik etis, kedua ketentuan ini merupakan indikator integritas politik yang sudah koheren dengan rekrutmen politik. Oleh karena itu, kedua syarat ini harus dipertahankan oleh seluruh anggota DPD meskipun mendapat penolakan atau penentangan dari pihak tertentu yang merasa kepentingan politiknya terganggu.
Prosedur dan Tahapan Rekrutmen Politik
Secara teoritis dan praktis, keberhasilan seluruh struktur politik yang ada dalam sistem politik dalam menjalankan fungsinya sangat ditentukan oleh kualitas rekrutmen politik pimpinannya. Mengadopsi teori rekrutmen politik Norris dan Lovenduski (2007), pola rekrutmen politik dibentuk oleh relasi antara ketersediaan kandidat —yang memenuhi syarat— dan proses seleksi —yang baik. Relasi inilah yang membentuk dua pola prosedur rekrutmen politik, yaitu: (1) pola vertikal (vertical pattern of political recruitment) untuk organisasi struktural, yakni pola rekrutmen politik dilakukan secara hierarkis melalui jalur struktural organisasi, seperti rekrutmen politik di TNI dan Polri. Pada pola ini, hasil rekrutmen politik cenderung memilih kandidat anggota organisasi yang terbukti sudah lama berkiprah/berkarier. Kemampuan politik dan jenjang karirnya dalam organisasi menjadi faktor penentu keterpilihannya; (2) pola lateral (lateral pattern of political recruitment) untuk organisasi non-struktural, yakni pola rekrutmen politik yang dilakukan secara terbuka baik anggota maupun non-anggota organisasi, seperti rekrutmen politik di MK dan KPK. Pada pola ini, hasil rekrutmen politik cenderung memilih kandidat yang dipandang memiliki kemampuan politik dan pengalaman lebih dari seluruh kandidat yang ada.
Secara praktis, kedua pola tersebut tidak dapat diterapkan secara sempurna dalam rekrutmen politik di DPD RI, mengingat selain DPD RI tidak memiliki struktur organisasi di tingkat bawah, juga tidak terbuka bagi kandidat di luar DPD RI. Oleh sebab itu, keterpilihan kandidat sangat terbuka hanya bagi anggota DPD terutama anggota petahana yang relatif dipandang memenuhi tiga kriteria kandidat yang ditekankan dalam teori rekrutmen politik, yaitu kandidat yang: (1) memiliki kapasitas politik; (2) memiliki kapabilitas politik; dan (3) memiliki integritas politik. Dengan tiga kriteria ini, maka seluruh isu primordialisme politik, seperti suku, ras, agama, umur, dan jenis kelamin tidak lagi relevan untuk dikemukakan.
Tiga kriteria kandidat dalam rekrutmen politik tersebut harus menjadi fokus perhatian dalam tahap rekrutmen politik pimpinan DPD, yaitu: (1) tahap sertifikasi; (2) tahap nominasi; dan (3) tahap pemilihan. Pada tahap sertifikasi (penentuan syarat/kriteria kandidat), tiga kriteria/syarat tersebut harus dipastikan masuk ke dalam Tata Tertib Pemilihan Pimpinan DPD RI untuk memastikan bahwa kandidat yang terpilih benar-benar layak memimpin DPD RI selama satu periode (lima tahun). Berikutnya, pada tahap nominasi (pencalonan), tiga kriteria/syarat tersebut harus dipastikan dipenuhi oleh kandidat yang ditetapkan. Terakhir, pada tahap pemilihan (pemungutan suara), tiga kriteria/syarat tersebut harus dipastikan dipenuhi oleh kandidat yang terpilih.
Implikasi Politik
Implikasi politik dari pengabaian kriteria integritas politik dalam seleksi pimpinan DPD, bukan hanya DPD kesulitan kembali memperoleh dukungan luas dari publik, tetapi juga secara politik akan berdampak signifikan pada tiga hal: (1) komposisi politik anggota DPD. Akibat konflik politik internal yang sarat dengan kepentingan personal, komposisi politik anggota DPD akan berlansung tajam ke dalam tiga faksi: faksi pelaku perubahan, faksi anti-perubahan, dan faksi netral; (2) transparansi, akuntabilitas, dan kredibilitas. Ke depan, transparansi, akuntabilitas, kredibilitas, dan partisipatif akan rendah akibat rendahnya komitmen politik anggota dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawab DPD sebagai institusi perwakilan politik; dan (3) kinerja pimpinan dan anggota DPD. Ke depan, kinerja pimpinan dan anggota DPD akan anjlok tajam karena para penentang kriteria selain mendelegitimasi capaian anggota dan pimpinan DPD periode 2019-2024, juga mendegradasi DPD.
Semua pihak harus menyadari bahwa kedudukan DPD RI yang sengaja “direndahkan” oleh konstitusi (baca: UUD’2002) sudah seharusnya DPD menjadi “bulan-bulanan politik”. Tetapi faktanya tidaklah demikian. Selama satu periode ini (2019-2024) hampir tidak terdengar suara publik politik memusuhi DPD: mencaci, memaki, atau membully pimpinan dan anggota DPD. Sebaliknya, publik politik justru menaruh kepercayaan kepada DPD. Keberhasilan pimpinan bersama anggota DPD periode 2019-2024 memaksimalkan kedudukannya yang “direndahkan” justru membalikkan pesimisme politik. Di tengah-tengah memburuknya institusi politik lainnya (baca: partai politik, DPR, dan MPR), DPD RI justru tampil sebagai satu-satunya institusi politik yang menjadi kepercayaan publik untuk menaruh aspirasi politiknya. Itu terbukti dari opini publik politik tahun 2022-20023 yang menyatakan puas terhadap kinerja DPD RI. Berdasarkan hasil survei lembaga survei terkemuka, DPD RI berada di peringkat penilaian Baik dalam hal Kepuasan Masyarakat. Tahun 2023, hasil Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) naik menjadi 86,92 (Baik) dari 84,34 (Baik) pada tahun 2022. Naiknya kepuasan Masyarakat terhadap DPD dapat dilihat dari dua indikator pokok, yaitu: (1) layanan penerimaan kunjungan/delegasi aspirasi yang mendapat penilaian Baik (86,19); dan (2) layanan informasi publik, yang juga yang mendapat penilaian Baik (87,64).
Atas keberhasilan itu, maka dapat dimaklumi jika muncul dukungan politik di tengah masyarakat, seperti spanduk, baliho, dan videotron, serta dukungan dari sekolompok anggota DPD lama dan baru terpilih kepada pimpinan DPD periode lama (2019-2024) untuk kembali memimpin DPD pada periode 2024-2029. Secara politik, dukungan yang bersifat eksplisit itu, bukanlah suatu hal yang harus dipersoalkan oleh siapapun termasuk anggota DPD yang menolak mengingat dukungan politik itu tidak sama derajatnya dengan dukungan politik dalam pemilu. Juga dukungan yang eksplisit itu tidak membuat anggota DPD kehilangan hak suara dalam pemilihan pimpinan DPD pada bulan Oktober 2024 mendatang. Justru dukungan seperti itu perlu diberi tempat karena akan memberi kesempatan kepada publik politik untuk menolak atau mendukung kandidat pimpinan DPD.
Keberhasilan pimpinan bersama anggota DPD periode 2019-2024 memaksimalkan fungsi DPD RI dilatari oleh pemahamannya pada level pemikiran politik (political thinking): nalar ilmiah, dimana gagasan politik yang mendasari pembentukan DPD, yakni aspirasi politik lokal yang terdiri dari otonomi daerah (local autonomy), otonomi pemerintahan (government autonomy), dan otonomi administrasi (administrative autonomy) hanya bisa diwujudkan melalui institusi perwakilan politik yang bersifat nasional dan mandiri dengan tugas dan fungsi pokok melaksanakan artikulasi politik, agregasi politik, dan pengawasan politik. Dalam kalimat ulangan yang tidak rumit, bahwa keberhasilan pimpinan bersama anggota DPD periode 2019-2024 mengangkat nama baik DPD RI dilatari oleh kriteria rekrutmen politik yang berimplikasi pada semangat dan tekad politik untuk selalu mengorganisir aspirasi politik lokal dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di daerah.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Guru Al-Qur’an SD Khazanah Ilmu Raih Hadiah Umroh Setelah Menjuarai Lomba Pembelajaran BTQ Inovatif
Pangeran Sambernyawa Seorang Tasawuf
Turki menduduki peringkat ke-3 di Eropa untuk peningkatan kapasitas energi angin darat
Iran tanggapi ancaman Trump: Akhiri dukungan untuk Israel, hentikan pembunuhan warga Yaman
Mengejar 2.000 Wajib Pajak: Solusi yang Keliru dalam Menghadapi Krisis Penerimaan Pajak?
Saat Gen-Z Mengibarkan Bendera Putih (Atau Hitam?)
Dwi Fungsi APRI, Kekaryaan ABRI, Dan Supremasi Sipil
Membayangkan Pemerintahan Prabowo Seperti Keluar Dari Kolonialisme
Urun Rembug Tentang Revisi UU TNI
Kamu Bebas Mengkritik Siapapun, Kecuali Israel
No Responses