Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Pengajar Psikologi Komunikasi
Rentetetan demo mahasiswa, rakyat sipil, mahasiswa, buruh dan kaum cendekiawan dibeberapa daerah yang bertajuk Indonesia Gelap dan mungkin akan semakin gelap yang memprotes kebijakan yang tidak pro rakyat, yang terbaru adalah kekhawatiran rakyat terhadap dwi fungsi TNI – Polri yang justru akan memantik tirani dan otorianisme, seolah menjadi pertanda bahwa Indonesia sedang menuju tidak baik baik saja. Peristiwa tersebut yang membuat saya mengingat kembali pesan BungKarno bahwa perjuanganku sangatlah mudah, karena aku melawan penjajah bangsa asing, perjuangan kalian sepeninggalku akan sulit, karena kalian akan melawan penjajajh dari bangsa sendiri.
(Suatu malam di Istana Negara, 1950. Bung Karno dan Bung Hatta duduk di beranda, ditemani secangkir kopi hitam. Cahaya lampu temaram memantulkan bayangan dua pemimpin yang baru saja membawa bangsanya menuju kemerdekaan. Namun, di wajah mereka tergambar keresahan.)
Bung Karno: “Hatta, kadang aku berpikir… Apakah negeri yang kita perjuangkan dengan darah dan air mata ini akan tetap kokoh, atau justru runtuh oleh tangan-tangan yang rakus?”
Bung Hatta (menghela napas) : “Aku pun memikirkan hal yang sama, Bung. Sejarah sudah mengajarkan kita, kemerdekaan bukanlah akhir perjuangan, melainkan awal dari ujian yang lebih berat. Kekuasaan selalu menggoda, dan korupsi adalah racun yang bisa menghancurkan republik ini.”
Bung Karno: “Tapi Hatta, kita sudah merancang Undang-Undang Dasar, membangun sistem demokrasi. Seharusnya, itu cukup untuk menjaga negeri ini dari kehancuran.”
Bung Hatta (menggelengkan kepala): “Hukum tanpa moral adalah bangunan rapuh, Bung. Aku khawatir, jika pejabat-pejabat yang lahir dari rahim revolusi kita justru mengkhianati cita-cita bangsa. Jika suatu hari nanti, mereka lebih mementingkan perut sendiri ketimbang rakyat yang telah bersusah payah merebut kemerdekaan, maka negeri ini bisa jatuh dalam kegelapan.”
Bung Karno (menatap ke kejauhan): “Ah, aku bisa membayangkan itu… Para pemimpin yang bukan lagi pelayan rakyat, tapi penguasa yang bersekutu dengan pemodal, merampok kekayaan negeri ini demi kepentingan golongannya sendiri.”
Bung Hatta: “Dan lebih buruk lagi, Bung, korupsi bukan hanya soal uang, tapi juga mentalitas. Jika generasi mendatang terbiasa melihat pemimpin yang tak jujur, mereka akan menganggap korupsi sebagai hal biasa. Budaya feodal yang ingin kita enyahkan bisa tumbuh kembali dalam bentuk yang lebih licik—dengan dasi dan jas, bukan lagi pedang dan mahkota.”
Bung Karno (mengepalkan tangan): “Tidak! Tidak boleh terjadi! Aku ingin negeri ini menjadi bangsa yang berdikari, yang berdaulat, yang tidak diinjak-injak oleh para bedebah penjilat asing maupun pengkhianat dari dalam negeri sendiri.”
Bung Hatta (tersenyum tipis): “Aku tahu semangatmu, Bung. Tapi ingat, revolusi tidak hanya di medan perang. Revolusi sejati adalah membangun karakter bangsa. Jika kita tidak mendidik rakyat agar punya integritas, kita hanya akan melahirkan elite yang mengganti rantai penjajahan asing dengan belenggu korupsi dan keserakahan.”
Bung Karno (merenung): “Maka, kita harus berbuat sesuatu, Hatta! Kita tidak boleh membiarkan negeri ini jatuh ke tangan orang-orang yang hanya memikirkan kantongnya sendiri. Kita harus menanamkan nasionalisme sejati!”
Bung Hatta: “Bukan hanya nasionalisme, Bung. Kita harus menanamkan kejujuran, integritas, dan keteladanan. Sebab tanpa itu, sehebat apa pun sistem yang kita buat, ia hanya akan jadi kertas kosong yang mudah dirobek oleh mereka yang haus kuasa.”
(Malam semakin larut. Kedua bapak bangsa itu terdiam, merenungkan nasib negeri yang mereka perjuangkan. Di kejauhan, terdengar suara burung hantu, seakan mengingatkan bahwa masa depan republik ini akan bergantung pada apakah para pemimpinnya kelak lebih memilih jalan kebenaran atau jalan penghianatan.)
Dialog imajiner antara Bung Karno dan Bung Hatta seolah menjadi ramalan yang kini kita saksikan dalam realitas pemerintahan Indonesia. Apa yang mereka khawatirkan, pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan oleh elite politik yang haus kekuasaan—telah menjadi kenyataan di era kepemimpinan Joko Widodo. Selama sepuluh tahun terakhir, negeri ini semakin jatuh ke dalam cengkeraman oligarki, di mana kekuasaan dan kebijakan ekonomi dikendalikan oleh segelintir pemilik modal yang mengendalikan negara demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Jokowi, yang awalnya dielu-elukan sebagai pemimpin rakyat, berubah menjadi simbol pengkhianatan terhadap demokrasi dan keadilan sosial. Ia membangun dinasti politik yang memperkuat kekuasaannya, bahkan tak segan menggunakan aparat negara untuk membungkam kritik. Nepotisme semakin nyata ketika anak-anaknya melenggang mulus ke kursi kekuasaan tanpa jerih payah perjuangan, dan menantu-menantunya ditempatkan di posisi strategis. Di bawah kepemimpinannya, hukum seolah tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi cenderung dipetieskan, sementara rakyat kecil tak memiliki daya untuk melawan ketidakadilan.
Lebih ironisnya lagi, meskipun masa pemerintahan Jokowi telah berakhir, bayang-bayangnya masih begitu kuat di era Prabowo. Alih-alih melakukan reformasi, Prabowo justru tampak melindungi warisan kebijakan yang koruptif dan menutup mata terhadap penyimpangan yang terjadi. Para menteri bermasalah di era Jokowi tetap dipertahankan, bahkan beberapa di antaranya dijadikan penasihat ekonomi yang justru memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi rakyat.
Alih-alih membersihkan negeri dari korupsi dan kolusi, pemerintahan Prabowo justru menunjukkan tanda-tanda keberlanjutan sistem yang telah menjerat republik ini selama satu dekade terakhir. Tidak ada tanda-tanda bahwa oligarki akan dikendalikan; sebaliknya, mereka semakin nyaman dalam mengatur arah kebijakan negara. Kepentingan rakyat semakin terpinggirkan, sementara proyek-proyek mercusuar yang menguntungkan segelintir elite terus digencarkan dengan dalih pembangunan.
Bung Karno dan Bung Hatta pernah mengingatkan bahwa tanpa integritas dan keteladanan, bangsa ini akan jatuh ke dalam kehancuran. Kini, kita melihat bagaimana kekhawatiran mereka menjadi kenyataan—negara ini sedang tenggelam dalam kubangan korupsi, dan tanpa perlawanan dari rakyat, demokrasi yang kita bangun dengan susah payah bisa berubah menjadi alat kekuasaan segelintir elite untuk mengamankan kepentingan mereka sendiri. Saat ini mereka berdua tentu akan menangis terseduh dan marah, melihat perlakuan penerusnya yang ugal ugalan memperlakukan ibu pertiwi dan anak kandungnya.
Doa doa kita masyarakat sipil kita panjatkan agar perjuangan mereka para mahasiswa, buruh, tani, masyarakat sipil dan kaum cendikiawan mendapatkan kekuatan Tuhan, sebagaimana perintahnya bahwa Dia tak akan mengubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu tak berusaha merubahnya, dan bila kebenaran sudah datang, maka kebathilan akan tumbang.
Gerbang Surabaya, 23 Maret 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts
Pengamat Politik Boni Hargens Dukung Jokowi Tempuh Jalur Hukum Terkait Tudingan Ijazah Palsu: Ini Pelajaran Berdemokrasi
Prabowo Bersikap Bijak Atas Usulan Forum Purnawirawan Prajurit TNI Untuk Makzulkan Gibran
Pengamat Politik Anggap Prabowo Lakukan Blunder Utus Jokowi ke Vatikan
Viral Curhatan Polos Bocah SD ke Prabowo Soal Jalan Rusak Berlumpur: Kapan Jalan Dibangun, Pak?
Dua Pencaker yang Viral Terjatuh ke Parit saat Hendak Wawancara Diterima Bekerja di PT Letsolar
Aksi Seru Siswa-Siswi Indonesia Viral Tiru Rapper AS Kendrick Lamar ‘They Not Like Us’
Jumbo Tembus 6,3 Juta Penonton, Geser Dilan 1990 Jadi Film Ke-5 Paling Laris di Indonesia
Bali International Hospital Harus Hadirkan Layanan Kesehatan Bertaraf Dunia
Wakil Ketua Komisi IX Yahya Zaini angkat bicara mengenai praktik perusahaan yang menahan ijazah karyawan
‘Penjara terbuka’: Anggota parlemen Inggris mengecam kondisi yang ‘memilukan’ setelah kunjungan ke Tepi Barat
No Responses