Renungan Memasuki Tahun 2025: Masalah Strategis Kebangsaan: Dimana Peran Kita?

Renungan Memasuki Tahun 2025: Masalah Strategis Kebangsaan: Dimana Peran Kita?
Siti Zuhro



Oleh: R. Siti Zuhro
(Ketua Majelis Pendidikan Tinggi KAHMI: MPTK)

Perjalanan membangun sebuah bangsa yang adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat tampaknya makin tak ringan. Apalagi dengan munculnya Covid-19 yang dampaknya sangat dahsyat terhadap masalah hukum, masalah sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya. Modal besar seperti geopolitik Indonesia yang strategis, SDA yang melimpah, SDM dan kemajemukan sosial budaya membuat Indonesia diperhitungkan di kancah regional, Asia Pasifik dan global.

79 tahun Indonesia merdeka, apa yang sudah dan belum dilakukan dalam kaitannya dengan isu kebangsaan? Bagaimana negara diurus oleh para pengurus negara sejak merdeka sampai saat ini. Apakah modal dasar dan potensi yang besar, dan sumber-sumber yang dimiliki Indonesia telah dikelola dengan benar dan sebesar-besarnya untuk kemanfaatan rakyat. Atau sebaliknya, malah hanya untuk menghidupi oligarki elite? Kalau memang dikelola dengan baik, mana buktinya. Dan kalau belum, pertanyaannya adalah mengapa mereka menyia-nyiakan amanah untuk mengurus negara dengan benar sehingga mereka lalai dan peluang emas pun terbuang yang menyebabkan Indonesia lamban menjadi negara maju.

Dari waktu ke waktu masalah yang dihadapi bangsa ini bukan tambah ringan tapi semakin kompleks. Masalah yang dihadapi semakin menghimpit karena bangsa ini belum tuntas membangun karakter bangsa.

Prakondisi untuk menjadi negara maju, gagal terbangun secara utuh ketika mentalitas yang terbangun tidak kompatibel dengan kemajuan itu sendiri. Etos kemajuan mensyaratkan pengedepanan peradaban yang ditopang oleh sifat-sifat positif seperti disiplin, berorientasi pada mutu, percaya diri, rajin, bertanggungjawab, dan demokratis. Untuk menjadi bangsa yang maju, mindset bangsa tidak boleh mengalami disorientasi. Bangsa ini harus memiliki cara pandang yang benar dan mengacu pada nilai-nilai dalam Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara, way of thinking and way of life kita dalam bernegara.

Karena itu, para ilmuwan/akademisi, praktisi, elite, politisi dan pengambil kebijakan semestinya melakukan langkah-langkah strategis sebagai solusi atas permasalahan bangsa, khususnya pasca pemilu 2024 di saat negeri ini didera masalah krusial terkait masalah etika, moral dan keadilan. Pemilu belum bisa menjadi sarana mencerdaskan bangsa seacara politik dan demokrasi. Era digital belum dimanfaatkan untuk membuat pemilu yang berintegritas, berkeadaban dan berkualitas. Lantas, apa yang bisa dikontribusikan oleh para ilmuwan/peneliti/akademisi praktisi, elite, politisi dan pengambil kebijakan dalam kaitan ini?

Alternatif solusi yang bisa kita tawarkan mengacu pada domain/cakupan program dan Visi Kebangsaan:

Pertama, Masalah Kemanusiaan

Beberapa masalah krusial terkait kemanusiaan adalah: 1.Kesenjangan ekonomi dan kemiskinan, 2. Pendidikan dan Kesehatan, 3. Disharmoni (masyarakat yang terbelah) 4. Identitas bangsa, 5. Kerusakan lingkungan

Kelima masalah tersebut belum terurai dengan jelas dan belum ada solusi konkritnya meskipun Indonesia sudah merdeka lama. Bahkan dengan adanya wabah Covid-19 sejak Maret 2020 kelima persoalan tersebut cenderung tak teratasi dengan baik. Yang terjadi malah meningkat.

Kedua, Masalah Kemajemukan

Isu kemajemukan tampaknya sedang mengalamai kegentingan belakangan ini. Problem kemajemukan belum teratasi secara memadai, namun yang muncul justru menyoal kemajemukan itu sendiri. Sistem demokrasi yang awalnya diharapkan bisa menumbuh suburkan dan mampu merawat kemajemukan, ternyata melalui pilkada dan pilpres langsung isu kemajemukan dijadikan komoditi politik yang menimbulkan konflik, bahkan kerusuhan. Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah, damai dan beradab, tampaknya belakangan ini gagal mencerminkan itu. Fenomena ini seharusnya menjadi concern kita semua.

Bagaimana membumikan kemajemukan yang nyata, bukan basa-basi dan menjadi jargon saja. Bagaimana menyelaraskan antara tutur kata dan tindakan. Menghadirkan perilaku yang memperkuat kebhinekaan, bukan malah merongrongnya. Tarikan politik yang terlalu kencang belakangan ini membuat busa-busa narasi tentang pentingnya Pancasila, tetapi tindak-tanduknya malah sebaliknya sangat tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Mengapa Pancasila hanya digunakan sebagai simbol saja, bukan untuk diaplikasikan. Lantas, kapan menerapkannya dalam kehidupan praktis.
Karena itu, perlu kebersamaan kita semua untuk mewujudkannya. Dalam konteks inilah warga masyarakat dapat memberikan kontribusinya.

Ketiga, Masalah Kebersamaan

Istilah hidup berdampingan secara damai sudah dikenal lama. Sebagai negara besar, Indonesia memiliki keragaman suku, ras/etnisitas dan agama. Sudah selayaknya masyarakat Indonesia bisa hidup berdampingan secara damai dengan mengedepankan nilai-nilai positif seperti rasa saling percaya di antara suprastrukur politik dan infrastruktur politik, kementerian, lembaga dan pemerintah daerah dan semua turunannya sampai ke bawah.

Terkait isu kebersamaan ini, tantangan dan peluang yang muncul di setiap era tampak tak sama. Rentang waktu 1908-1945 menunjukkan bahwa kebersamaan saat itu tampak kuat. Mengapa? Karena waktu itu common danger-nya jelas yaitu penjajahan yang menghambat kemerdekaan Indonesia. Kata “Merdeka” menumbuhkan magnit tersendiri. Kata ini juga memunculkan rasa patriotisme dan semangat nasionalisme yang tinggi. Pada waktu itu, sekat-sekat SARA tak menonjol, meskipun bukan berarti tidak ada.

Dalam perkembangannya, ketika usia kemerdekaan Indonesia semakin tua (77 Agustus ini) sekat-sekat SARA itu bukannya makin cair, tapi justru mengental. Pertanyaannya, adakah common danger yang mampu kita hadirkan saat ini agar bangsa ini merasakan kembali persatuan karena kuatnya kebersamaan? Bisakah era digital ini menyadarkan bangsa Indonesia sehingga soliditas, solidaritas dan atau kebersamaan tumbuh dan berkembang menyatukan kita semua? Bila iya, mari kita bangun common danger/enemy itu sehingga kita bersatu kembali dan bangkit sebagai bangsa untuk melanjutkan perjalanan panjang ke depan membangun dan memajukan Indonesia.

Era digital mensyaratkan kita semua untuk agile, dan mampu beradaptasi secara cepat. Inovasi menjadi kata kunci untuk menjalani kehidupan dalam era the new normal tersebut. Dan untuk itu, kata kuncinya adalah memajukan SDM. Bagaimana membangun SDM berkualitas/unggul. Kunci dari SDM berkualitas adalah Pendidikan.

Indonesia maju memerlukan SDM yang berkualitas dan ditopang modal sosial, kemandirian dan inovasi. Karena kehidupan era the new normal adalah kehidupan yang sarat dengan achievement.

Bagaimana Visi Kebangsaan bisa dihadirkan dalam wujud konkrit dan lebih membumi di era digital sekarang ini. Inilah tantangan kita untuk mengisinya.

Semoga kita senantiasa hadir dan berperan penting dalam mengawal dan mengisi pembangunan untuk mewujudkan Indonesia emas.***

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=