Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, kembali menunjukkan komitmen kuatnya dalam melindungi hak-hak warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Dalam pernyataan tegasnya baru-baru ini, Dasco mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan operasi militer non-perang sebagai salah satu opsi dalam membebaskan seorang WNI yang saat ini tengah ditahan di Myanmar. Langkah ini dinilai sebagai terobosan legislasi yang tidak hanya berpihak pada rakyat, tetapi juga menggarisbawahi peran aktif DPR dalam diplomasi perlindungan warga negara.
Kasus AP dan Situasi di Myanmar
Pemicu dari inisiatif Dasco ini adalah kasus viral yang melibatkan seorang influencer Indonesia berinisial AP, yang dijatuhi hukuman 7 tahun penjara oleh otoritas Myanmar. AP diduga melanggar aturan imigrasi dan hukum setempat saat menjalani kegiatan komersial di negara yang sedang berada dalam situasi politik yang sangat tidak stabil pasca kudeta militer 2021.
Kondisi penahanan yang dilaporkan keras dan tertutup, serta minimnya akses komunikasi ke luar, menimbulkan kekhawatiran serius atas keselamatan dan hak asasi AP sebagai WNI. Reaksi publik pun beragam—mulai dari desakan diplomatik, permintaan pendampingan hukum, hingga dorongan untuk pembebasan segera.
Dalam konteks inilah Dasco mengambil posisi strategis, bukan hanya sebagai politisi, tetapi sebagai wakil rakyat yang merasa wajib memperjuangkan jaminan perlindungan konstitusional bagi setiap WNI di luar negeri.
Legislasi dan Opsi Non-Perang
Operasi militer non-perang adalah konsep yang telah masuk dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan diperkuat dalam revisi UU TNI yang kini tengah dibahas di DPR. Opsi ini mencakup kegiatan militer seperti evakuasi warga sipil, operasi kemanusiaan, dan penyelamatan WNI di wilayah konflik tanpa terlibat dalam peperangan terbuka.
“Dalam situasi genting seperti ini, di mana diplomasi mungkin tidak cukup cepat atau efektif, negara tidak boleh diam. Opsi militer non-perang adalah bentuk nyata bahwa negara hadir untuk rakyatnya, di manapun mereka berada,” tegas Dasco dalam wawancara dengan sejumlah media nasional, Jumat (11/7).
Menurutnya, tindakan ini bukan berarti Indonesia mempersiapkan invasi atau intervensi bersenjata, melainkan upaya penyelamatan terukur yang sepenuhnya berlandaskan hukum nasional dan internasional. DPR sendiri siap mendukung pemerintah jika pendekatan ini dianggap perlu dan mendesak, sepanjang dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan tanggung jawab penuh.
Diplomasi Tetap Menjadi Jalur Utama
Meski mendorong opsi militer non-perang, Dasco juga menekankan bahwa diplomasi harus tetap menjadi jalur utama dalam menyelesaikan konflik atau sengketa antarnegara. Ia mengapresiasi langkah Kementerian Luar Negeri yang telah mengirimkan nota diplomatik ke Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta dan menjalin komunikasi dengan pihak ASEAN untuk mencari solusi damai.
“Operasi non-perang itu bukan pengganti diplomasi, melainkan pelengkapnya. Kita tidak bisa pasrah saat nyawa dan kebebasan rakyat kita terancam di negeri orang,” ujar Dasco, seraya menekankan pentingnya kolaborasi antara eksekutif dan legislatif dalam urusan luar negeri.
Dukungan dan Respons Masyarakat
Pernyataan Dasco memicu respons luas dari masyarakat, khususnya di media sosial. Banyak netizen mengapresiasi keberanian dan kepekaan politisi senior Partai Gerindra ini dalam menangani isu lintas batas yang kompleks. Beberapa bahkan menyebutnya sebagai “suara nurani rakyat di parlemen”.
Sementara itu, para pengamat hukum dan hubungan internasional memberikan catatan penting bahwa langkah tersebut harus dijalankan dengan perhitungan matang dan tidak melanggar prinsip non-intervensi yang dijunjung tinggi dalam hubungan antarnegara.
“Operasi non-perang harus benar-benar berpegang pada mandat kemanusiaan. Bila tidak, kita justru akan menciptakan preseden berbahaya,” ujar Dr. Nindya Wulandari, pakar hukum internasional dari Universitas Gadjah Mada.
Parlemen Proaktif, Negara Tidak Diam
Dalam beberapa tahun terakhir, keterlibatan DPR dalam isu-isu WNI di luar negeri semakin menonjol. Dari repatriasi korban perdagangan manusia di Timur Tengah, perlindungan pekerja migran di Malaysia, hingga kini kasus AP di Myanmar, peran parlemen tak lagi pasif.
Dasco sendiri dikenal sebagai legislator yang tidak ragu untuk bersuara keras, bahkan ketika itu menyangkut kebijakan eksekutif. Sikapnya ini dianggap sebagai manifestasi fungsi pengawasan dan advokasi DPR yang sesungguhnya.
“Negara tidak boleh sekadar mengutuk atau berharap. Negara harus bertindak, dan kami di DPR akan terus mengawal langkah itu,” pungkas Dasco.
Babak Baru
Usulan Sufmi Dasco Ahmad untuk mempertimbangkan operasi militer non-perang demi menyelamatkan WNI di Myanmar mencerminkan babak baru dalam politik perlindungan warga negara Indonesia. Dalam dunia yang kian tidak pasti dan penuh risiko, pendekatan legislatif yang aktif, terukur, dan berpihak pada rakyat seperti inilah yang dibutuhkan.
DPR bukan sekadar ruang sidang, tapi benteng konstitusi yang harus hadir—bahkan hingga ke seberang perbatasan negara.
EDITOR: REYNA
Baca juga artikel terkait:
Related Posts

Warna-Warni Quote

Kunjungan Jokowi Dan Gibran Ke Keraton Kasunanan Mataram Surakarta Hadiningrat

Krisis Spiritual di Balik Krisis Ekonomi

Tambang Ilegal Diduga Kebal Hukum, LSM Gresik Minta APH Setempat Dan Polda Jatim Bertindak Tegas

Insentif Untuk Berbuat Dosa

Kalimantan Timur: Gratifikasi IUP Batubara dan Kerugian Negara miliaran

Bengkulu: Pelabuhan, Perizinan dan Korupsi Tambang Batubara

Lahat, Sumatera Selatan: Izin Usaha Pertambangan Yang Merugikan Negara Ratusan Miliar

Dharma dan Karma Prabowo

Pakar Intelijen : Dua Tokoh Nasional Diduga Menitip MRC ke Mantan Dirut Pertamina



No Responses