Oleh: Budi Puryanto
Kuala Lumpur, pukul 02.47 dini hari.
Hujan baru saja berhenti. Sisa-sisanya menetes dari tepian kaca gedung Menara Nusantara Tower, membentuk garis air yang berkilat di bawah lampu kota. Di bawahnya, di sebuah ruang bawah tanah yang disamarkan sebagai gudang logistik, tiga lelaki duduk berhadapan: satu dari Indonesia (BIN), satu dari Inggris (MI6), dan satu lagi dari Rusia (FSB).
Mereka bukan teman, tapi juga bukan musuh. Di dunia intelijen, hubungan seperti itu disebut “cohabitation of distrust”—hidup bersama dalam ketidakpercayaan.
Rafiq, agen senior BIN, menatap layar kecil yang memantulkan grafik berwarna merah dan hijau.Itu bukan saham, bukan pula mata uang. Itu peta volatilitas pasar derivatif global—sebuah grafik yang hanya bisa dibaca oleh segelintir orang di dunia.
Rafiq: “Lihat ini. Dalam 36 jam terakhir, kapitalisasi pasar derivatif turun 0,8 persen. Kecil memang. Tapi itu berarti ada sekitar 120 miliar dolar berpindah tangan. Tak ada negara yang mengaku memindahkannya.”
Agen MI6 (Laurence) tersenyum dingin: “Uang tidak menguap, Rafiq. Ia hanya berganti bendera.”
Agen FSB (Sokolov): “Dan setiap kali uang berganti bendera, kekuasaan berganti tuan.”
Rafiq mematikan layar. Di udara masih terasa aroma kopi pahit dan debu lembap.
“Kami menduga Imperium mulai menggerakkan Syndicate Node—sistem keuangan tersembunyi yang mereka gunakan untuk memanipulasi harga komoditas global. Awalnya untuk stabilisasi pasar. Sekarang… untuk menekan negara.”
Laurence menghela napas.
“Itu bukan dugaan. Kami tahu. London Stock dan Frankfurt Exchange mulai menunjukkan anomali transaksi dari Cayman, Zurich, dan Singapura. Semua jejaknya mengarah ke satu nama: Imperium Tiga Samudra.”
Sokolov: “Masalahnya, Imperium sudah tidak satu lagi. Fraksi Eropa menginginkan kendali finansial terpusat di Brussels. Fraksi Amerika ingin meliberalisasi seluruh mekanisme kredit digital. Sedangkan fraksi Asia… mereka ingin menciptakan sistem bayangan: bank sentral virtual yang tidak tunduk pada IMF, Bank Dunia, atau bahkan yuan.”
Rafiq memejamkan mata sejenak.
“Dan itulah yang membuat mereka berbahaya. Karena fraksi Asia punya mimpi, sementara dua fraksi lainnya hanya punya kepentingan.”
Laurence memandangnya lama, matanya memantulkan sinar biru dari layar monitor di belakang.
“Dan Indonesia, Rafiq? Di sisi mana kalian berdiri?”
Rafiq menjawab tanpa menatap.
“Di sisi yang paling sulit—sisi yang masih berusaha memahami siapa sebenarnya yang sedang berperang.
Suara mesin pendingin bergema pelan.Sokolov membuka map tipis berisi beberapa lembar dokumen berlogo anonim.
Sokolov: “Kami menyebut ini Project Eclipse. Imperium menggunakan perusahaan cangkang untuk mengakumulasi obligasi negara-negara berkembang. Mereka tidak membeli untuk investasi—mereka membeli untuk mengendalikan inflasi dari luar.”
Laurence: “Caranya klasik. Beli utang, tentukan suku bunga, dan perlahan kunci peredaran uang. Tapi sekarang lebih halus: mereka gunakan algoritma berbasis AI untuk menekan harga pangan dan energi, membuat negara tergantung pada pinjaman baru.”
Rafiq menatap keduanya. “Dan kalian ingin aku percaya bahwa Rusia dan Inggris sama sekali tidak bermain di situ?”
Laurence tersenyum. “Kami semua bermain, Rafiq. Tapi beberapa dari kami tahu kapan harus berhenti.”
Sokolov menambahkan pelan, “Dan beberapa dari kami tahu kapan harus mengganti pemain.
Rafiq mengeluarkan kartu penyimpanan kecil. Ia letakkan di atas meja besi.
“Itu salinan komunikasi rahasia antara pejabat keuangan Eropa dan dua bank investasi di Hong Kong. Mereka merencanakan sinkronisasi crash mata uang pada kuartal depan. Bukan karena krisis, tapi untuk menciptakan peluang likuiditas.”
Laurence mencondongkan badan.
“Siapa di baliknya?”
“Nama kuncinya: Orion Circle. Sembilan orang dari tiga benua. Salah satunya, mantan direktur Bank Sentral Swiss. Dan mereka semua pernah duduk dalam rapat Imperium di awal pembentukan.”
Sokolov mengernyit.
“Jadi, Imperium menciptakan sistem global untuk menyatukan ekonomi… lalu sistem itu mereka gunakan untuk memeras dunia?”
Rafiq mengangguk.
“Dan sekarang, bahkan mereka sendiri tidak bisa menghentikannya. Sistem itu sudah otonom, dijalankan algoritma yang memutuskan sendiri kapan menstabilkan atau mengguncang pasar.”
Laurence tertawa pendek.
“Mesin yang lebih cerdas dari penciptanya. Klasik.”
Telepon satelit Rafiq bergetar sekali. Ia melihat sekilas, lalu mematikannya.
“Jakarta baru saja menerima sinyal transaksi aneh dari bursa Singapura. Ada 14 perusahaan fiktif yang membeli aset pangan Indonesia senilai 9 miliar dolar. Dalam semalam.”
Sokolov membeku.
“Itu bukan transaksi ekonomi. Itu invasi.”
Laurence mengangguk pelan.
“Invasi yang tidak butuh tank, cukup spreadsheet dan izin impor.”
Rafiq menatap kosong. Dalam pikirannya, angka-angka berubah menjadi wajah-wajah petani, nelayan, dan pengusaha kecil di tanah airnya. Mereka tidak tahu sedang menjadi pion dalam perang senyap yang bahkan tak terdengar di berita.
Rafiq: “Semua ini berawal dari satu kesalahan: kita membiarkan algoritma menggantikan nurani.”
Laurence: “Nuranimu tak bisa membayar utang, Rafiq. Uang bisa.”
Sokolov: “Dan siapa pun yang mengendalikan uang… mengendalikan masa depan.”
Rafiq berdiri. “Tidak. Siapa pun yang percaya pada uang, dialah yang diperbudak oleh masa depan.”
Keheningan panjang. Dari luar, terdengar bunyi samar azan subuh dari surau kecil di pinggir jalan. Suara itu menembus kaca dan kabel, menembus data dan angka—suara manusia di tengah mesin.
Ketiganya keluar dari ruang bawah tanah sebelum matahari terbit. Langit Kuala Lumpur mulai memerah. Kabut industri naik perlahan, seperti asap yang menutupi dosa-dosa ekonomi dunia.
Laurence berjalan ke arah kiri, menyatu dengan keramaian yang baru bangun. Sokolov menuju mobil hitam di ujung gang. Rafiq berdiri sebentar, menatap menara yang masih mengeluarkan asap tipis dari puncaknya.
Dalam hatinya, ia tahu: perang global berikutnya tidak akan meledak di medan tempur—tetapi di pasar finansial, di mana senjatanya adalah angka, dan darahnya adalah likuiditas.
Dan di balik semua layar itu, Imperium Tiga Samudra perlahan kehilangan bentuknya—pecah menjadi tiga arus kekuatan yang siap menelan siapa pun yang tidak memahami cara dunia baru bekerja.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa
Novel “Imperium Tiga Samudra” (9) – Prometheus
Novel “Imperium Tiga Samudra” (8) – Horizon 3
Related Posts

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (3-Tamat): Korupsi Migas Sudah Darurat, Presiden Prabowo Harus Bertindak!

Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas

Republik Sandiwara dan Pemimpin Pura-pura Gila

Jokowi Dan Polisi Potret Gagalnya Reformasi

Off The Record

Novel “Imperium Tiga Samudra” (10) – Perang Para Dewa

Saatnya Meninggalkan Perangkingan

Jejak Dua Tokoh Nasional di Era SBY, Diduga Menitip MRC ke Mantan Dirut Pertamina

Mikul Duwur Mendem Jero

Novel “Imperium Tiga Samudra” (9) – Prometheus


No Responses