Oleh: Budi Puryanto
Jakarta, dini hari
Kota masih tertidur, tapi di ruang bawah kompleks Istana Merdeka, sekelompok orang bekerja tanpa suara. Cahaya dari monitor berlapis-lapis memantul pada dinding beton dingin.
Di tengah ruangan berdiri Seno, sosok yang kehadirannya tidak pernah meninggi, namun justru membuat ruangan mengecil.
Di layar utama, spiral tujuh lapis berputar perlahan—pusatnya bertuliskan: S-PROT 1.0
Seno membuka suara tanpa menoleh.
“Shadow Protocol bukan sistem pertahanan. Ia bahkan bukan jaringan keuangan.” Ia mengangkat satu jarinya. “Ia adalah bayangan dari realitas ekonomi itu sendiri.”
Seorang analis muda hampir menelan ludah.
“Bayangan… Pak?”
Seno mendekat ke layar, menyoroti lapisan ketiga spiral.
“Kau tahu apa yang terjadi di Morowali? Perusahaan tambang asing membangun bandara sendiri, runway sendiri, akses keluar masuk sendiri—tanpa pos imigrasi kita. Tanpa radar kita. Tanpa bea cukai kita.”
Ia menatap si analis. “Itu terjadi karena mereka membangun realitas paralel.”
“Belum lagi pelabuhan tikus,” timpal analis lain. “Ratusan titik tanpa kontrol.”
Seno mengangguk.
“Negara kita bocor seperti kapal tua. Dari timah Bangka Belitung yang dijarah seperti pasir pantai, hingga jutaan hektar hutan Sumatera yang hilang tanpa suara. Semua itu terjadi karena mereka menciptakan realitas di luar jangkauan negara.”
Seno menekan tombol.
“Shadow Protocol hidup di celah itu — memanfaatkan bayangan yang mereka buat.”
Kata “S-PROT initialized” muncul.
Istana Negara
Di istana Pagi itu, Presiden Pradipa membaca laporan rahasia Seno dengan wajah mengeras.
“Dengan protokol ini…”
Ia berhenti membaca.
“Ekonomi Indonesia bisa tetap berjalan walau kita diputus dari SWIFT?”
“Bukan hanya berjalan,” jawab Seno pelan.
“Bisa membingungkan mereka.”
“Menipu?” tanya Pradipa.
“Bukan. Merefleksikan. Sama seperti bandara Morowali merefleksikan negara dalam negara. Kita membangun sistem yang mengaburkan siapa pengendalinya.”
Pradipa menatapnya tajam.
“Dan siapa pengendalinya?”
Seno tersenyum samar.
“Rakyat. Tapi lewat cermin.”
Virginia
Jauh di Langley, Virginia, ruang rapat CIA dipenuhi desas-desus dan aroma kopi murah.
Alan Greaves membaca laporan baru.
“Indonesia kehilangan kendali atas 87 pelabuhan ilegal yang beroperasi di pesisir timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi…”
Seorang analis menambahkan:
“Dan kami mendeteksi pola enkripsi baru dari Bandung—berasal dari kompleks misterius yang dijaga oleh pasukan yang bahkan tak tercatat sebagai TNI.”
Greaves mengetuk meja.
“Seno. Siapa dia?”
Tak ada yang menjawab.
“Saya tidak tanya siapa dia secara identitas,” katanya pelan.
“Tapi negara apa yang ia operasikan.”
Singapura.
MI6 dan CIA meluncurkan proyek EchoFrame, memproduksi sebaran deepfake dan ratusan identitas palsu.
Salah satu analis berkata, “Jika kita tidak tahu Seno yang asli… kita buat seribu yang palsu.”
Di internet menyebar rumor:
“Shadow Exchange dikendalikan sindikat mafia tambang dari Sulawesi.”
“Seno bekerja untuk investor gelap timah Bangka.”
“Seno adalah AI China hasil kolaborasi dengan perusahaan sawit Sumatera.”
Narasi kacau.
Pasar Asia bergerak liar.
Dalam ruang kontrol Jakarta, Seno tersenyum tipis.
“Mereka melakukan tugasnya.”
“Untuk apa, Pak?” tanya operator.
“Untuk membuat saya abadi.”
Ia menatap bayangannya di layar.
“Ketika musuh tidak tahu siapa yang asli, maka semua bayangan bisa memimpin.”
Yogyakarta
Ruang bawah tanah sebuah museum yang sudah lama tak dibuka untuk umum.
Seno berdiri di hadapan utusan ekonomi Malaysia, Vietnam, dan Thailand—semuanya tanpa identitas resmi.
“Asia Tenggara punya masalah yang sama,” kata Seno.
“Tambang dirampok, pelabuhan ilegal dikuasai mafia, kawasan industri asing membangun pemerintahan kecil. Kita tidak bisa lagi bertahan dengan sistem ekonomi permukaan.”
Perwakilan Malaysia bertanya:
“Bagaimana Anda menghadapi sabotase? Barat akan menyerang protokol ini.”
Seno menjawab lirih:
“Bayangan tidak bisa ditusuk. Mereka akan memukul udara.”
Bandung
Malam itu di Bandung, Shadow Protocol diberi napas pertama.
Sistem itu menghubungkan: energi dari Sarawak, logistik gelap Batam—yang selama puluhan tahun menjadi jalur penyelundupan, transaksi pangan Laos, dan node-node klandestin yang dulunya dipakai sindikat perampok timah.
Layar menampilkan: Reality fork successful.
Sebuah pesan anonim masuk:
“Bayangan tak punya rumah.”
Seno menjawab:
“Rumah saya bernama Indonesia. Dan saya membangun dinding yang tak bisa mereka lihat.”
The Vanishing Name
CIA mengirim laporan pendek ke Gedung Putih:
“SENO — untraceable. Protocol self-evolving.”
Greaves menatapnya kosong.
“Kita sedang berhadapan dengan negara yang tak berbentuk.”
Di Jakarta, Presiden Pradipa berdiri memandang cahaya kota.
Ajudannya berkata, “Seno menghilang, Pak.”
Pradipa menggeleng pelan.
“Tidak. Ia baru saja menjadi sistem.”
Lampu-lampu Jakarta berkedip, seolah mengikuti denyut algoritma yang bergerak di bawah tanah.
Seno tidak lagi manusia. Ia adalah protokol. Dan Imperium Tiga Samudra mulai tersengal nafasnya.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
BACA JUGA:
Novel”Imperium Tiga Samudra” (17) – Mantra Seno
Novel “Imperium Tiga Samudra”(16) – Shadow Exchange
Novel “Imperium Tiga Samudara” (15) – Operation Floodgate
Related Posts

Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Sampaikan Duka Mendalam Atas Banjir dan Lonsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar

Tim Penjaringan dan Penyaringan Tetapkan Muhammad Nabil Calon Tunggal Bacaketum KONI Jatim

Korban banjir di Indonesia mengumpulkan puing-puing rumah dan mata pencaharian yang hanyut

Pengawasan Bandara Morowali Dipertanyakan, Para Tokoh Desak Pemerintah Tegakkan Kedaulatan Negara

Banjir Utara Sumatera, Hanura Minta Pemerintah Tetapkan Status Bencana Nasional

Satu juta orang dievakuasi di Indonesia karena jumlah korban tewas akibat banjir melampaui 600

Kubu Alumni UGM Tantang Andi Aswan, Minta Salinan Ijazah Jokowi Dibawa Ke PN Solo

Jokowi dan LBP Tiba Saatnya Akan Ditangkap Rakyat

Beda Pendapat Rektor UGM vs AI, Faizal Assegaf: Yang Jujur Robot Atau Manusia?

Bantuan Terlambat Datang, Warga Tapanuli Jarah Supermarket


No Responses