Oleh: Budi Puryanto
Ruang rapat bawah tanah itu tetap dingin. Bahkan ketika AC dimatikan, dinginnya seperti berasal dari tembok—atau dari sesuatu yang menyelinap lewat celah-celah beton.
Lampu neon berkedip pelan.
Laksamana Madya Surya Prakoso berdiri di ujung meja, memegang map hitam yang tebalnya tak seberapa, namun label merahnya membuat siapapun menegang:
SANGAT RAHASIA – EYES ONLY
Di seberang meja, Seno duduk perlahan. Bukan karena takut. Lebih karena ia tahu: ruangan ini terlalu bising untuk seseorang yang membawa ingatan seperti miliknya.
Surya menatapnya dalam-dalam.
“Aku tidak akan basa-basi,” katanya. “Kami menemukan sesuatu. Tapi… kami tidak mengerti apa-apa.”
Seno mengangkat alis. “Biasanya TNI AL datang dengan semua jawaban.”
“Tidak kali ini.” Surya membuka map, memperlihatkan lembar sonar yang rusak seperti digambar anak-anak gemetar.
“Kau pernah ke bawah sana. Kau kembali hidup-hidup.”
Ia berhenti sejenak. “Dan… kami tidak tahu bagaimana itu mungkin.”
Seno meremas jemarinya. Ada kilatan ketidaknyamanan di wajahnya.
“Laksamana, apa sebenarnya yang kalian temukan?”
Surya menatapnya frustrasi.
“Itu masalahnya. Kami tidak menemukan apa-apa. Alat rusak. Drone hilang. Tekanan kacau. Semua parameter fisika—berantakan.”
Ia meletakkan diagram sonar. “Seakan-akan laut menolak kami.”
Seno tertawa kecil, suara rendah yang membuat Surya merinding.
“Bukan laut yang menolak.”
Surya memicingkan mata. “Apa maksudmu?”
Energi yang punya kesadaran dan kecerdasan
“Energi itu,” kata Seno pelan, “bukan sekadar fenomena alam, Pak.”
“Lalu apa?”
Seno menunduk. “Ia… melihat.”
Surya mengerutkan kening. “Melihat?”
“Merespons,” lanjut Seno. “Mengukur. Memilih.”
“Memilih apa?”
“Siapa yang boleh kembali.”
Surya menatapnya seperti melihat sesuatu yang tidak ingin ia percayai.
“Kau… kau mengatakan seolah-olah energi itu sadar.”
Seno mengangguk tipis tanpa ragu.
Surya mendengus, berusaha menutupi ketakutannya. “Ilmuwan kami mengatakan itu hanya anomali gravitasi.”
Seno tersenyum hambar. “Kalau itu membuat kalian tidur tenang, silakan.”
Pintu Wallace & Auto Cloce
Surya mengambil napas panjang, menahan getar di suaranya.
“Kami menyebutnya Pintu Wallace.”
“Salah,” potong Seno. “Itu bukan pintu.”
“Apa, kalau begitu?”
“Peringatan.”
Surya menggeser foto lingkaran energi biru-kehijauan yang kabur. “Kami juga menemukan istilah yang aneh dari log perangkatmu… Auto Cloce. Tidak ada yang mengerti itu apa.”
“Penutupan otomatis,” jelas Seno. “Tindakan defensif.”
“Defensif dari siapa?”
Seno mengangkat wajahnya. Matanya kosong namun dalam.
“Dari kita semua.”
Surya menghela napas kasar. “Jadi benar… ketika kau turun ke sana, sesuatu terbuka?”
“Bukan terbuka,” jawab Seno. “Ia mengizinkan kami melihat.”
“Dan sekarang menutup selamanya?”
Seno terdiam lama. “Ya. Dan itu keputusan yang tidak akan diubah.”
Ketidaktahuan TNI AL
Surya menyodorkan rekaman terakhir drone Omega milik China—gambar yang kabur lalu berubah jadi pecahan debu metalik.
“Aku tidak mengerti apa yang terjadi di sini,” katanya putus asa. “Kami bukan melawan negara. Kami bukan melawan teknologi. Rasanya seperti—”
“Seperti melawan makhluk,” bisik Seno. “Karena memang begitu.”
Surya memukul meja, frustasi.
“Kalau kau tahu semuanya, kenapa tidak kau katakan dari dulu!?”
Seno menatapnya lama, dingin.
“Karena kalian tidak akan percaya.”
“Sekarang aku percaya!” bentak Surya.
“Tidak,” jawab Seno lembut. “Sekarang kau takut. Itu berbeda.”
Surya menutup map dan mencondongkan badan.
“Aku perlu jawaban, Seno. Apa yang sebenarnya terjadi di kedalaman Banda? Kenapa kau satu-satunya yang kembali?”
Seno menghela napas, seperti menahan sesuatu yang berat.
“Aku tidak kembali sendiri.”
Surya menegang. “Apa maksudmu?”
“Ada sesuatu yang… ikut.”
“Makhluk?” suara Surya hampir retak.
“Tidak,” Seno menggoyang kepala. “Bukan makhluk. Bukan entitas. Lebih seperti… pola.”
“Pola apa?”
Seno menyentuh pelipisnya.
“Pola yang tinggal di sini. Mengamati. Menunggu.”
Surya merasakan dingin menyapu tulang punggungnya.
“Jadi ingatanmu…”
“—bukan sepenuhnya milikku,” sambung Seno. “Ada… jejak.”
Surya memejamkan mata, lalu membukanya lagi dengan keputusan berat.
“Kau bukan hanya saksi, Seno. Kau… kunci.”
Seno tidak menjawab.
“Jika negara lain tahu apa yang kau bawa… Indonesia akan jadi medan tempur,” ujar Surya. “Dan kalau energi itu dieksploitasi, planet ini bisa hancur.”
Seno mengangguk.
“Itulah sebabnya aku diam.”
Surya berdiri. Tangannya gemetar, meski ia berusaha menutupi.
“Aku panggil kau ke sini untuk meminta jawaban,” katanya lirih. “Tapi… ternyata kau yang memegang semuanya.”
Seno bangkit, menatapnya dengan sorot yang bukan hanya milik manusia.
“Jawaban bukan untuk dibuka, Laksamana,” ucapnya. “Kadang pintu ditutup bukan untuk melindungi yang di luar… tapi melindungi yang di dalam.”
Surya kehilangan kata-kata.
Seno menuju pintu ruangan.
Sebelum keluar ia berkata pelan:
“Auto Cloce bukan penutupan biasa. Itu… vonis.”
“Vonis untuk siapa?”
Seno menatap lampu neon yang berkedip.
“Untuk kita semua. Kalau kita memaksa membukanya lagi.”
Pintu tertutup.
Surya berdiri sendiri di ruangan dingin, akhirnya sadar: TNI AL tidak menemukan apapun. Mereka hanya menemukan Seno. Dan itu lebih menakutkan daripada apa pun yang ada di palung.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
BACA JUGA:
Novel “Imperium Tiga Samudra” (21) – Auto Cloce, Pintu Yang Tidak Boleh Dibuka Lagi
Novel “Imperium Tiga Samudra” (20) – Palung Wallace, Energi Yang Tak Seharusnya Bangkit
Novel “Imperium Tiga Samudra” (19 ) – Drone Bawah Laut China
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (12): Modernisasi Militer, Stabilitas Keamanan, dan Ekspansi Pertahanan Indonesia

Novel “Imperium Tiga Samudra” (21) – Auto Cloce, Pintu Yang Tidak Boleh Dibuka Lagi

Novel “Imperium Tiga Samudra” (20) – “Palung Wallace”, Energi Yang Tak Seharusnya Bangkit

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (11): Pengakuan Dunia, Diplomasi Damai, dan Kiprah Internasional Indonesia di Era Soeharto”

Novel “Imperium Tiga Samudra” (19 ) – Drone Bawah Laut China

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (10): Warisan Stabilitas Makro dan Fondasi Ekonomi Jangka Panjang

Novel “Imperium Tiga Samudra” (18 ) – Shadow Protocol

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (9): Stabilitas Keamanan dan Modernisasi Militer Indonesia

Setelah Ira Puspadewi Direhabilitasi, Layakkah Karen Agustiawan Mendapat Perlakuan Yang Sama?

Novel “Imperium Tiga Samudra” (17) – Mantra Seno


No Responses