Pemimpin Harus Punya Rasa Empati

Pemimpin Harus Punya Rasa Empati
Ilustrasi aksi menolak pajak yang memberatkan

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Empathy dalam bahasa Inggris merupakan kata benda yang bermakna: “the ability to understand and share the feelings of another.” Atau “kemampuan seseorang untuk memahami dan memiliki perasaan yang sama dengan orang lain”. Kalau kita melihat tayangan anak-anak Palestina di Gaza yang tubuhnya tinggal tulang dan kulit akibat kebijakan brutal Israel untuk membuat lapar anak-anak itu, maka rasa empati kita muncul – “bayangkan kalau itu terjadi pada keluarga saya”. Kalau kita melihat gambar dan media masa sekitar 25.000 anak-anak muda pencari kerja di Bekasi berdesakan antri berjam-jam untuk melamar sebuah lowongan pekerjaan; empati kita juga muncul “apakah anak cucu kita yang sekarang lagi kuliah akan mengalami hal yang sama seperti itu”.

Dalam ilmu komunikasi, rasa empati diperlukan agar suatu komunikasi itu efektif. Empati itu menjadikan kedua belah pihak yang berkomunikasi yakni Communicator – si pembawa pesan dan Receiver – yang menerima pesan memiliki perasaan yang sama yang akhirnya menimbulkan saling pengertian yang ujung-ujungnya menyebabkan terjadikan komunikasi yang efektif.

Seorang pemimpin publik – apapun jabatannya perlu memiliki rasa empati itu agar komunikasi publiknya tidak terhambat karena rakyatnya sebagai penerima pesan akan memahami suatu persoalan. Seorang Bupati yang memiliki rasa empati maka dia akan berhati-hati mengeluarkan pesan (kebijakan) misalnya soal kenaikan pajak. Dia mempunyai banyak pertimbangan bila menuntut rakyatnya membayar pajak tinggi disaat kondisi ekonomi sedang suram, banyak pengangguran, banyak PHK, banyaknya orang miskin karena terjerat hutang dsb.

Keputusan Pak Sudewo, Bupati Pati Jawa Tengah untuk menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) bukan 10 atau 20%, tapi 250% merupakan bentuk kebijakan yang jauh dari rasa empati kepada rakyatnya. Bisa diduga reaksi rakyat Pati – menentang keputusan itu dengan mengancam akan melakukan demonstrasi besar-besaran. Rakyat Pati melawan pemimpinnya yang dianggap tidak memiliki rasa peduli dan rasa memahami penderitaan rakyat dengan menaikkan PBB itu diatas 200%.

Rakyat Pati marah dan kecewa berat karena kebijakan pemimpinnya yang jauh dari aspirasi rakyat banyak dan kemarahan mereka memuncak karena sang Bupati malah menantang rakyatnya untuk mengerahkan 5.000 bahkan 50.000 orang demonstran dan bersedia meladeni protes itu.

Akhirnya Bupati Pati, Sudewo, membatalkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250% setelah diprotes warga. Namun, warga tetap berencana berdemonstrasi menuntutnya mundur.

Sudewo beralasan, keputusan membatalkan kebijakan itu diambil setelah mempertimbangkan arahan pemerintah, baik pusat dan provinsi, serta aspirasi warga dan tokoh masyarakat. “Sesuai arahan Bapak Menteri Dalam Negeri dan Bapak Gubernur Jawa Tengah untuk diturunkan, serta sesuai tuntutan warga Kabupaten Pati, maka saya nyatakan bahwa kenaikan PBB tersebut akan saya akomodasi untuk diturunkan,” ujar Sudewo melalui keterangan pers, Jumat (08/08).

Namun, pernyataan Sudewo tidak menyurutkan niat kelompok masyarakat menggelar aksi demonstrasi 13 Agustus mendatang. Selain mendesak agar Sudewo membatalkan kebijakan kenaikan PBB, kelompok masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu menuntut Sudewo mundur dari jabatan bupati.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K