Oleh: Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia
VII. Pribumi dan Masalah Non-Pribumi
Satu dari sekian keberhasilan gerakan anti-pribumi atau anti-bangsa Indonesia asli adalah larangan penggunaan kata pribumi dalam politik dan pemerintahan. Selain China, relasi pribumi dengan non-pribumi lainnya dapat dikatakan tidak ada masalah. Dalam konteks relasi pribumi dan non-pribumi, bukan hanya non-pribumi China yang menghadapi masalah ketika berhadapan dengan kaum pribumi terutama pribumi yang sudah modern, tetapi juga kaum pribumi menghadapi kesulitan ketika berhadapan dengan non-pribumi China. Inilah yang saya sebut pada bagian ini sebagai ‘masalah non-pribumi’ yang oleh kaum pribumi Nusantara dipersepsi sebagai ‘ancaman China’ sekaligus ‘musuh bersama dari luar’. Di era Orde Baru, identitas China secara bertahap hanya naik ke arah ekonomi, dan rezim Soeharto tampaknya tidak khawatir dengan masalah ini. Padahal Presiden Soekarno sudah memberi isyarat tentang konsekuensi dan implikasinya melalui Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959 terkait kemarahnnya terhadap sikap politik China yang menolak menjadi bangsa Indonesia. Pasca Orde Baru, identitas China melaju dengan cepat ke arah ekonomi dan politik, yang oleh rezim politik Jokowi selama dua periode (2014-2024) justru diberi dukungan secara vulgar melalui berbagai kebijakan.
Ide tentang ‘masalah non-pribumi’ yang lingkup maknanya pada ‘Ancaman China’ dan ‘musuh bersama dari luar’ dapat didekati dari dua sudut pandang, yakni: (1) sudut pandang internal dengan fokus pada dominasi ekonomi politik dan politik ekonomi; dan (2) sudut pandang eksternal dengan fokus pada sosial dan budaya khususnya kegagalan dalam cross cutting affiliations dan cross cutting loyalities. Dari sudut pandang internal, ide tentang ‘ancaman China’ dan ‘musuh bersama dari luar’ muncul ketika segelintir konglomerat China yang populer dengan istilah ‘oligarki Taipan’ telah menguasai hampir seluruh perekonomian nasional: pasar dan sumber daya nasional: sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), dan sumber daya buatan (SDB). Pembicaraan tentang segelintir konglomerat China, ‘barisan Naga’ atau ‘oligarki Taipan’ yang mengambil setting di seputar perusahaan-perusahaan konglomerat China menggambarkan keterbelakangan kaum pribumi dalam segala hal dalam bidang ekonomi.
Itu tentu bukanlah sebuah gambaran provokatif setelah memperhatikan kekayaan yang ada di perusaaan milik para konglomerat Taipan, seperti Adaro Group (Garibaldi “Boy” Thohir), Agung Sedayu Group (Sugianto Kusuma alias Aguan), Agung Podomoro (Trihatma Kusuma Haliman), Arta Graha (Tomy Winat), Alfamart (Djoko Susanto), Barito Group (Prajogo Pangestu), CITRA (Keluarga Ciputra), Djarum Group (Pendiri: Oei Wie Gwan; dikelola keluarganya: Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono), Gunung Sewu Kencana Group (Husodo Angkosubroto), Lippo Group (Keluarga Riady), Lyman Group (Pendiri: Susanta Lyman, penerus: Susanto Osbert Lyman), Mayapada Group (Keluarga Tahir), Mulia Group (Eka Tjandranegara), MNC Group (Hary Tanoesoedibjo), Pakuwon Jati Group (Alexander Tedja), Pulauintan Bajaperkasa atau Pulauintan (Pui Sudarto), Salim Group (Pendiri: Sudono Salim, tokoh kunci: Anthony Salim), Sinar Mas Group (Franky Oesman Wijaya), Summarecon (Sutjipto Nagaria), Sariguna Primatirta (Hermanto Tanoko, Tancorp (Hermanto Tanoko-Wijoko Tanoko), dan lain-lain.
Bagi kaum pribumi, tampilan data statistik tentang angka pendapatan nasional dan angka pertumbuhan nasional bukanlah repsentasi dari tampilan angka pendapatan dan angka pertumbuhan ekonomi kaum pribumi. Melainkan cermin dari angka pendapatan dan pertumbuhan ekonomi ‘oligarki Taipan’ di satu sisi, dan cermin dari angka kesenjangan atau kemiskinan kaum pribumi di lain sisi. Selama dua periode rezim politik Presiden Jokowi, segelintir konglomerat China atau ‘oligarki Taipan’ ini tidak hanya menguasai hampir seluruh perekonomian nasional, tetapi juga telah mempengaruhi politik nasional dan politik lokal Republik.
Lalu dari sudut pandang eksternal, ide tentang ‘masalah non-pribumi’ dan ‘musuh bersama dari luar’ muncul ketika ‘identitas politik China’ menguat seiring meningkatnya jumlah WNI China dan imigran China, serta meningkatnya pengaruhnya di panggung politik. Meskipun data kuantitatif di bagian kependudukan Kementerian Dalam Negeri, di bagian kewarganegaraan Kementerian Hukum dan HAM, di bagian kelahiran BKKBN, dan di bagian Imigrasi tergolong ‘gelap’, namun kaum pribumi tetap merasa adanya peningkatan signifikan jumlah etnis China yang disebabkan oleh peningkatan ‘angka kelahiran’ dan ‘angka imigran’ yang tidak pernah transparan. Pada tahun 1961, jumlah etnis China di Indonesia masih berada di kisaran angka 2,5 juta jiwa (G.W. Skinner, 1963: 99). Lalu tahun 2006, Overseas Compatriot Affairs Commission, R.O.C. (Taiwan) memperkirakan jumlah etnis China di Indonesia sudah di kisaran angka 7,6 juta jiwa. Banyaknya orang China yang enggan mengaku etnis China atau Tionghoa saat sensus penduduk dilaksanakan, menjadikan jumlah orang China tegolong “gelap tetapi terang”.
Bagi kaum pribumi, narasi tentang ‘etnis minoritas’ bukan hanya dipandang sebagai bentuk propaganda politik dan agitasi politik yang tidak relevan dengan fakta kuantitatif berupa jumlah orang China di Indonesia dan fakta kualitatif berupa dominasi terhadap penguasaan perekonomian nasional, tetapi juga dianggap sebagai bentuk serangan “musuh dari luar” terhadap kaum pribumi di wilayahnya sendiri. Perasaan kaum pribumi ini tidak juga mudah disanggah, karena secara faktual jumlah etnis China baik yang imigran maupun yang WNI juga tidak pernah terang. Bandingkan dengan faktual kuantitas beberapa suku bangsa pribumi yang memang menjadi target pengurangan atau pelambatan angka kelahiran yang datanya relatif tidak sulit diakses di instansi terkait, seperti Badan Kependudukan dan Kelurga Berencana Nasional (BKKBN) dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Ambil perkiraan jumlah etnis WNI China yang disebut-disebut media sosial yang sudah mencapai 10 juta atau 3,8% penduduk Indonesia. Secara faktual itu sudah lebih banyak daripada jumlah etnis pribumi tertentu. Suku bangsa Batak, misalnya, yang jumlahnya di kisaran 8,4 juta jiwa atau 3,58% total penduduk Indonesia tahun 2010, suku bangsa Betawi yang jumlahnya di kisaran 6,8 juta jiwa atau 2,88% total penduduk Indonesia tahun 2010, suku bangsa Bugis yang pada sensus penduduk 2010 jumlahnya di kisaran 6,3 juta jiwa atau 2,69% total penduduk Indonesia, suku bangsa Madura yang pada tahun 2010 jumlahnya kurang lebih 7,1 juta atau 3,0% total penduduk Indonesia, suku bangsa Minang yang pada sensus 2020 jumlahnya di kisaran 5,5 juta jiwa, dan suku bangsa Melayu yang jumlahnya kurang lebih 5,3 juta jiwa atau 2,27% total penduduk Indonesia tahun 2010.
Ketegangan-ketegangan ke arah politik, ekonomi, dan kultural tak terhindarkan ketika identitas China yang di satu sisi tetap terikat kuat pada kebudayaan negeri nenek moyangnya yang ditopang oleh pengaruhnya semakin kuat terhadap ekonomi dan politik Indonesia, sementara di lain sisi merasa lebih eksklusif daripada identitas pribumi. Keyakinan pada diri kaum pribumi bahwa etnis China terlalu kuat dalam hal keterikatan pada identitas negeri leluhurnya, tidak hanya memperkuat “masalah non-pribumi” yang identik dengan “ancaman China”, tetapi juga menyulitkan lahirnya solidaritas sosial apalagi nasionalisme Indonesia. Situasi ini mendorong meningkatnya kesadaran identitas pribumi yang diwujudkan ke dalam berbagai reaksi termasuk kemarahan diam. Dalam sejumlah kasus yang mendapat dukungan kuat dari pemerintah, seperti pembuatan pulau baru berkedok reklamasi, Eco City di Pulau Rempang, “tembok kota” Pantai Indah Kapok (PIK)-1 dan PIK-2, dan lain-lain yang oleh kaum pribumi terutama yang jadi korban penggusuran digambarkan sebagai bentuk-bentuk penjajahan baru oleh “musuh bersama dari luar”. Pada sebagian pengertian, “masalah non-pribumi” lebih mencerminkan dominasi identitas China terhadap identitas Pribumi dan asumsi-asumi anti-pribumi ketimbang melihatnya sebagai arena pertikaian yang memerlukan upaya ‘perdamaian demokrasi’ sebagai jalan keluarnya.
Pada level tinjauan umum, perluasan dan peningkatan dominasi indentitas China berarti perluasan dan peningkatan resistensi identitas Pribumi yang akan membawa kepada peningkatan risiko, ketidakpastian, dan ketidakstabilan. Dengan perluasan dan peningkatan indentitas China, itu berarti akan banyak peristiwa yang konsekuensi dan implikasinya yang sangat sulit diprediksi dan berjangkau luas yang disebabkan oleh banyaknya hal yang mempengaruhi lebih banyak hal lainnya. Ini adalah penjelasan teori chaos yang dimatangkan dalam pembiaran struktur politik dari rezim ke rezim politik. Suatu situasi yang tercipta layaknya “cipta kondisi” yang tidak melihat implikasinya yang rentan krisis, rentan ketidakstabilan, dan rentan risiko yang lebih luas dan tidak ringan, serta sifanya yang laten dan permanen akibat tergantikannya distribusi keadilan, kebaikan, dan pemerataan oleh subsidi atau bantuan pemerintah yang sifatnya suap politik. Dalam beberapa kasus, seperti kerusuhan 1997 di Makassar dan kerusuhan 1998 di Jakarta, chaos yang mengambil bentuk ledakan ketidakpuasan politik berupa konflik fisik dengan menggunakan instrumen primordial, tak terhindarkan setelah lama berlangsung distribusi keburukan, kesenjangan, dan ekslusifitas identitas politik.
Peningkatan pengaruhnya dalam politik yang ditopang oleh kemajuan ekonominya, menjadikan ‘masalah non-pribumi’ cepat meluas untuk ditafsirkan oleh kaum pribumi sebagai ‘ancaman China’ dan ‘musuh bersama dari luar’. Penafsiran ini bahkan seketika menjadi keyakinan politik kaum pribumi setelah rasa prustasi menyelimutinya akibat penyebaran dominasi ekonomi dan politik di seluruh teritori. Deretan korban tanpa pembelaan pemerintah akibat sebaran penguasaan lahan, penyerobotan lahan dan atau penggusuran, misalnya, seperti dalam kasus proyek Eco City di Rempang, kasus PIK-2 yang dikemas dalam proyek strategis nasional (PSN) menjadikan ‘masalah non-pribumi’ sebagai “bom waktu” yang tidak dapat diprediksi. Proses pembangunan nasional dan lokal yang harusnya menguatkan adaptasi politik, stabilitas politik, dan integrasi politik dengan cara menipiskan perbedaan-perbedaan yang dipertentangkan justru gagal di tangani setiap rezim politik. Pemerintah melalui kebijakannya yang sarat dengan distrubusi keadilan dan kebaikan sejatinya dapat menjadi mediator netral dalam kompetisi dan pertikaian antara identitas politik China dan identitas politik pribumi. Namun sikapnya yang berbalik menjadi bagian dari konflik politik dan ekonomi yang menggunakan instrumen primordialisme etnis atau suku justru menjadi berlarut dengan siafatnya yang laten dan permanen.
Saya sendiri tidak tau kapan situasi akut ini akan berakhir, meskipun secara teoritis dapat dihentikan melalui rekonstruksi politik yang mengasilkan sistem politik modern yang dapat memastikan pemerintahan negara menjalankan tugas dan fungsi alamiah dan ilmiahnya untuk melindungi semuanya. Namun itu sangat tergantung pada kesadaran politik kaum pribumi untuk bergandengan tangan dengan rezim politik yang sadar untuk kembali menegakkan sistem politik politik yang didesain oleh para pendiri Republik sebagimana subtansinya dicontohkan dalam UUD’1945. Bahwa terdapat pasal tertentu dalam UUD’1945 yang harus diadaptasikan seperlunya dengan perubahan melalui teknik adendum, itu sangat jelas penting dan mendesak. Namun mengganti UUD’1945 dengan UUD’2002 yang di dalamnya tersembunyi tiga motif politik untuk mencaplok Republik, jelas itu adalah sikap keterlaluan yang amat melampui batas. Kepada para politisi dan para pejabat puncak politik bukankah sudah sering kali saya tegaskan bahwa absurd berbicara kesejateraan dan kemakmuran rakyat jika tak mampu membaca konspirasi politik tingkat tinggi di balik berlakunya UUD’2002 yang motifnya ingin menguasai pemerintahan, politik, dan ekonomi Republik.
EDITOR: REYNA
BACA JUGA:
Bagian 6: Geneologi Politik Dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 6)
Bagian 5: Geneologi Politik Dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 5)
Bagian 4: Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian 4)
Bagian 3: Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-3)
Bagian 2: Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-2)
Bagian 1: Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-1)
Related Posts
Muhammad Chirzin: Israel Merajalela
Alumni Harvard Turun Gunung Membantu Alma Maternya Melawan Trump.
OPINI Ulrich Schlie: Kebangkitan pertahanan Jerman: Perspektif Bundeswehr
Sampai Kapan US$ Menguat Terhadap Rupiah?
ICMI: Dari Gagasan Menuju Gerakan, Dari Cendekiawan Menuju Pelayan Umat
Diskusi Psikologi Rakyat Konoha
Prabowo Adalah TNI Demokratis: Tanggapan Untuk Dhimam Abror Djuraid
Mau Dibawa Kemana Negara Ini Ketika Polri Ingkar Terhadap Konstitusi
Janji Gibran 19 Juta Lapangan Kerja, Realisasi Buka Moratorium Kerja di Arab Saudi
Era Balas Membalas
No Responses