Oleh: M. Isa Ansori
Ada sesuatu yang janggal dalam politik Indonesia hari ini. Janggal bukan karena kita tidak pernah melihat kekuasaan yang kompromistis, tetapi karena kompromi itu dilakukan oleh seorang tokoh yang dulu paling keras bersuara soal kedaulatan, kebenaran, dan kehormatan negara.
Pertanyaannya kini menggema dari berbagai ruang diskusi: “Prabowo, sampai kapan engkau bertahan dengan sikapmu?”
Sampai kapan engkau terus menutup mata terhadap warisan rezim Jokowi yang dipenuhi proyek bermasalah, kebijakan oligarkis, pembungkaman suara adat, dan kerusakan ekologis yang kian membesar? Sampai kapan engkau menjadi penjaga pagar bagi kekuasaan lama, alih-alih menjadi presiden yang berani melakukan koreksi dan pembebasan?
Warisan yang Disembunyikan, Beban yang Dipikul
Sebagai mantan Menhan, Prabowo bukanlah sosok awam. Ia membaca laporan yang tidak pernah dipublikasikan. Ia tahu peta masalah dari Sabang sampai Merauke. Ia tahu bagaimana jaringan ekonomi-politik bekerja, siapa yang bergerak di belakang, dan apa dampaknya bagi rakyat.
Karena itu publik heran: mengapa ia diam?
Para pengamat menilai bahwa Prabowo tampak terlalu terikat oleh “utang politik”—utang yang membuatnya enggan mengambil langkah korektif terhadap warisan Jokowi, meski warisan itu membawa konsekuensi berat bagi rakyat.
Diam Prabowo bukan sekadar diam politik. Diam itu menjadi restu sunyi bagi kebijakan yang selama satu dekade dikeluhkan publik.
Kereta Cepat Whoosh: Kecepatan Tinggi, Beban Tinggi
Whoosh berdiri sebagai monumen megah. Tetapi para ekonom melihatnya sebagai monumen pembengkakan anggaran yang tidak pernah benar-benar dibuka ke publik. Dari janji “tanpa APBN”, publik akhirnya tahu bahwa APBN ikut menalangi.
Namun Prabowo memilih melanjutkan narasi lama: bahwa proyek ini “membawa masa depan”.
Padahal masa depan seperti apa yang dimaksud jika rakyat harus menanggung utang jangka panjang yang lahir dari kesalahan perencanaan?
Di sini publik mulai bertanya: Apakah Prabowo presiden, atau sekadar penerus narasi Jokowi tanpa ruang koreksi?
Morowali: Hilirisasi atau Penyerahan Kedaulatan?
Morowali adalah cermin paling terang dari pergeseran arah politik Indonesia. Hilirisasi digadang sebagai keberhasilan, tetapi laporan lapangan menunjukkan realitas sebaliknya: pencemaran berat, ketergantungan modal asing, kondisi kerja berbahaya, serta minimnya nilai tambah bagi masyarakat lokal.
Publik ingat: Prabowo dulu berbicara lantang tentang kedaulatan nasional.
Namun kini, ketika kedaulatan itu tergadaikan di lumbung nikel, suaranya justru hilang.
Para analis menyebutnya ironi terbesar: Prabowo yang dulu vokal tentang kedaulatan kini memilih mendiamkan ketergantungan baru yang lahir dari kebijakan era Jokowi.
Bandara “Republik dalam Republik”: Simbol Kekuasaan yang Lepas Kendali
Ketika Menhan Syafrie menyebut ada bandara yang beroperasi seperti “republik dalam republik”, publik terhenyak.Ungkapan itu mengisyaratkan adanya ruang strategis negara yang dikelola dengan pola yang tidak sepenuhnya dalam kontrol NKRI.
Namun yang lebih mengagetkan adalah tidak adanya tindak lanjut tegas dari Prabowo. Jika presiden tidak bergerak memperbaiki kedaulatan atas infrastruktur udara, lalu apa makna slogan “Indonesia Berdaulat”?
Ketidakberanian ini membuat publik bertanya: Sampai kapan engkau membiarkan kedaulatan negara menjadi ruang abu-abu?
Banjir Sumatra: Ketika Oligarki Menang, Rakyat yang Tenggelam
Banjir yang merata di banyak wilayah Sumatra bukan sekadar bencana alam. Para ahli lingkungan menegaskan bahwa kerusakan hulu sungai, konsesi perkebunan besar, dan izin-izin yang longgar—yang secara publik sering dikaitkan dengan jejaring politik termasuk figur seperti Zulkifli Hasan—menjadi penyebab strukturalnya.
Hutan dibuka tanpa ampun. Satwa terusir dari habitatnya. Rakyat kehilangan rumah setiap tahun
Namun Prabowo tetap mempertahankan pola kebijakan lama, seolah banjir hanyalah “kejadian musiman”. Padahal yang musiman bukan banjirnya—yang musiman adalah keberanian politik.
IKN: Kota Masa Depan, Luka Masa Kini
IKN digambarkan sebagai simbol transformasi Indonesia. Namun di balik slogan modernitas itu, masyarakat adat—Suku Balik, Paser, dan komunitas lainnya—justru mengalami tekanan luar biasa.
Tanah ulayat mereka berubah status. Situs budaya mereka tergusur. Akses hidup mereka dipersempit oleh proyek raksasa yang tidak memberi ruang setara bagi suara adat.
IKN adalah satu dari sedikit proyek yang paling membutuhkan koreksi moral. Tetapi Prabowo memilih meneruskan pola lama: cepat, agresif, tanpa jeda refleksi.
Pertanyaannya: Sampai kapan masyarakat adat harus menanggung beban pembangunan yang tidak mereka minta? Sampai kapan Prabowo membiarkan luka ini melebar?
Prabowo di Persimpangan Sejarah
Kini Prabowo berada pada titik di mana sejarah akan menilai apakah ia seorang pemimpin atau sekadar pewaris.
Seorang pemimpin memperbaiki kesalahan, bahkan jika kesalahan itu dibuat oleh orang yang pernah membantunya. Pewaris hanya menjaga kursi tetap hangat, meski rakyat kedinginan di luar sana.
Jika Prabowo tetap bertahan di dalam lingkar ketakutan politik dan utang budi, publik menilai ia akan tercatat bukan sebagai pemimpin besar, tetapi sebagai presiden yang tidak sanggup mengoreksi rezim sebelumnya.
Prabowo, Sampai Kapan?
Sampai kapan engkau terus melindungi kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat? Sampai kapan engkau mempertahankan proyek yang menggadaikan kedaulatan ekonomi dan tanah adat?
Sampai kapan engkau diam atas oligarki yang terus merampas hutan, nikel, bandara, tanah adat, dan masa depan bangsa?
Rakyat sudah menunggu terlalu lama. Saatnya engkau menjawab—dengan tindakan, bukan retorika.
Surabaya, 2 Desember 2025
Tentang Penulis ;
M. Isa Ansori, Penulis dan Akademisi, Wakil Ketua ICMI Jatim dan Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya
EDITOR: REYNA
Related Posts

Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Sampaikan Duka Mendalam Atas Banjir dan Lonsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar

Tim Penjaringan dan Penyaringan Tetapkan Muhammad Nabil Calon Tunggal Bacaketum KONI Jatim

Korban banjir di Indonesia mengumpulkan puing-puing rumah dan mata pencaharian yang hanyut

Pengawasan Bandara Morowali Dipertanyakan, Para Tokoh Desak Pemerintah Tegakkan Kedaulatan Negara

Banjir Utara Sumatera, Hanura Minta Pemerintah Tetapkan Status Bencana Nasional

Satu juta orang dievakuasi di Indonesia karena jumlah korban tewas akibat banjir melampaui 600

Kubu Alumni UGM Tantang Andi Aswan, Minta Salinan Ijazah Jokowi Dibawa Ke PN Solo

Jokowi dan LBP Tiba Saatnya Akan Ditangkap Rakyat

Beda Pendapat Rektor UGM vs AI, Faizal Assegaf: Yang Jujur Robot Atau Manusia?

Bantuan Terlambat Datang, Warga Tapanuli Jarah Supermarket



No Responses