JAKARTA – Laporan “Bocor Halus Tempo” yang beredar pekan ini kembali menyalakan alarm tentang kerentanan koordinasi di lingkaran terdekat Presiden Prabowo Subianto. Bukan hanya soal respons bencana di Sumatera yang dinilai terlambat, tetapi juga mengenai bagaimana informasi penting dapat tersesat—atau tersaring terlalu banyak—sebelum sampai ke meja utama pengambil keputusan.
Kisahnya dimulai dari laporan awal Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang disebut memberi gambaran relatif tenang: bencana “tidak terlalu besar” dan “lebih mencekam di media sosial ketimbang di lapangan”. Presiden pun mendapatkan kesan bahwa situasi aman terkendali, sehingga tidak ada kebutuhan untuk mengaktifkan respons cepat berskala nasional.
Namun persepsi itu runtuh seketika ketika linimasa media sosial dipenuhi foto dan video penuh kepanikan—gelap listrik, rumah hanyut, jalan runtuh, dan warga yang berteriak minta pertolongan. Publik bereaksi keras. Nitizen mengecam.
Kosongnya Komando: Tiga Hari Tanpa Kehadiran Menteri
Rentang Kamis hingga Sabtu menjadi sorotan. Dalam periode kritis itu, menurut laporan Tempo, tidak ada satu pun menteri yang bergerak cepat ke lokasi terdampak. Kekosongan ini memunculkan kesan bahwa pemerintah kehilangan kompas, bergerak tanpa arah, dan sibuk mengelola persepsi ketimbang situasi lapangan.
Menteri pertama yang akhirnya hadir justru bukan dari kementerian yang menangani kebencanaan. Muncul: Syafrie Syamsudin, Menteri Pertahanan bersama Titik Soeharto, dan putranya Didit.
Kehadiran trio ini menandai awal respons nyata pemerintah, meski pertanyaannya semakin membesar: Di mana kementerian teknis? Mengapa pertahanan yang turun duluan?
Laporan Komplit Justru Datang dari Syafrie Syamsudin
Kisahnya makin ganjil ketika sumber Tempo menyebut bahwa laporan lengkap pertama tentang skala bencana sampai kepada Presiden bukan melalui BNPB, bukan dari kementerian terkait, dan bukan dari mekanisme resmi.
Laporan itu justru datang melalui Syafrie Syamsudin setelah ia menyaksikan langsung kondisi lapangan.
Dari sinilah Prabowo mulai memahami seutuhnya situasi yang terjadi.
Artinya, selama beberapa hari sebelumnya, informasi yang diterima Presiden tidak hanya kurang akurat, tetapi juga menyesatkan, sehingga keputusan yang seharusnya bisa diambil sejak awal menjadi tertunda.
Para Menteri Gelagapan Menyusul Setelah Presiden Turun
Setelah Prabowo akhirnya memutuskan turun ke lokasi bencana, barulah para menteri lain bergegas menyusul, menimbulkan kesan bahwa struktur pemerintahan lebih reaktif daripada proaktif.
Pemandangan ini dianggap publik sebagai tanda: tidak adanya koordinasi lintas kementerian, ketergantungan yang berlebihan pada inisiatif Presiden, serta budaya birokrasi yang menunggu arahan simbolik sebelum bergerak.
Kritik pun mengalir: mengapa Presiden tidak didukung oleh tim yang mampu mengambil inisiatif dan merespons cepat tanpa menunggu sinyal?
Lingkaran yang Tidak Kompeten? Bubble Kekuasaan Jadi Sorotan
Dalam diskusi publik, muncul pandangan bahwa Presiden dikelilingi “bubble”—lingkaran pembantu yang kurang kompeten, terlalu berhati-hati, atau enggan menyampaikan informasi pahit.
Bubble semacam ini berbahaya bagi sistem pemerintahan. Ia menciptakan: penyaringan informasi berlebihan, rasa aman palsu, laporan yang “dipoles”, hingga penyampaian data yang diringkas untuk menghindari kesan buruk.
Ketika informasi berputar dalam gelembung seperti ini, keputusan pun terlambat. Dan dalam konteks bencana, keterlambatan berarti nyawa.
Mengulang Pola yang Sama: Mengapa Mirip Peristiwa Agustus?
Sejumlah pengamat menilai pola keterlambatan ini mengingatkan pada “peristiwa Agustus”—periode kosong komando sebelum Presiden hadir dan situasi kembali terkendali. Kritiknya adalah bahwa negara tampaknya bergantung pada satu figur sentral, sementara sistem pendukung tidak mampu berdiri sendiri.
Waktu jeda sebelum Prabowo turun sendiri ke lapangan menjadi simbol kekosongan itu. Publik menangkap kesan bahwa: tidak ada pejabat yang cukup berani mengambil alih koordinasi, aliran informasi tersumbat di tengah jalan, dan mesin eksekutif tampak gagap ketika menghadapi situasi darurat.
Bencana Sebagai Cermin Tata Kelola Negara
Mengelola bencana bukan hanya soal mengirim bantuan dan memobilisasi aparat. Lebih penting dari itu, ini adalah ujian bagi: kecepatan informasi, akurasi laporan, ketegasan komando, dan keberanian pejabat untuk berkata apa adanya.
Dalam kasus Sumatera, publik melihat bahwa bukan hanya tanah dan bangunan yang runtuh, tetapi juga struktur koordinasi yang seharusnya menjadi tulang punggung pemerintahan.
Pertanyaan besar kini menggantung: Jika informasi krusial tidak mampu mencapai Presiden tepat waktu, bagaimana negara bisa bekerja dalam situasi krisis?
Bencana ini mungkin akan berlalu, tetapi luka tentang bagaimana negara meresponsnya akan bertahan lama—setidaknya sampai lingkaran kekuasaan berani mengevaluasi ulang dirinya sendiri.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Imam Utomo Turun Gunung Kawal RS Pura Raharja Hadapi Konflik Internal

Banjir Bandang Di Sumatra: “Dosa Ekologi”

Walhi : Pemicu Utama Banjir Bandang di Sumut Bukan Cuaca Ekstrem, Melainkan Kerusakan Hutan Batang Toru

Menteri LH: Harus Ada Yang Tanggung Jawab Atas Kerusakan Hutan Batang Toru

Menteri LH Pastikan Kayu Yang Terbawa Banjir Adalah Hasil Penebangan, 4 Perusahan Disegel

Kepala Dinas Kesehatan Jombang Harus Tindak Tegas, Dugaan Malpraktek Di Puskesmas Bandar Kedungmulyo

ASPIRASI: Korupsi Musuh Utama Pekerja Indonesia, Sahkan UU Perampasan Aset Sekarang!!

Puncak berlakunya sunatullah kerusakan adalah dengan Allah datangkan pemimpin yang menjadi sebab sampainya adzab bencana

Presiden Prabowo Singkirkan Perasaan Pekewuh, Ini Negara, Pecat Semua Pejabat Yang Akan Menghambat Kerja Presiden

Pemerintah Tak Punya Hati Banjir Bandang Bukan Bencana Nasional Malah Jadi Arena Selfie



No Responses