Oleh: M. Isa Ansori
Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, Pengurus Lembaga Perlindungan Anak ( LPA ) Jatim, Dosen di STT Multimedia Internasional Malang, Pengurus Forum Pembauran Kebangsaan ( FPK ) Kota Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim
Surabaya adalah rumah besar. Sebuah kota yang terus bergerak, berdenyut, dan menyala oleh semangat warganya. Sebagai kota megapolitan, Surabaya telah lama menjadi magnet yang menarik orang-orang dari berbagai penjuru negeri, bahkan dunia. Mereka datang dengan membawa harapan, bekerja keras demi keberlangsungan hidup, masa depan keluarga, dan kebahagiaan bersama. Dari situ lahirlah Surabaya yang majemuk, kaya warna, dan penuh keragaman budaya.
Namun, keberagaman ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia adalah kekayaan yang memperindah wajah kota. Tetapi di sisi lain, tanpa pengelolaan yang baik, keragaman dapat melahirkan gesekan, ketegangan, bahkan konflik. Surabaya dengan segala kompleksitasnya rentan pada persoalan sosial, mulai dari perebutan ruang hidup, kebutuhan dasar sandang, pangan, papan, hingga gesekan identitas antar kelompok.
Kita masih ingat peristiwa memilukan ketika seorang pengamen di Kalijagir meregang nyawa karena ketakutan saat melihat petugas Satpol PP. Ia memilih terjun ke sungai untuk melarikan diri dari rasa takutnya. Peristiwa itu menyentuh hati kita semua. Mengapa seorang warga kota harus begitu takut pada aparat yang seharusnya melindungi dan merangkul? Mengapa trauma dan jarak antara petugas dan rakyat masih begitu lebar? Pertanyaan ini mengingatkan kita bahwa Surabaya tidak hanya butuh pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan rasa: rasa aman, rasa dihargai, dan rasa memiliki satu sama lain. Pesoalan lain yang juga tak kalah menyedihkan konflik sosial gesekan antar suku yang dipicu persoalan kebutuhan dasar dan ketakmampuan menjaga ruang publik yang aman dengan menenggak minuman keras, sehingga memicu konflik yang mengganggu warga kota.
Sebagaimana Maslow menguraikan dalam teori kebutuhan, manusia tidak hanya butuh sandang, pangan, dan papan, tetapi juga butuh penghargaan, pengakuan, ruang untuk berekspresi, serta kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Di tengah geliat pembangunan, ruang-ruang ekspresi itu kerap terlupakan. Padahal, sebuah kota tidak bisa hanya berdiri di atas beton, baja, dan gedung-gedung tinggi. Kota sejati berdiri di atas nilai, kebudayaan, dan keberadaban warganya.
Surabaya yang kita cintai ini sejatinya memerlukan sebuah ruang perjumpaan—tempat di mana semua perbedaan bisa dirangkul, bukan dipertentangkan. Ruang yang mampu memanajemeni keberagaman agar tidak menjadi bara, melainkan menjadi cahaya yang menerangi jalan kita bersama. Dalam konteks inilah gagasan Presidium Kebudayaan menemukan relevansinya.
Presidium Kebudayaan adalah wadah keterwakilan, sebuah forum yang tidak hanya menampung suara, tetapi juga menyalakan api kebersamaan. Ia menjadi jalan tengah untuk merawat keberagaman, memediasi ego kelompok, dan membangun konsensus nilai-nilai yang humanis. Lewat presidium ini, budaya tidak hanya dimaknai sebagai seni pertunjukan atau festival belaka, tetapi sebagai fondasi keberadaban kota.
Mengapa presidium penting? Karena Surabaya adalah kota lintas budaya. Ada Madura, Jawa, Tionghoa, Arab, Batak, Dayak, Bugis, dan banyak lagi. Masing-masing memiliki sejarah, nilai, dan cara pandang. Tanpa wadah bersama, identitas ini mudah berbenturan. Namun dengan presidium, semua kelompok mendapat tempat, diakui, dan merasa menjadi bagian dari rumah besar bernama Surabaya. Presidium ibarat meja bundar, tempat semua duduk sejajar, berdialog, dan menata langkah ke depan.
Lebih dari itu, presidium bisa menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Banyak persoalan sosial muncul bukan karena kebijakan yang salah semata, tetapi karena cara komunikasi yang tidak humanis. Aparat dan warga sering kali berhadapan secara kaku, bukan saling merangkul. Presidium kebudayaan dapat menghadirkan perspektif baru: bahwa setiap kebijakan harus mengedepankan rasa, empati, dan penghargaan terhadap martabat manusia.
Surabaya harus melangkah lebih jauh: dari sekadar kota industri dan perdagangan menuju kota yang benar-benar humanis dan berkemajuan. Kota yang tidak hanya bangga dengan taman-taman indah dan infrastruktur megah, tetapi juga dengan masyarakatnya yang saling menghargai, saling menolong, dan saling menguatkan. Kota yang menjadikan kebudayaan sebagai poros pembangunan, bukan sekadar pelengkap.
Presidium Kebudayaan akan menjadi rumah bagi semua ekspresi, ruang untuk aktualisasi, sekaligus benteng agar konflik tidak mudah merobek tenun kebersamaan kita. Ia bukan milik segelintir elit budaya, tetapi milik semua: warga kampung, seniman jalanan, akademisi, tokoh agama, komunitas etnis, dan generasi muda. Dengan presidium, Surabaya benar-benar bisa menjadi kota di mana setiap orang merasa dihargai, didengar, dan memiliki tempat untuk berkarya.
“ Presidium Kebudayaan adalah jalan tengah merawat keberagaman menjadi kekuatan, sebab hanya dengan humanisme sebagai fondasi dan kebudayaan sebagai jembatan, Surabaya benar-benar bisa berdiri tegak sebagai kota yang humanis dan berkemajuan “
Kini saatnya kita merenung: mau dibawa ke mana Surabaya? Apakah kita ingin membiarkan gesekan sosial terus berulang, atau kita memilih merajut keberagaman menjadi kekuatan? Apakah kita rela melihat warga kecil terus merasa takut dan terpinggirkan, atau kita berani menghadirkan wajah Surabaya yang penuh kasih dan empati?
Jawaban itu ada di tangan kita. Dan presidium kebudayaan adalah salah satu jalan tengah yang bisa kita tempuh. Dengan presidium, Surabaya bukan hanya kota besar, tetapi kota yang benar-benar menjadi rumah kita bersama. Rumah di mana setiap jiwa merasa aman, setiap suara dihargai, dan setiap budaya diberi ruang tumbuh. Rumah di mana perbedaan bukan ancaman, tetapi anugerah. Rumah di mana Surabaya bukan hanya tempat tinggal, melainkan tempat kita saling menguatkan dalam perjalanan menuju kemajuan.
Karena pada akhirnya, kota yang besar bukanlah kota dengan gedung tertinggi atau jalan terlebar, tetapi kota yang mampu merangkul setiap warganya dengan cinta, kebudayaan, dan keberadaban. Surabaya, mari kita jaga bersama. Mari kita rawat dengan hati. Mari kita jadikan presidium kebudayaan sebagai rumah kita bersama.
Surabaya, 27 Agustus 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Warna-Warni Quote

Kunjungan Jokowi Dan Gibran Ke Keraton Kasunanan Mataram Surakarta Hadiningrat

Krisis Spiritual di Balik Krisis Ekonomi

Tambang Ilegal Diduga Kebal Hukum, LSM Gresik Minta APH Setempat Dan Polda Jatim Bertindak Tegas

Insentif Untuk Berbuat Dosa

Kalimantan Timur: Gratifikasi IUP Batubara dan Kerugian Negara miliaran

Bengkulu: Pelabuhan, Perizinan dan Korupsi Tambang Batubara

Lahat, Sumatera Selatan: Izin Usaha Pertambangan Yang Merugikan Negara Ratusan Miliar

Dharma dan Karma Prabowo

Pakar Intelijen : Dua Tokoh Nasional Diduga Menitip MRC ke Mantan Dirut Pertamina



No Responses