Oleh: Nano, Wartawan Senior
“Negara tak boleh dikelola dengan kerakusan.” Pernyataan ini bukan sekadar kritik moral, tetapi cermin dari jeritan rakyat kecil yang kian hari kian terjepit oleh kesenjangan sosial yang semakin mencolok. Sementara banyak warga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti beras, sekolah anak, dan biaya kesehatan, segelintir elite justru mengeruk kekayaan dari praktik rangkap jabatan yang legal secara administratif, namun problematik secara etis dan moral.
Fenomena wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris di badan usaha milik negara (BUMN) kembali menjadi sorotan publik. Ini bukan isu baru, tetapi berulang tanpa solusi nyata. Saat ini, tercatat beberapa wakil menteri yang masih aktif di kabinet, juga duduk manis sebagai komisaris utama atau komisaris independen di sejumlah BUMN strategis. Total penghasilan mereka dari kombinasi jabatan itu bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
Secara hukum, tidak ada aturan eksplisit yang melarang wakil menteri untuk menjadi komisaris BUMN. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN tidak menyebut secara rinci larangan terhadap pejabat setingkat wakil menteri. Namun, apakah legalitas ini menghapus pertimbangan moral dan etika?
Dalam negara demokrasi yang sehat, ada prinsip checks and balances serta conflict of interest yang mesti dijaga. Ketika seorang pejabat eksekutif juga mengendalikan lembaga bisnis milik negara, maka dikhawatirkan tidak ada lagi objektivitas dalam pengawasan dan pengambilan kebijakan. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengawasi kinerja korporasi negara jika ia juga bagian dari struktur di dalamnya?
Hal ini berpotensi besar menabrak asas good governance dan membuka celah untuk praktik-praktik moral hazard.
Di kampung-kampung dan kota-kota kecil, harga bahan pokok terus naik. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kenaikan harga beras, telur, dan minyak goreng dalam tiga bulan terakhir mencapai rata-rata 12%. Inflasi pangan memukul kelompok masyarakat terbawah. Sementara itu, angka pengangguran terbuka masih di kisaran 5,3% dengan dominasi lulusan SMA dan setingkat.
Di sisi lain, seorang wakil menteri yang juga menjabat komisaris bisa menerima gaji pokok, tunjangan kinerja, honor rapat, hingga bonus tahunan yang jika dijumlahkan bisa melebihi Rp300 juta per bulan. Angka ini setara dengan total pendapatan 100-an keluarga petani dalam satu bulan di pelosok Jawa Tengah atau Sulawesi Selatan.
Rangkap jabatan bukan hanya soal gaji besar. Ini soal efektivitas kerja dan tanggung jawab. Wakil menteri seharusnya menjadi penyambung strategi antara presiden dan jajaran kementerian teknis. Mereka punya tugas yang sangat berat, mulai dari merumuskan kebijakan publik hingga mengawal program strategis nasional. Jika mereka disibukkan dengan rapat-rapat BUMN, bagaimana mungkin bisa maksimal di kementerian?
Di sisi BUMN, posisi komisaris seharusnya diisi oleh profesional independen yang memiliki kapasitas dan integritas, bukan orang politik atau pejabat aktif yang berpotensi melanggengkan status quo. BUMN seperti Pertamina, PLN, Telkom, atau Bank BRI seharusnya menjadi mesin penggerak ekonomi dan pelayanan publik, bukan tempat pelarian politikus atau birokrat untuk menambah pundi-pundi.
Pertanyaan penting yang muncul: mengapa praktik ini terus terjadi dan seolah dibiarkan? Apakah ini bentuk kompromi politik untuk menjaga loyalitas para elite? Ataukah ini bagian dari sistem patronase kekuasaan yang masih kuat bercokol dalam tubuh birokrasi kita?
Presiden seharusnya tegas. Jika ingin mewariskan tata kelola pemerintahan yang bersih, maka harus dimulai dari pembenahan internal kabinet. Rangkap jabatan adalah simbol ketidaktegasan dalam merawat etika publik. Tak cukup hanya dengan revolusi mental dalam pidato, tetapi perlu keberanian untuk menegakkan standar moral di atas kepentingan politik.
Ada tiga langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan ini:
-Revisi Regulasi: Pemerintah dan DPR harus menyusun regulasi yang eksplisit melarang pejabat aktif untuk merangkap jabatan di BUMN. Jika perlu, dituangkan dalam Peraturan Presiden atau perubahan UU BUMN.
-Audit Kinerja: Lakukan audit menyeluruh terhadap efektivitas komisaris BUMN yang berasal dari pejabat aktif. Jika terbukti tidak memberikan kontribusi signifikan, jabatan tersebut harus dicabut.
-Transparansi Publik: Gaji dan tunjangan pejabat publik harus dipublikasikan secara berkala agar rakyat tahu ke mana uang negara mengalir.
Rangkap jabatan di tengah krisis adalah bentuk ketamakan struktural yang melukai keadilan sosial. Ketika pejabat publik menikmati kemewahan ganda, sementara rakyat kecil berjuang sekadar untuk makan tiga kali sehari, maka yang terjadi adalah ketimpangan yang bisa menjadi bara dalam sekam.
Sudah saatnya negara hadir bukan sebagai pelayan segelintir elite, tetapi sebagai pengayom seluruh rakyat. Pejabat publik seharusnya menjadi teladan kesederhanaan dan integritas, bukan simbol kerakusan dan impunitas.
Kalau negara terus dikelola dengan pola seperti ini, jangan heran bila jeritan rakyat suatu saat berubah menjadi ledakan yang mengguncang kekuasaan. Sebab, sejarah telah mengajarkan: kekuasaan yang tidak adil, selalu berakhir tragis.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Sampah Indonesia: Potensi Energi Terbarukan Masa Depan

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Sebuah Kereta, Cepat Korupsinya

Menata Ulang Otonomi: Saatnya Menghadirkan Keadilan dan Menata Layanan

Gerbang Nusantara: Jatim Kaya Angka, Tapi Rakyat Masih Menderita

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

“Purbayanomics” (3), Tata Kelola Keuangan Negara: Terobosan Purbaya

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Habil Marati: Jokowi Mana Ijasah Aslimu?

Misteri Pesta Sabu Perangkat Desa Yang Sunyi di Ngawi: Rizky Diam Membisu Saat Dikonfirmasi



No Responses