Reformasi POLRI : Dari Dalam Atau Dari Luar?

Reformasi POLRI : Dari Dalam Atau Dari Luar?
Daniel Mohammad Rosyid

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid @KITA

Dalam sebuah wawancara dengan Rosi Silalahi di KOMPAS TV baru-baru ini, Kapolri Listyo Sigit menyatakan bahwa reformasi dari luar tidak akan berguna apabila POLRI dari dalam tidak melakukan reformasi. Ini pernyataan yang berbahaya, jika bukan blunder, dari pejabat tertinggi POLRI. Tampaknya reformasi atas tubuh POLRI memang tidak bisa ditunda lagi. Kesalahan tata kelola kepolisian ini sekaligus akar korupsi sistemik yang mencengkram hampir seluruh lembaga tinggi negara. KPK tidak akan mungkin berhasil jika Polri tidak direformasi.

Reformasi dari luar, dari ekosistem yang melingkupi POLRI adalah syarat perlu, a necessary condition. Sedangkan reformasi dari dalam tubuh POLRI adalah syarat cukupnya, a sufficient condition. Pernyataan Kapolri Listyo Sigit tadi blundernya di sini. Posisi POLRI saat ini adalah sebuah kesalahan tata kelola, bukan sekedar kesalahan manajemen dan oknum pejabat-pejabat tinggi POLRI. Akibat paling serius dari kesalahan tata kelola ini adalah POLRI telah dijadikan alat politik oleh Presiden Jokowi dengan memberinya monopoli ketertiban dan keamanan sebagai public goods.

Salah satu tanda monopoli itu adalah memperlengkapi BRIMOB, dan Densus 88, dengan persenjataan ala militer yang mematikan. Urusan keamanan dan ketertiban, sebenarnya tetap urusan sipil. Prinsipnya adalah supremasi sipil, bahkan dalam hal pertahanan. Aparatur negara yang bersenjata harus tunduk pada pemerintahan sipil. Pernyataan Kapolri Listyo Sigit tersebut bisa diartikan melawan Presiden sebagai simbol supremasi sipil yg memperoleh mandat melalui proses-proses politik.

Monopoli itu telah menyebabkan keamanan dan ketertiban menjadi mahal sehingga menjadi barang langka di masyarakat : yang banyak ditemui justru ketidakamaman dan ketidaktertiban, seperti korupsi. Keamanan dan ketertiban hanya bisa dinikmati oleh orang kaya, pemilik modal, dan pejabat tinggi. Orang biasa harus mengais sisa-sisa kemanan dan ketertiban di selokan jalan. Ini isu polhukam yang genting yang akan menjadi prasyarat sosial dan politik bangsa yg sedang membangun agar berhasil merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Reformasi POLRI sebaiknyan menempatkan POLRI di bawah Kementrian Keamanan dan Ketertiban Nasional yang selevel Kemenhan. Menkamtibnas ini langsung membawahi Kapolda-Kapolda di tingkat provinsi. Menkamtibnas dibantu beberapa dirjen. Brimob dikembalikan ke TNI AD, Densus 88 dikenbalikan ke BNPT, sedang Ditserse Narkoba diserap ke BNN. Jika jajaran POLRI memiliki jiwa Bhayangkara pengayom dan pelindung masyarakat, perubahan-perubahan internal akan berlangsung dengan cepat, dan POLRI akan segera memperoleh kepercayaan masyarakat yang kini sudah hampir lenyap.

KITA berpendapat bahwa reformasi POLRI ini harus dimulai dari luar, yaitu perubahan tata kelola penyediaan keamanan dan ketertiban sebagai public goods. Usulan Kapolri agar reformasi ini dilakukan dari dalam, ini namanya jeruk makan jeruk. Perubahan ini dipijakkan pada prinsip berikut : aparatur negara yang dipersenjatai untuk melakukan kekerasan terbatas harus dipimpin oleh sipil. Institusi ini harus dibatasi kekuasannya dan diawasi dengan ketat. Jika tidak, maka institusi itu akan melakukan power misuse, atau abuse atau diperalat oleh politisi busuk dan taipan hitam. Itu sudah terjadi selama 10 tahun terakhir. Harus diingat, bahwa Indonesia pernah menjadi Roma di tangan Nero. This has to end here and now.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K