Ditulis Ulang Oleh : Ir HM Djamil MT
Wali Paidi adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Bapaknya guru sekaligus petani yang menggarap sawahnya sendiri yang cukup luas untuk menghidupi keluarga sederhananya.
Setiap sore beliau mengajar ngaji anak-anak di kampungnya di mushollanya sendiri yang cukup luas namun ndak bisa dipakai Jum’atan karena kapasitasnya paling banter hanya kurang lebih 30 orang.
Anak-anak kampung senang mengaji di situ karena gurunya sangat sabar dan telaten membimbing anak-anak dan pandai bercerita utamanya kisah para Nabi. Jika bulan Romadhon anak-anak paling senang ngaji di situ karena selalu tersedia ta’jil walaupun hanya singkong rebus.
Baca Juga: Serial Wali Paidi (Bagian 1, Seri 3), Episode: Jin Korek Api
Bapak wali Paidi juga sangat disenangi orang kampung karena ringan tangan untuk membantu yang kesulitan, sehingga orang-orang kampung rela dan senang bila anak-anaknya belajar ngaji pada beliau.
Kampung asal wali Paidi ini cukup makmur, masih termasuk wilayah Kabupaten Tulung Agung.Oleh karenanya banyak anak-anak dari kampung ini meneruskan pendidikan yang lebih tinggi atau mondok ke pondok tersohor di luar kampungnya.
Oleh karenanya musholla ini menjadi ramai ketika bulan Ramadhon, karena pada bulan Romadhon anak-anak muda pada liburan pulang kampung dan mereka bernostalgia dengan membuat acara ngaji Posoan, hingga ngaji Posoan ini menjadi tradisi di Musholla itu.
Mereka ngaji kitabnya super cepat yang bertujuan untuk menghatamkan bukan untuk kepahaman, dan kadang kadang ada yang bertausiah hanya untuk memamerkan kebolehan.
Sehingga selain anak-anak muda, orang orang tua pun ada yang ikut nimbrung, maka tak heran bila bulan puasa musholla ini menjadi Makmur karena banyak yang bershodakoh, apalagi bila tarawihnya diimami oleh santri yang barusan hafal Qur’an.
Sedangkan wali Paidi sejak kecil selalu di rumah, ketika ditawari untuk mondok dia tidak mau. Wali Paidi masih ingin berbakti kepada orang tuanya, karena orang tuanya sudah tua.
Baca Juga: Serial Wali Paidi (Bagian 1, Seri 4), Episode: Mengislamkan Jin Gunung Arjuno
Wali Paidi tidak tega kalau meninggalkan orang tuanya sendirian tanpa siapa–siapa. Dia sudah sangat senang dengan keadaan seperti itu. Tapi ketika dia lulus aliyah, abahnya memaksa dia untuk mondok.
Konon karena abahnya bermimpi bertemu dengan Sunan Gunung jati yang menyarankan agar memondokkan anaknya ke daerah Jombang.
Maka berangkatlah mereka berdua ke sebuah pondok yang sangat istimewa karena santrinya sedikit tapi rata-rata pintar dan alim. Anak-anak yang mondok di sini sejak Tsanawiyah sudah disuruh menghapalkan al Quran dan kebanyakan mereka ketika lulus sudah hapal al Qur’an 30 Juz, ketika memasuki Aliyah baru diajarkan ilmu nahwu shorof.
Pengasuh pondok ini orangnya terlihat biasa, perawakannya kecil dan kulitnya agak hitam karena seringnya beliau pergi ke sawah, tapi menurut khabar dari santri-santri bahwa kyai pengasuh ini sebenarnya adalah seorang wali mastur (tersembunyi).
Baca Juga: Serial Wali Paidi (Bagian 1, Seri 2), Episode: Melipat Bumi (Kesasar)
Ketika Paidi kecil dan abahnya sowan ke pengasuh, abahnya bilang kepada mbah kyai, “Mbah yai, saya titipkan anak saya kepada sampeyan, saya pasrah dan ridlo dengan apapun yang akan mbah kyai lakukan terhadap anak saya, andai mbah kyai menyembelihnyapun, saya ikhlas.”
“Inggih… inggih…insya Allah anak sampeyan ini akan jadi orang yang bermanfaat,”… ujar mbah kyai.
Setelah basa-basi dan ngomong tentang segala aturan pondok dan ditunjukkan pondokan atau kamar untuk wali Paidi, dia diantar abahnya ke kamar pondoknya, abahnya berkata kepada Paidi :
“Le… aku memondokkan kamu ini bukan bertujuan membuatmu supaya pinter, tapi aku pingin kamu mondok ini belajar akhlaq yang baik dari kyaimu, apapun yang diperintah kyaimu laksanakan dengan ikhlas, andai kyai menyuruhmu memotong tanganmupun kamu harus melakukannya, tanpa harus bertanya apa alasannya.”
“Inggih Bah,” jawab Paidi.
Setelah mencium tangan abahnya yang tampak berkaca-kaca, Paidi segera masuk kamar dan tengkurap di kasurnya dengan barang bawaan yang masih berserakan.
Baca Juga: Serial Wali Paidi (Bagian 1, Seri 1) Episode: Pertemuan Tahunan
Keesokkan harinya Paidi kecil dipanggil oleh Abah Yai ke ndalem (rumah kediaman), bergegaslah ia menemui Abah Yai. Setelah bersalaman Paidi duduk di lantai, di depannya Abah Yai duduk dengan bersandarkan tembok,
“Ali Firdaus…kamu mondok disini gak usah ikut belajar ngaji seperti teman-temanmu yang lain, maqommu bukan untuk belajar dan menghapalkan al Qur’an, apalagi belajar nahwu dan shorof, ”.. ucap Abah Yai.
Paidi kecil terdiam, hatinya merasa terpukul dan sedih, tidak dinyana kiainya akan berkata seperti itu, namun Paidi kecil tak menampakan kesedihannya terngiang pesan abahnya bahwa kepintaran bukan tujuannya untuk mondok di sini, tapi ucapan kyainya ini begitu menghujam hatinya, tanpa terasa air matanya meleleh di pipinya.
“Mengapa…apa kamu ingin pulang dan gak mau mondok disini ya?”…kata abah Yai seolah tahu perasaan Paidi.
Setelah menghisap rokoknya, kyai berkata lagi :
“Abahmu menitipkan kamu kepadaku ini supaya mendidikmu menjadikanmu sebagai orang bermanfaat, dan aku lihat kamu ini gak cocok untuk belajar menjadi guru ngaji, gak ada manfaatnya, aku melihat kamu ini lebih pas kalau menjadi seorang penolong yang berakhlak mulia, mulailah dengan belajar ihlas untuk menjadi kacung disini, membantu bersih-bersih ndalem, dan membantu memudahkan santri-santri lain yang belajar disini, menatakan sandal mereka, mengisi bak kamar mandi dan sebagainya.”
Paidi terdiam hatinya marah bercampur sedih, dia sangat sedih dibilang nggak pantas jadi guru ngaji, tapi dia teringat pesan abahnya untuk manut atas apapun perintah kyainya.
“Bagaimana, apa kamu sanggup ?” …ucap abah kyai lagi.
“Inggih kyai,” jawab Paidi pelan sambil mengusap air matanya yang meleleh perlahan.
“Kalau begitu mulai sekarang kamu bersih-bersih ndalem, habis itu bersih-bersih pondok,” ucap kiainya.
Baca Juga: Agus Mualif: Ayat-Ayat Taurat Dalam Al-Quran
Sejak saat itu Paidi selama di pondok hanya menjadi kacung bagi santri yang lain. Mulanya dia agak uring – uringan menjalankan perintah kiyai ini tapi lama kelamaan hatinya menjadi sadar, dia ini sebenarnya juga belajar, belajar menjalankan perintah kyainya dengan baik dan benar, cuma perintah bagi dirinya saja yang berbeda.
Dia disuruh melayani santri yang lain, sedang santri yang lain di perintah untuk belajar dengan tekun, sama-sama menjalankan perintah kyai. Paidi mulai sadar bahwa belajar ilmu laku itu sulit dan banyak godaannya.
Dia mulai menyakini bahwa kyainya ini tidak mendholimi dirinya, bahkan ia mulai mencintai keluarga Kyai ini yang ihlas mengajarkan ilmu laku padanya.
Abah Yai ini punya seorang putra yang umurnya sebaya dengan Paidi, panggilannya Gus Mursyid, dipanggil Gus karena dia putra Kyai. Gus Mursyid juga ndak ikut ngaji di kelas, dia sangat cocok dan senang membantu Paidi.
Nama Paidi sebenarnya adalah Ali Fidaus, keluarganya di rumah memanggilnya Ali.. dan Abah Yai (bapaknya Gus Mursyid) juga memanggilnya Ali.
Namun karena Gus Mursyid … selalu memanggilnya dengan sebutan Kang Paidi… dan kadang-kadang dia juga menyebut wali Paidi, maka santri-santri Pondok ini memanggilnya Kang Paidi, dan dia sendiri tidak merasa tersinggung dan ikhlas menerima julukan atau panggilan seperti itu.
Sebenarnya wali Paidi juga tidak buta-buta amat pada Al Qur’an. Dulu waktu masih di rumah dia diajar ngaji alif, bak, tak, oleh ibu dan kakak-kakaknya…, dia sebenarnya bisa membaca Al Qur’an walaupun gratul-gratul namun tajwidnya sudah lumayan.
Gus Mursyid yang suka membantu dia kalau sedang ngepel masjid Pondok, sering mengajaknya menirukan lafat-lafat yang sedang dihafal oleh Gus Mursyid…
“Ilmu latduni itu kata abah… ilate kudu muni (lidahnya harus berbunyi)… makanya sambil ngepel kalau saya melafat sampeyan tirukan..,” .. ujar Gus Mursyid.
Sejak itu wali Paidi senantiasa menirukan kalau Gus Mursyid sedang melafaz ayat-ayat Al Qur’an, dan tanpa terasa persahabatan dengan Gus Mursyid ini Paidi hafal Juz Amma dan beberapa Surat Al Qur’an utamanya surat Yasin yang di pondok selalu dibaca tiap hari Rabu malam.
Di suatu malam sehabis maghrib, Paidi kecil ini duduk termenung di depan kamarnya, dia melihat para santri ada yang menghapalkan al Qur’an dan sebagaian yang lain berdiskusi membahas permasalahan nahwu dan shorof, hatinya merasa gundah dan galau bukan karena dia merasa bodoh di hadapan teman-temannya, namun justru dia merasa bangga karena teman-temannya sangat hormat padanya seolah ia keluarga dan murid kesayangan Kyai.
Baca Juga: Agus Mualif: Khutbah Pertama Rasul Al-Masih Iysa
Teman-teman santri pondok tidak ada yang memandang dia sebagai kacung bahkan mereka sangat hormat dan sungkan pada Paidi, hati Paidi selalu khawatir kalau dia menjadi sombong karena perlakuan teman-teman santri.
Para santri punya kemahiran di bidangnya masing – masing, sedang dia menjadi mahir melayani para santri termasuk menata sandal mereka.
Dalam kegundahan hati antara bangga dan menjaga tidak sombong itu Paidi tertidur dengan posisi terduduk di depan kamarnya dan bermimpi. Dalam mimpinya dia seakan tidak tertidur dan masih dalam keadaan duduk di depan kamarnya.
Dilihatnya kamar – kamar santri lain pada bersinar terang, cahaya – cahaya yang keluar dari kamar-kamar itu berasal dari lampu petromaks yang mereka bawa.
Terpancar kegembiraan dari wajah para santri karena mempunyai lampu di tangan mereka sedang kamarnya tidak mengeluarkan cahaya karena dia tidak mempunyai lampu petromaks seperti mereka.
Tapi tiba-tiba ada cahaya yang keluar dari dalam kamarnya, cahaya itu begitu sangat terang sehingga cahaya – cahaya yang keluar dari kamar lain seakan meredup terkena cahaya dari kamarnya ini.
Cahaya itu mendekati dirinya, setelah cahaya itu mendekat dilihatnya sebuah lampu Petromaks yang dibawa seseorang. Dia melihat sebuah tangan yang begitu putih dan halus memegang lampu petromaks dan menyerahkan padanya.
Paidi mengarahkan pandangannya ke atas namun kepalanya tak kuasa mendongak hingga ia tak mampu melihat siapa yang membawa lampu tersebut. Kemudian lampu itu terangkat tinggi hingga menerangi seluruh pondok.
(Bersambung)
EDITOR: REYNA
Related Posts
Allah Tahu Yang Terbaik Untukmu
Agus Mualif: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri-276 TAMAT)
Agus Mualif: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri-275)
Agus Mualif: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri-274)
Agus Mualif: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri-273)
Agus: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri-272)
Agus Mualif: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri-271)
Agus Mualif: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri-270)
Agus Mualif: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri-269)
Agus Mualif: Para Rasul Dalam Peradaban (Seri-268)
Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 2: Hafidz Hilang Apalannya - Berita TerbaruFebruary 5, 2022 at 1:11 pm
[…] Baca Juga: Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 1: Menerima Lampu Petromaks […]