Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 9: Tamat Pesantren Tanpa Wisuda

Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 9: Tamat Pesantren Tanpa Wisuda
Gambar ilustrasi Pondok Pesantren



Ditulis Ulang Oleh ; Ir HM Djamil, MT

 

Adzan isyak masih berkumandang ketika Paidi tiba di pondok. Ia bergegas menuju kamarnya untuk meletakan bungkusan namun kamarnya sudah dikunci oleh Pak Kyai. Lalu ia segera menuju masjid Pondok, setelah raup-raup dan wadlu, bungkusan diletakkan di pojok masjid yang lebih pantas disebut aula,

Setelah sholat isyak dan menjamak ta’khir maghribnya, wiridan dan beberapa roka’at sholat yang menyertainya Paidi bergegas menuju ndalem Kyai. Disana Abah Kyai sudah menunggu dan bahkan sudah menyediakan kopi panas serta dua bungkus rokok sebagai mana biasanya.

“Sarung baru…baju baru.. masih ada susuk enam puluh delapan ribu lima ratus… mana yang seribu realnya !”… ujar Pak Yai tanpa basa basi,

Paidi kaget dan kagum.. kok Pak Kyai tahu semua padahal dia belum bercerita pada siapapun.

“Inggih Yai… saya lupa barang saya masih di masjid”… tukas wali Paidi balik kanan menuju masjid untuk mengambil bungkusan.

Setelah balik, Paidi menyerahkan Amplop dan sisa uang yang ada di sakunya seraya berkata,

“Uang realnya tadi saya ambil 4 lembar, jadi mungkin kurang dari seribu real Yai, dan ini susuknya betul 68.500 rupiah.”

“Susuk itu bawa saja… uang riyal itu sebelumnya berjumlah 25 lembar… yang selembar dishodakohkan ke orang lain… kemudian sisanya dihadiahkan ke kamu… kamu belanjakan 4 lembar, dan sisanya kamu berniat untuk dijariyahkan ke masjid Demak..”… jelas Pak Kyai rinci.

Tak urung wali Paidi membuka kembali amplop itu dan menghitungnya seolah menunjukan di depan Kyai.. ternyata uang dalam amplop sisa 20 lembar.. mungkin waktu dia menghitung di warung tadi ada yang lengket pikir wali Paidi sambil menyerahkan amplop itu ke P Kyai. Paidi tertunduk dan dia makin mengagumi Kyainya.

“Ali Firdaus… kamu adalah orang yang diangkat oleh Allah ke derajat yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari aku… kalau hatimu tergerak untuk berbuat kebaikan maka segera laksanakan.. jangan ditunda,”.. petuah pak Kyai pada Paidi.

“Saya lupa pak Kyai… syetan telah membuat saya lupa,”… jawab Paidi.

“Yaa setan selalu membuat orang lupa pada niat baiknya… sudah jangan dipersoalkan lagi, malam ini kamu tidur di kamar tamu, insya Allah besuk ba’da Subuhan kita minum kopi disini lagi,”… pinta Pak Kyai.

Sejak ‘bekerja’ di pondok itu baru kali ini Paidi tidur dikamar tamu ini. Biasanya dia hanya membersihkan dan merapikan kamar ini setelah dipakai para tamu. Baunya selalu wangi karena selalu diberi wangi-wangian yang kemarin-kemarin merupakan tugas Paidi.

Di kamar ini di kasur spring-bed wali Paidi sulit memejamkan mata. Pikirannya menerawang ke bapaknya yang dulu mengantarnya untuk mondok dipondok ini.

Tak terasa air-matanya meleleh mengingat perilaku bapaknya yang dulu dia anggap kejam.
Teringat pada perilaku Pak Kyai.. yang dulu dia anggap tidak adil dan tidak mendidik…sekarang dia baru mengerti kalimat …Wa man tawakkal ala Allahi fa hua khasbuhu.

Matanya terpejam tapi pikirannya melayang teringat ketika pertama kali dia dijemput oleh kakak perempuannya untuk pulang karena ibunya meninggal, betapa sedih hati Paidi saat itu Ibunya yang selalu menyayanginya telah berpulang… tak terasa Paidi menangis sesenggukan di malam itu, saat masih suasana duka di rumahnya Paidi meronta untuk tidak kembali ke Pondok namun ayah memaksanya untuk kembali ke Pondok.

Hanya hitungan bulan sepeninggal Ibunya ayahnya menyusul berpulang ke haribaan Allah, kala itu kakak perempuannya lagi yang menjemputnya. Walau hati Paidi sangat terpukul namun tidak seberat ketika ia ditinggalkan ibunya. Innalilahi wa inna ilaihi rojiun.

Paidi bersama dengan kakak lakinya ikut memakamkan, dan ikut menggangkat jasad ayahnya ketika dimasukkan ke liang lahat. Tidak sewaktu ibunya dulu, mungkin karena supaya hatinya tidak terlalu guncang maka ia disusul mbakyunya ketika ibunya sudah dimakamkan.

Pada kepulangan untuk takziyah bapaknya ini hampir lima hari, tidak ada yang memaksanya untuk kembali ke Pondok, namun hati Paidi sendiri yang ingin kembali ke Pondok.

Sebelum kembali ke Pondok dengan disaksikan oleh kakak perempuannya, Paidi berwasiat pada kakak laki-lakinya… “kang kalau ada warisan bagian saya… saya hibahkan ke Pondok sampeyan”… begitu katanya, setelah mencium tangan kakak laki dan perempuannya, Paidi kembali ke Pondok sendirian.

Jam besar yang ada di ruang tamu dimana abah Kyai biasa menerima tamu-tamu Asing berdentang dua belas kali pertanda tengah malam, pikiran Paidi belum terpejam teringat kebaikan kebaikan para santri dan teringat kebaikan Gus Mursyid.

Walau kedudukannya jauh… Gus… putra Kyai sedang dia santri kacung… namun Gus Mursyid seolah menganggapnya sebagai kakak sendiri, semua keluh kesah Gus dicurhatkan kepadanya termasuk Perasaan cinta Gus Mursyid pada perempuan idamannya pun diceritakan ke Paidi.

Suatu sore ba’da isyak Gus Mursyid berkunjung ke kamar Paidi dan bertanya… “kang aku ditanya perempuan begini… kamu senang sama aku ini senang apanya.?… lha jawabnya bagaimana kang.”

”Lho… sampeyan jawab gimana ?”… Paidi ganti bertanya.

“Belum tak jawab aku minta waktu untuk konsultasi dengan kakakku… maksudku panjenengan.”

“Lho kalau gitu sampeyan jawab aja, aku seneng sampeyan itu seneng keseluruhannya… Seperti melihat gunung… seneng apanya… yaa seneng semuanya toh… di gunung itu ada rimbun-rimbunnya, ada macannya, ada bedesnya… ya apa yang ada di gunung itu saya senang… gitu lho,”… tak urung Gus Mursyid tertawa hingga tawanya terdengar keluar kamar.

Pikiran Paidi masih melayang-layang mengingat kenangannya di Pondok ini penuh suka duka, tapi malam ini dia harus tidur, tidur kualitas, walaupun sebentar namun badan terasa segar, maka dibacanya do’a sebelum tidur dan dzikir subhanallah wal hamdulilah laailaha illallah allahu akbar.. berulang ulang hingga tertidur pulas berkualitas.

Keesokan paginya ba’da Subuhan Paidi sudah berada di teras ruang tamu seperti biasanya kalau abah Kyai memanggil. Kali ini Paidi tampak rapi dan wangi, pagi tadi dia mandi di kamar itu yang memang sudah tersedia kamar mandi shower lengkap dengan sabun, shampoo dan handuknya, bahkan tersedia pula minyak wangi tanpa merk.

Paidi pagi itu sudah menyapu dan menimba air untuk menyiapkan para santri, perkerjaan itu sudah dibagi pada para santri sebagai tugas tambahan, abah Kyai belum datang tapi Paidi memberanikan diri minta pada pembantu untuk menyiapkan kopi seperti biasanya, hanya rokoknya yang ndak ada.

“Ali Firdaus.. sekarang kamu sudah tamat dari Pesantren ini walau tanpa diwisuda… mulai hari ini kamu bebas menjalani hidupmu… dan bebas di bumi mana kamu akan tinggal. Tapi bila kamu ingin singgah dan menginap di pondok ini… pondok ini pintunya selalu terbuka untuk Ali Fidaus ..kapan saja,”… ucap Pak Kyai mengawali pembicaraan, dan Paidi hanya tertunduk diam mendengarkan tanpa komentar…

“Ini uang 1000 real … jariyahkan ke masjid Demak… ini uang lima belas juta rupiah anggap sebagai gajihmu selama bekerja di Pondok… ini sarung putih … dan tasbih kesukaanku, kuhadiahkan padamu..jalanilah hidupmu dengan derajatmu yang sekarang… uangmu sisa dari pemberian bapakmu aku taruh dalam rangselmu, apa sudah kamu cek ?”… wejang P Kyai sambil menyerahkan barang-barang tadi.

Ketika disebut uang sisa pemberian bapak… Paidi tak kuasa menahan tangis… kenangan baik buruk bapaknya… ternyata almarhum bapaknya juga masih ngurusin dia.

Paidi menangis di depan Kyai tak pernah dengan tangisan lepas seperti ini, perasaannya campur bawur dia tuntaskan dengan tangis itu… setelah hatinya reda, dia cium tangan abah Kyai agak lama seolah itulah ciuman tangan terakhir dan abah Kyai pun juga melelehkan air mata.

Waktu berjalan cepat… ndak terasa Ali Firdaus atau Paidi sudah tujuh tahun digembleng di Pondok ini yang mengajarkan pembinaan menata hati dan lelaku.

Baca Seri sebelumnya:

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=