Saatnya Reformasi Intelijen (1) – Intelijen Berjalan Tidak Sesuai Fungsinya

Saatnya Reformasi Intelijen (1) – Intelijen Berjalan Tidak Sesuai Fungsinya
Dari kiri ke kanan: Rocky Gerung, Sri Radjasa Chandra, dan Afif Yufril

JAKARTA – Di tengah dinamika politik Indonesia pascareformasi, topik intelijen kembali menjadi sorotan. Dalam Ten Ten Podcast, Sri Radjasa Chandra—mantan anggota Badan Intelijen Negara—dan Rocky Gerung mengupas bagaimana lembaga intelijen Indonesia kerap bekerja di luar fungsinya, serta bagaimana perubahan politik membuat intelijen bergeser dari alat negara menjadi alat kekuasaan.

Podcast dibuka dengan canda ringan tentang keberadaan “intel-intel gadungan” yang justru dipelihara oleh berbagai kelompok politik. Rocky mengingatkan bahwa Presiden Prabowo tak mungkin mengungkap masalah serius secara terbuka karena “dia tahu di depan sana itu ada yang enggak loyal pada dia.”

Rocky bahkan bergurau, “jangan-jangan abang think thank nya Prabowo juga.”

Intelijen: Ilmu atau sekadar aksi-aksian?

Rocky memulai dari perspektif akademis. Menurutnya, intelijen harus dipandang sebagai ilmu pengetahuan, bukan sekadar aktivitas kasak-kusuk.

“Intelijen itu ada dua aspek: aspek kinetik—kasak-kusuknya itu—dan aspek epistemik yaitu ide yang menuntun kenapa mesti ada intelijen.”

Dalam pandangan Rocky, demokrasi modern menuntut transparansi. Penyadapan atau operasi intelijen tetap diperbolehkan, namun dasar dan arah kebijakannya harus jelas. Tanpa landasan ilmu, intelijen mudah diselewengkan untuk kepentingan politik.

Kenikmatan jadi intel, dari Orde Baru sampai Jokowi

Sri Radjasa menimpali dengan pengalaman empirisnya. Pada masa Orde Baru, intelijen dikenal sebagai “super body” yang tak tersentuh hukum. Namun ironisnya, mereka sering tampil terang-terangan—“intel melayu,” kata Rocky—seolah bangga mempertontonkan dirinya.

“Pada masa itu, intelijen justru ditujukan untuk menciptakan rasa takut,” ujar Sri Radjasa. Rocky langsung menimpali, “bedanya apa sama teroris?”

Sri Radjasa mengakui, intelijen pada masa itu merupakan alat kekuasaan, bukan alat negara. Ia melindungi stabilitas politik demi pembangunan, namun dengan cara represif yang menekan masyarakat.

Masuk ke era Jokowi, keduanya melihat kemunduran yang berbeda. Intelijen dianggap terlalu banyak dipakai untuk tujuan politik praktis. Banyak menteri disebut masih melapor kepada figur politik tertentu, bukan presiden yang sedang menjabat.

Rocky menilai, gejalanya kelihatan. Intel yang tidak mengolah isu tapi pamer bahwa dia ada di dalam event untuk cari rente. Sudah kayak tempat pesugihan: nyari kaya, nyari jabatan.

Sri Radjasa menambahkan bahwa masa itu juga ditandai oleh munculnya banyak “intel partai,” bahkan “intel oligarki,” yang membuat intelijen negara tampak lemah dan kehilangan wibawanya.

Instansi banyak, koordinasi minim

Rocky menyebut bahwa hampir semua instansi kini memiliki unit intelijen. Seharusnya BIN menjadi koordinator, bukan hanya pelapor. Fungsinya bukan mengomando, tetapi memastikan seluruh lembaga bekerja sinkron.

Namun koordinasi itu tak berjalan baik. Rocky menyoroti insiden kerusuhan Agustus, di mana presiden terlihat tidak mendapat peringatan dini.

Sri Radjasa menguatkan,“Presiden mendadak mendapat informasi. Tidak ada informasi pendahuluan. Laporan-laporan yang harusnya memberi sinyal tidak muncul.”

Ia juga menyinggung masa kepemimpinan BIN yang diambil alih figur dari kepolisian, yang menurutnya tidak lazim secara doktrin dan mengubah karakter lembaga.

Intelijen yang membuat rakyat cemas

Rocky menilai bahwa publik hari ini merasa selalu diawasi, meski tak tahu apakah yang mengintai itu intel asli atau gadungan. Kultur ini membuat masyarakat saling curiga dan merusak relasi sosial.

Sri Radjasa menegaskan bahwa ini terjadi karena fungsi penggalangan (preventif, dialog, komunikasi sosial) berubah menjadi intimidasi.

“Penggalangan mestinya dengan hegemoni, bukan dominasi. Tapi sekarang berubah jadi intimidasi.”

Rocky menambahkan sindiran tajam, sekarang aktivisnya lebih pintar dari intel, tapi malah dibungkam pakai amplop. Aktivisnya juga tidak cerdas karena menerima.

Ketika intelijen turun kelas: dari dialog ke amplop

Sri Radjasa mengingat masa Benny Moerdani, ketika pendekatan intelijen lebih banyak melalui dialog langsung dengan mahasiswa untuk meredam ketegangan.

Kini, menurutnya beda banget. Sekarang dipanggil datang, pulang dikasih uang.

Rocky menimpali bahwa itu menunjukkan kemunduran kecerdasan baik di intelijen maupun di aktivis.

Rocky juga menyoroti mekanisme laporan harian intelijen kepada presiden. Ia memahami bahwa presiden sering memegang informasi yang tidak bisa disampaikan dalam rapat kabinet, apalagi karena para menteri adalah ketua partai.

Namun ia melihat persoalan baru, masalahnya, menteri-menteri ini banyak yang dungu. Presiden punya ide tentang masyarakat sipil, diterjemahkan dengan cara yang salah.

Saatnya reformasi intelijen

Baik Rocky maupun Sri Radjasa sepakat: institusi intelijen Indonesia harus direformasi ulang. Bukan cuma alat mengumpulkan data, intelijen harus kembali menjadi bagian dari tata kelola negara yang profesional, demokratis, dan transparan. Jangan lagi menjadi alat politik, alat partai, atau ladang rente bagi individu tertentu.

Intelijen harus bekerja diam-diam, akurat, jelas mandatnya, dan bertanggung jawab.Bukan menakut-nakuti rakyat.
Bukan memata-matai lawan politik.Bukan mencari jabatan atau uang.

Sri Radjasa menegaskan bahwa dalam negara yang sedang damai, fungsi intelijen adalah menciptakan ketenangan, bukan kegaduhan.

Rocky menutup dengan nada kritis, namun penuh harapan,“Kita mesti merapikan kembali institusi ini. Intelijen harus kembali pada profesionalisme. Itu bagian dari reformasi.”

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K