Sampah Indonesia: Potensi Energi Terbarukan Masa Depan

Sampah Indonesia: Potensi Energi Terbarukan Masa Depan
Plastik dari seluruh dunia berakhir di tempat pembuangan sampah, tempat penduduk setempat memilahnya.

Oleh: Ardi Krisnamurti

Indonesia dengan jumlah penduduk 285 – 290 jt merupakan salah satu penghasil sampah terbesar di dunia. Diperkirakan ada sekitar 63 – 65 juta ton sampah (berdasarkan Databoks). Data yang mirip didapat dari Sistem Pengelolaan Sampah Nasional (SPSN) KLHK mencatat perApril 2025 timbunan sampah sebesar 33 jt ton. Dengan estimasi 40 – 60 tidak terkelola dengan baik menimbulkan potensi bom waktu untuk Tata kelola Lingkungan di Indonesia.

Sewaktu periode Pemerintahan Pak Joko Widodo ada Perpres 97 tahun 2017. Target yang diberikan adalah pengurangan sampah 30% dan penanganan sampah secara layak. Namun pada akhirnya realisasi Perpres tersebut tidak mencapai target secara sepenuhnya. Tantangan yang dihadapi adalah :

1. Kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap pemilahan sampah yang masih kurang.

2. Fasilitas pengelolaan sampah yang belum memadai dan berkelanjutan.

3. Penangan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang mayoritas teknologinya masih menggunakan Open dumping

Muncul Perpres baru di pemerintahan Pak Prabowo Subianto yaitu Perpres No 109 tahun 2025. Ini merupakan penegasan arah pengelolaan sampah yang lebih kuat. Sampah diubah menjadi Energi atau Waste to Energi (WtoE) Yang menarik dan juga menjadi tantangan adalah penegasan kewajiban PLN untuk membeli listrik diharga USD 20 sen perKWH dengan perjanjian kontrak selama 30 tahun. Dipertegas melalui satu pintu Danantara. Jika dibandingkan tarif listrik Pembangkit Tenaga Surya (PLTS) berkisar USD 12 – 13 sen perKWH, Geothermal USD 14.5 sen pwrKWH dan pembangkit Listrik tenaga Batubara USD 5 – 6 sen perKWH jelas tarif PLTSa merupakan tarif premium. Akan ada subsidi besar untuk PLTSa. Ini tantangan tersendiri terhadap neraca keuangan pemerintah dan PLN.

Kita dihadapkan pada beberapa estimasi dan asumsi ekosistem sampah nasional estimasi perhari sampah yang dibuang adalah 170,000 – 180,000 ton perhari bahkan lebih. Komposisi sampah di Indonesia terdiri dari :

1. Sampah Organik : 40 – 60 %

2. Sampah plastik sekitar 10 – 18 %

3. Sampah kertas sekitar 10 – 12 %

4. Sampah lain2 (kayu, besi dll) sekitar 17 – 35 %

Dengan kualitas dan komposisi sampah di Indonesia seperti itu setiap 1000 ton sampah perhari menghasilkan sekitar 1000 – 1200 NM3/jam atau sekitar 24,000 – 28,800 NM3/hari. Dengan perhitungan diatas estimasi listrik yang dihasilkan dari proses Waste to Energi dengan Teknologi Gasifikasi adalah sekitar 1.2 – 1.8 MW. Dengan jumlah estimasi sampah perhari di seluruh Indonesia sebesar 170,000 – 200,000 ton perhari maka potensi listrik yang dihasilkan dari Waste to Energi berkisar sebesar 300 – 400 MW.

Kalau kita komparasi dengan Negara Korea Selatan yang sudah lebih dulu serius mengelola sampah juga dengan Waste to Energi ada beberapa nilai lebih di negara Ginseng tersebut :

1. Melakukan pemilahan sejak awal mulai dari basis rumah tangga. Sehingga prosentasi sampah organik yang masuk ke TPA tinggi berkisar 80% Up. Bandingkan dengan Indonesia yang masih berkisar 40 – 60 %.

2. Terus menerus meningkatkan teknologi pengelolaan sampah mulai hulu sampai hilir disertai peraturan yang ketat.

Dampaknya adalah sampah yang masuk ke pengolahan akhir mempunyai produktifitas menghasilkan biogas yang tinggi. Setiap 1000 ton sampah akan menghasilkan 10,000 NM3/jam NM3 perjam biogas. Yang menarik di Korea Selatan selain dibuatkan sebagai sumber listrik juga dibuat sumber Gas Kota. Perhitungan sederhana Untuk menghasilkan Listrik 2 MW Korea Selatan cukup membutuhkan 130 – 150 ton sampah sedangkan di Indonesia untuk menghasilkan Listrik 2 MW diperlukan sekitar 1000 – 1200 ton perhari. Artinya efisiensi di Korea Selatan sekitar 8 kali di Indonesia.

Sampah perkotaan sebagai sumber Gas Kota

Subtema menarik adalah potensi sampah perkotaan sebagai sumber gas Kota atau yang dikenal Jargas. Ini sudah dilakukan di Korea Selatan dan Australia. Konsepnya sampah Kota masuk ke TPA. Melalui proses Gasifikasi sampah dijadikan Biogas. Kemudian Biogas yang kandungan CH4 50 – 60% dinaikkan kandungan CH4 menjadi 90% up dengan teknologi Upgrading dengan Teknologi Membran. Kemudian didistribusikan dengan Jargas.

Kelebihan konsep ini :

1. Pengurangan efek rumah kaca di perkotaan sehingga suhu di lingkungan perkotaan lebih rendah.

2. Fungsi sosial masyarakat kawasan TPA sebagai kompensasi akibat dampak lingkungan.

3. Penghematan subsidi LPG karena Jargas berfungsi sebagai pengganti LPG. Dengan pemakaian Harga masyarakat juga menghemat sekitar 20%.

Dengan perhitungan kondisi Indonesia setiap 1000 ton sampah yang dibuang ke TPA dengan kondisi sampah organik 40 – 60 % menghasilkan Biogas sekitar 1000 – 1200 NM3/jam. Jika diupgrading menjadi Biomethane jumlah volume yang dihasilkan 500 – 600 NM3/jam atau 14.400 NM3 perhari. Asumsi pemakaian gas untuk masak setiap rumah sekitar 6 M3 perhari maka akan ada sekitar 2400 rumah atau keluarga yang mendapat aliran gas dari Biomethane yang dihasilkan sampah perkotaan setiap 1000 ton perhari.

Tidak semua sampah perlu dijadikan listrik karena beratnya subsidi yang ditanggung pemerintah atau di daerah tersebut sudah kelebihan daya listrik. Salah satu solusinya mengubah sampah menjadi gas Kota.

Semoga ikhtiar dan tekad kuat pemerintah Pak Prabowo dibidang Waste to Energi bisa menjadi ekosistem baru dari sisi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.

Penulis aktif di beberapa organisasi :
– Anggota Pengurus Pusat PII
– Anggota Dewan Pakar PP IKA ITS
– Ketua Badan Hilirisasi Industri, Energi dan Bursa Karbon BPp HIPKA
– Ketua Komite Tetap ESDM Kadin Jatim
– Sekretaris Umum Himpunan Pengusaha Alumni ITS
– Wakil Ketua Umum Bidang 1 HIPKA Jatim

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K