Oleh: Setyanegara
Di sebuah rumah kecil yang penuh kenangan, seorang kakek duduk di kursi goyang di teras rumahnya. Di pangkuannya, Dita, cucunya yang baru kelas 1 SD, menatap penuh rasa ingin tahu. Kakek memakai peci hitam dan sarung kotak-kotak yang sudah pudar warnanya, tanda usia yang panjang dan penuh cerita.
“Kakek dulu ikut perang, lho,” ujar Kakek, memulai kisahnya.
“Perang? Kayak di game yang Dita mainin di tablet?” tanya Dita polos.
Kakek tersenyum kecil. “Bukan perang seperti itu, Nak. Dulu, Kakek dan teman-teman Kakek berjuang untuk memerdekakan negeri ini. Tidak ada senjata canggih, tidak ada teknologi. Kami hanya punya bambu runcing dan semangat.”
Dita memiringkan kepalanya, bingung. “Apa nggak capek, Kek? Kan sekarang semuanya bisa gampang. Kalau lapar, tinggal pesan makanan lewat HP. Kalau mau tahu sesuatu, tinggal tanya Google.”
“Itulah bedanya dulu dan sekarang,” jawab Kakek sambil mengelus kepala Dita. “Kakek dan teman-teman Kakek dulu saling membantu. Kalau ada yang lapar, kami berbagi. Kalau ada yang sakit, kami rawat bersama. Kami hormat pada yang lebih tua, dan selalu minta izin sebelum melakukan sesuatu.”
Dita terdiam, lalu berkata, “Tapi sekarang kan beda, Kek. Orang-orang nggak perlu izin-izin, tinggal kirim pesan aja.”
Kakek menghela napas. “Betul, teknologi sekarang memang memudahkan banyak hal. Tapi sayangnya, kadang manusia lupa bagaimana cara menghormati satu sama lain. Banyak anak-anak sekarang yang lupa berkata tolong, maaf, atau terima kasih pada orang tua mereka.”
Dita menggigit bibirnya. Ia ingat pernah marah pada Mama karena dilarang main tablet sebelum tidur. “Kek, Kakek dulu nggak punya tablet ya?”
Kakek tertawa. “Tablet apa? Dulu, mainan Kakek cuma bola dari kain bekas dan layangan dari kertas koran. Tapi kami bahagia karena saling berbagi.”
Dita memandang wajah Kakek yang penuh keriput. “Kek, Dita mau kayak Kakek, hormat sama orang tua. Kalau Kakek dulu perang buat merdeka, Dita perang sama diri sendiri supaya nggak lupa bilang terima kasih.”
Kakek tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Bagus, cucuku. Itu juga perjuangan. Dan Kakek yakin, kalau Dita mulai, orang lain juga akan meniru.”
Hari itu, di bawah langit senja, Dita memeluk Kakeknya erat. Ia berjanji, meski teknologi semakin canggih, ia tak akan melupakan sopan santun yang menjadi pusaka dari generasi Kakeknya.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Muhammad Chirzin: Israel Merajalela
Bau Busuk Nepotisme
Puisi Yusuf Blegur: Jokowi Sang Suci
Puisi Yusuf Blegur: Bumi Berbisik
Puisi: Aku Terlanjur
Dajjal, namanya terkenal, siapakah dia sebenarnya??
Yakjuj dan Makjuj, dimanakah mereka tinggal??
Pertama di dunia, Australia mengesahkan undang-undang yang melarang anak-anak menggunakan media sosial
Blue Arrow Strategy: Ilusi
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-20): Ziarah ke Tarim (TAMAT)
No Responses