Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-2): Upaya Mencari Jawaban

Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-2): Upaya Mencari Jawaban
Dr Muhammad Najib, Dubes Indonesia Untuk Spanyol dan UNWTO, bersama isteri



Tulisan berseri ini diambil dari Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store.

Novel dengan judul: Bersujud di Atas Bara ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata, dengan latar belakang Perang Afghanistan tahun 1979- 1989. Pada saat itu, di tingkat global bertarung antara dua super power, Amerika dan sekutunya NATO didukung oleh sejumlah negara Muslim, bertempur melawan Uni Soviet yang didukung Pakta Warsawa. Sementara di medan laga terjadi pertarungan antara Rezim Boneka Afghanistan dukungan Uni Soviet melawan Mujahidin yang didukung oleh Amerika dan sekutunya.

 

Karya: Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO


Selain Mujahid yang kuliah di Fakultas Teknik Mesin, ada dua mahasiswa lain yang tinggal bersamanya. Pertama Rozi, mahasiswa Teknik Sipil asal Madura. Kedua Yazid, mahasiswa Tarbiyah, berasal dari daerah yang sama dengan Mujahid yaitu Lamongan. Hanya saja, kalau Mujahid berasal dari Desa Tegalan, Yazid berasal dari Paculan yang jaraknya tidak lebih lima kilometer. Mujahid dan Rozi berada pada semester yang sama, yaitu semester tiga, di perguruan tinggi yang sama pula yaitu Institut Teknologi Merdeka yang sering disingkat ITM. Sedangkan Yazid kuliah di semester tujuh di IAIN Sunan Ampel.

Di rumah yang mereka kontrak pertahun itu ada tiga kamar tidur, satu dapur, dan satu kamar mandi. Tidak ada pembantu. Mereka membersihkan rumah secara bergantian dengan sistem piket. Mencuci pakaian sendiri, juga menyetrikanya. Kalau ada tamu yang datang, mereka menyuguhkan teh atau kopi yang dibuat sendiri. Untuk makan siang dan makan malam, mereka berlangganan di warung yang letaknya tidak jauh dari tempat kontrakan. Setiap kali makan, mereka harus mencatatnya di buku yang disediakan oleh pemilik warung. Kalau menerima kiriman dari orang tua, barulah Mereka membayar seluruh hutang yang tercatat di buku itu. Kiriman biasanya diterima di awal bulan. Mereka juga berlangganan koran Republika dan majalah Sabili dengan cara patungan.

Mujahid, Yazid, dan Rozi biasanya berkumpul di rumah menjelang datangnya waktu Magrib. Mereka duduk lesehan sambil mengobrol di depan televisi. Saat itu Rozi sedang berdiskusi dengan Yazid tentang maraknya goyang dangdut Jaipongan yang dianggap terlalu erotis. Mujahid hanya menjadi pendengar yang baik. Mungkin karena Ia tidak tertarik dengan topik itu, atau memang tidak punya ide. Di Kepalanya masih membekas berbagai pertanyaan yang muncul kemarin malam. Begitu ada kesempatan bicara Ia berkata pada sahabat-sahabatnya.

Cover Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store.

“Saya kira ada masalah yang lebih penting untuk Kita diskusikan”, kata Mujahid menyela dengan santun.

“Bagaimana pendapat Antum berdua tentang penderitaan rakyat Palestina?”, katanya melanjutkan sambil menarik napas panjang.

“Kalau saja negara-negara Arab bersatu, maka Bangsa Palestina tidak akan menderita seperti sekarang,” jawab Rozi dengan nada menyalahkan.

“Menurut yang saya pahami, Israel itu negara yang sangat kecil, kenapa mesti bersatu untuk mengalahkan?”, tanya Mujahid tidak paham.

“Israel memiliki peralatan perang yang lebih banyak dan lebih canggih dibanding negara Arab manapun, karena itu untuk mengalahkan negara-negara Arab harus bersatu”, jawab Rozi sambil memperbaiki tempat duduknya.

“Apa yang dIsampaikan Rozi tidak sepenuhnya benar, karena dalam perang Arab-Israel tahun 1973, Israel sudah hampir kalah total, kalau saja Amerika tidak turun tangan membelanya habis-habisan. Jadi Israel itu Amerika kecil di Timur Tengah atau dengan kata lain Amerika itu Israel besar”, komentar Yazid sambil terus menatap Rozi.

Rozi terdiam dan tidak membantah lagi. Mendengar argumen Yazid membuatnya tak berkutik, diam-diam Mujahid semakin mengagumi kakak sedaerahnya itu, walaupun Ia tidak sepenuhnya memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata-kata ”Israel itu Amerika kecil” dan “Amerika itu Israel besar”.

BACA JUGA SERI SEBELUMNYA:

Suara azan Magrib yang terdengar dari televisi berkumandang. Yazid mengajak teman-temannya untuk segera shalat. Mujahid lalu berdiri dan bergerak ke belakang untuk berwudhu, diikuti Rozi dan Yazid. Dalam shalat kali ini, Yazid yang ditunjuk jadi imam. Setelah salam, ketiga pemuda itu bersalaman. Mereka kemudian berzikir dan berdoa.

“Kayaknya shalatku nggak khusyuk, nih!”, kata Rozi membungkuk sambil memegangi perutnya.

“Kau sedang sakit, ya?”, tanya Mujahid sambil menggeser sajadahnya bersiap-siap melakukan shalat sunat.

“Sakit sih nggak, cuman ini,nih..! Cacing-cacing dalam perutku nggak mau kompromi lebih lama lagi”, jawabnya sambil nyengir.

“Sabar sedikit kenapa, sih? Aku solat Sunnah dulu”. Mujahid kemudian mengangkat kedua tangannya

memulai shalat Sunnah dua rakaat. Setelah selesai, Mereka bertiga bergerak menuju warung di dekat rumah langganan Mereka.
“Mas, diimana belajar masalah Palestina? Kelihatannya Antum banyak tahu tentang negara itu”, ujar Mujahid sambil mempercepat langkahnya mendekati Yazid.

“Aku membaca banyak buku, juga diskusi dengan teman-teman aktivis mahasiswa. Selain itu Kami juga sering kedatangan tamu yang memberi kuliah umum, baik yang datang dari Jakarta maupun luar negeri”, jawabnya menjelaskan.

“Sayang di kampus Kita tidak banyak buku politik, apalagi kawan-kawan juga kebanyakan apatis”, keluh Mujahid sambil menoleh ke arah Rozi.

“Kalau serius mau belajar politik, Antum bisa ikutan ngaji di Masjid Syuhada di Ampel. Di situ ada kelompok diskusi yang disebut dengan nama Usroh. Diskusi mereka tidak hanya menyangkut masalah fiqih saja, tapi juga sains, teknologi, dan ekonomi. Ustaz-ustaz disana memiliki wawasan politik yang luas. Bahkan setiap malam Jum’at, ada pengajian khusus yang diberikan oleh Ustaz Za’far dari Solo”, kata Yazid.

Mujahid tidak melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya atau berkomentar balik. Ia diam sambil terus melangkah di antara Yazid dan Rozi, tapi pikirannya melayang jauh.

“Mungkinkah pertanyaan-pertanyaan yang selama ini sering mengganggu akan kutemukan jawabannya disana?”, tanya Mujahid dalam hati.

(Bersambung…)

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=