Jika merujuk pada Al Qur’an secara benar, maka kita tidak saja menemukan betapa kitab suci ini memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap akal manusia. Logika dan berfikir menjadi proses untuk memahami ciptaanNya yang akan bermuara pada mengimani keberadaanNya. Dengan kata lain antara hati dan otak atau antara keyakinan dan fikiran bukan saja seharusnya berjalan seiring, lebih dari itu seharusnya saling menopang dan saling melengkapi. Jika muncul ketidak serasian atau ketidak sinkronan diantara keduanya, maka kita harus introspeksi diri, mungkin saja ilmu yang terakumulasi di kepala belum cukup atau perkembangan sain dan teknologi belum menjangkau atau pemahaman kita terhadap ayat-ayat Al Qur’an keliru.
Novel ini berkisah seputar masalah ini.
Karya: Dr Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UN Tourism
================================
SERI-19: PENCAKAR LANGIT PERTAMA DI DUNIA
Hari berikutnya sesuai dengan agenda Kami mengunjungi kota tua Sibham dengan menggunakan pesawat Yaman Air yang memiliki kapasitas penumpang hanya sekitar tiga puluh orang. Sebelum pesawat take off aku kaget karena seorang pramugari memberikan pengumuman dan aba-aba dalam Bahasa Arab dan Indonesia. Ketika membagikan makanan kecil dan minuman aku menyapa sang pramugari: “Boleh tahu namanya Mbak ?”, kataku langsung menggunakan Bahasa Indonesia.
“Euis !”, katanya.
“Asal darimana ?”, kataku penasaran sembari berspikulasi pasti orang Sunda.
“Sukabumi”, jawabnya.
“Sudah lama kerja di sini ?”.
“Hampir lima belas tahun”.
“Bagaimana ceritanya ?”.
“Waktu itu saya kerja di salah satu maskapai swasta di tanah air, karena perusahannya gulung tikar saya dan sejumlah teman di-PHK. Saya dan tiga teman kemudian mendaftar ke sini. Dulu pesawatnya banyak bahkan sempat membuka jalur ke Jakarta, sekarang saya ditempatkan di jalur penerbangan ini. Kini yang tersisa hanya tinggal beberapa pesawat saja dan hanya melayani penerbangan di dalam negri”.
“Bagaimana teman lainnya ?”.
“Semuanya memilih pulang, tinggal saya yang bertahan”.
“Dapat suami orang sini ya “, tanya saya menggoda.
Euis hanya tersenyum dan meninggalkan saya dengan sopan sambil mengatakan: “Mangga’ !”, dengan dialek Sunda yang kental.
Jalal yang duduk di sebelahku rupanya memperhatikan dialog kami kemudian menjelaskan: “Di sini Bahasa Asing kedua adalah Bahasa Indonesia bukan Bahasa Inggris”, katanya sambil tersenyum.
“Kok bisa !”, komentarku karena merasa ganjil.
“Penumpang asing terbanyak berasal dari Indonesia. Sebagian besar mereka yang datang leluhurnya berasal dari sini. Selain para pengusaha yang sukses banyak juga yang datang untuk belajar agama”.
Saat mendarat aku melongokkan kepala kearah jendela, ternyata pesawat yang aku tumpangi merupakan satu-satunya pesawat yang ada di bandara itu.
“Pesawat ini hanya berhenti sebentar untuk menurunkan penumpang lalu terbang lagi menuju kota lain”, jelas Jalal seakan mengerti isi kepalaku.
Bandara Seyoun sangat sederhana lebih sederhana dari banyak terminal bus di kabupaten yang berada di pulau jawa. Di luar bandara banyak orang yang menjemput masih berpakaian tradisional. Mereka berdesakkan bersama sopir taxi yang berebut penumpang. Kota kecil ini panas dan berdebu, sehingga sebagian besar dari laki-laki yang aku lihat menutup mulut dan hidungnya dengan sorban, sementara yang perempuan menutup seluruh wajahnya dengan kerudung hitam yang tipis sehingga kita tidak bisa mengenalinya.
Dari bandara aku dan Jalal menuju kota Shibam diantar seorang penjemput mengendarai Land Cruiser yang tampaknya sudah disiapkan oleh dinas pariwisata setempat. Di jalan-jalan masih banyak aku lihat gerobak yang ditarik oleh keledai sebagai sarana angkutan barang terkadang juga digunakan untuk angkutan orang. Di wilayah ini sebagaian besar masyarakatnya masih menggunkan pakaian khas mereka.
Saat turun dari mobil Kami disambut dengan rebana dan tambur mengiringi lagu-lagu yang dinyanyikan sambil menari tanpa pengeras suara oleh sejumlah laki-laki setengah baya. Semua yang menyambut kami laki-laki yang diikuti sejumlah anak-anak yang menikamti atraksi ini sebagai hiburan. Dari beberapa jendela bangunan tinggi nampak kepala sejumlah perempuan dengan kerudung hitam yang menutupi seluruh tubuhnya.
Aku dan Jalal lalu diantar ke subuah ruangan yang cukup luas seperti aula di lantai bawah dari salah satu gedung berlantai tujuh yang ada diantara gedung-gedung tua yang semuanya tanpa lift. Tidak semuanya menggunakan AC. Kami duduk lesehan melingkar,
“Ini kepala suku disini bernama Syech Salim Jindan dan ini Ir.Abdullah yang bertugas merawat gedung-gedung di area ini yang sudah ditetapkan sebagai bagian dari Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 1982”, ujar Jalal kepadaku mengenalkan dua orang yang duduk mengapitku.
“Orang-orang Barat yang datang kesini menjulukinya Manhattan of Desert”, kata Abdullah menimpali.
“Aku berharap semoga masyarakat Yaman kedepan bisa membangunan kembali bangunan-bangunan serupa dengan teknologi baru yang akan dikenang oleh masyarakat global seperti leluhur anda”, komentarku dengan maksud memotifasi sekaligus menyemangatinya.
Aku tidak tahu apa yang tertangkap oleh mereka yang mendengar komentarku, karena respon Abdullah dan teman-temannya hanya tertawa ringan sambil tersipu.
“Syech Salim ini merupakan ulama yang dituakan di Shibam, jika di ibukota San’a ada pertemuan para ulama beliau yang selalu diundang mewakili Masyarakat di sini”, kata Jalal melanjutkan.
“Masyarakat Hadramaut sebagian besar berprofresi sebagai pedagang dan sangat mencintai ilmu, leluhur kami dahulu juga suka merantau termasuk ke negri saudara. Kota Pelabuhan Al Mukalla dahulu menjadi kota perdagangan sekaligus sarana orang-orang Hadramaut bepergian ke berbagai belahan dunia. Setelah Inggris menjajah Yaman, Aden dipilih sebagai basis sehingga sinar Al Mukalla meredup”, kata Syech Salim menjelaskan.
“Saya mendengar masyarakat di sini terbagi dalam banyak kabilah dan kabilah satu dianggap lebih tinggi derajatnya dibanding kabilah yang lain, semacam kasta di India”, kataku untuk mengkonfirmasi cerita teman-teman yang imbasnya sampai ke Indonesia walau sudah melewati sekian generasi.
“Sebetulnya masalah ini bermula hanya sebagai identitas kelompok, lalu berkembang menjadi profesi sesuai dengan potensi wilayah yang didiaminya, seperti mereka yang tinggal di daerah pantai umumnya pelaut atau nelayan, yang tinggal di daerah subur menjadi petani, sementara yang tinggal di daerah gersang menjadi pedagang. Di zaman kerajaan ada yang berprofesi sebagai pegawai kerajaan atau tentara. Profesi sebagai tentara atau pegawai kerajaan dan ilmuwan sangat dihormati. Lama-lama ada semacam kebanggaan profesi dan berhimbas pada kebanggaan kabilah, kemudian terasa seperti kasta. Jadi sebenarnya fenomena sosial biasa”, kata Syech Salim.
“Betulkah di negri ini jabatan-jabatan publik di pemerintahan masih ditentukan oleh asal-usul suku ?”, kataku berusaha menggali informasi terkait lebih lanjut.
“Sebagian ya ! Akan tetapi semakin hari semakin berkurang, Kami ingin berkembang menjadi bagian dari masyarakat modern dimana prinsip meritokrasi digunakan dalam semua sektor dan profesi”.
Syech Salim terus memegang tanganku dengan kuat. Saat bercerita aku mencuri pandang menelisik seluruh tubuhnya. Ia mengenakan pakaian serba putih termasuk serbannya, meskipun putihnya sudah nampak pudar tetapi tetap nampak bersih dan menyebarkan aroma wangi yang khas. Bibirnya selalu menyunggingkan senyuman, sekali-sekali gigi putihnya yang rapi dan bersih terlihat. Wajahnya selalu cerah seakan memendarkan cahaya lembut. Jenggotnya tertata rapi dan tidak terlalu panjang.
Aku seakan dipertemukan dengan orang yang lama aku cari untuk menanyakan sejumlah hal yang sering mengganggu pikiranku, dan dengan hati-hati aku mengutarakan: “Saya juga dengar di sini banyak keturunan Rasulullah yang memiliki kedudukan sangat tinggi di masyarakat”.
“Bukankah Rasulullah sudah menegaskan saat Haji Wada’ bahwa tidak ada bedanya antara Arab dan Ajam atau non Arab, masak sesama orang Arab mau dibeda-bedakan. Demikian juga derajat manusia di sisi Allah ditentukan oleh taqwanya sebagaimana diabadikan dalam Al Qur’an. Jika istilah taqwa ini kita kembangkan, maka bisa dikatakan bahwa derajat manusia itu ditentukan oleh tinggi ilmunya, mulia akhlaknya, dan banyaknya amal saleh”.
“Lalu bagaimana asal-muasal munculnya sejumlah kabilah yang mengaku keturunan Rasulullah ?”.
“Antum juga bisa menyebut diri sebagai cucunya Nabi Adam”, katanya sambil tersenyum dan terasa tidak ingin melanjukan topik ini.
Setelah aku meyakini kedalaman ilmunya dan ketulusan hatinya, serta kearifan sikapnya, kemudian pertanyaan pamungkas aku sampaikan dan memulainya dengan kalimat:“Mungkinkah Syech dapat menolong saya ?”, kataku dengan penuh harap.
“Dalam masalah apa ?”, katanya dengan wajah heran.
“Bagaimana caranya agar saya bisa khusuk saat beribadah khususnya saat menunaikan shalat !”, kataku dengan nada menghiba.
Mendengar pertanyaan ini Syech Salim memperbaiki posisi duduknya sambil menarik nafas panjang, kemudian dengan suara kebapakannya ia mengatakan:”Tidak mudah memang tetapi teruslah berusaha !”.
“Caranya ?”, pintaku.
“Sebelum shalat dimulai kita diharuskan bersuci, menggunakan pakaian yang bersih, kemudian mengambil wudhu, semua ini dilakukan untuk membersihkan hal-hal terkait fisik. Seharusnya juga diiringi dengan membersihkan hati dan jiwa dengan cara melupakan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan duniawi dan memusatkan fikiran kita untuk fokus hanya mengingat Allah, kemudian menyerahkan diri dengan penuh pasrah kepada sang Khaliq. Hal yang terkait dengan aspek non fisik ini sesungguhnya jauh lebih penting dibanding aspek fisik”.
“Aku sudah melakukannya akan tetapi seringkali gagal, jika dihitung secara kuantitatif sejak Takbiratul ihram sampai Salam lebih banyak lepasnya dibanding dengan terikatnya”, kataku jujur.
“Jangan khawatir setiap kali lepas raih kembali tali iman yang menghubungkan kita dengan Sang Khaliq dan peganglah kuat-kuat, semua orang mengalami hal serupa termasuk diri saya”, katanya dengan suara lembut penuh kasih sayang.
“Lalu bagaimana ?”, kataku tak tahu lagi harus mengatakan apa.
“Sebenarnya kekhusukan dalam shalat bisa dijadikan indikator sebarapa dekat kita dengan Allah, semakin panjang rentang khusuk yang bisa kita nikmati maka semakin dekat jarak kita denganNya. Atau dengan kata lain semakin tinggi kemampuan kita menjaga jarak dengan godaan dunia maka semakin sedikit rentang kelalaian kita saat shalat”.
“Saya belum mengerti !”, kataku mengeluh.
“Secara spiritual antara manusia dengan Tuhannya dihubungkan oleh tali iman dimana dunia dengan segala godaannya berada di sisi lain, antara keduanya selalu terjadi tarik-menarik kearah yang berlawanan, karena itu kita harus terus-menerus berjuang untuk mendekatiNya. Ketahuilah kemampuan kita untuk mendekatiNya tidak sepenuhnya ditentukan oleh ikhtiar kita tetapi juga atas belas kasihNya karena itu berdoalah !”
Kini aku menyimpulkan bahwa kekhusukan dalam menjalankan sebuah ibadah berkaitan langsung dengan semua pikiran, keinginan, dan perbuatan kita sehari-hari, karena itu aku kemudian mencoba mengevaluasi diri sendiri apakah selama ini orientasi hidup dan kecintaanku pada harta, tahta, dan keluarga masih lebih tinggi dari orientasi dan kecintaanku pada Allah dan Rasulnya?
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca seri sebelumnya:
Seri-18: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-18): Istana Ratu Bilqis
Seri-17: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-17): Mengunjungi Yaman
Seri-16: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-16): Madrasah di Buchara
Seri-15: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-15): Makam Imam Buchari
Seri-14: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-14): Kota Samarkand
Novel karya Dr Muhammad Najib yang lain dapat dibaca dibawah ini:
1) Di Beranda Istana Alhambra (1-Mendapat Beasiswa)
2)Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-1): Dunia Dalam Berita
3)Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-1): Meraih Mimpi
Related Posts
Muhammad Chirzin: Israel Merajalela
Alumni Harvard Turun Gunung Membantu Alma Maternya Melawan Trump.
Diskusi Psikologi Rakyat Konoha
Prabowo Adalah TNI Demokratis: Tanggapan Untuk Dhimam Abror Djuraid
Mau Dibawa Kemana Negara Ini Ketika Polri Ingkar Terhadap Konstitusi
Idul Fitri di Gaza dan Myanmar: Keteguhan di Tengah Ujian Kemanusiaan
Hari Pembebasan…
Mengapa Presiden Prabowo Diseret Seret ke Pasar?
Hingga Lebaran teror nDhas belum juga jelas, malah viral di media asing, jadi makin meluas
Pro Kontra Spiritualitas
No Responses