Jika merujuk pada Al Qur’an secara benar, maka kita tidak saja menemukan betapa kitab suci ini memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap akal manusia. Logika dan berfikir menjadi proses untuk memahami ciptaanNya yang akan bermuara pada mengimani keberadaanNya. Dengan kata lain antara hati dan otak atau antara keyakinan dan fikiran bukan saja seharusnya berjalan seiring, lebih dari itu seharusnya saling menopang dan saling melengkapi. Jika muncul ketidak serasian atau ketidak sinkronan diantara keduanya, maka kita harus introspeksi diri, mungkin saja ilmu yang terakumulasi di kepala belum cukup atau perkembangan sain dan teknologi belum menjangkau atau pemahaman kita terhadap ayat-ayat Al Qur’an keliru.
Novel ini berkisah seputar masalah ini.
Karya: Dr Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UN Tourism
================================
SERI-20: ZIARAH KE TARIM
“Provinsi Hadramaut merupakan provinsi terluas di Yaman, walaupun sebagian besar wilayahnya gersang dan berdebu akan tetapi ia menjadi salah satu pusat spiritual yang memiliki peran penting dalam dakwah di dunia Islam. Ini adalah kota santri yang telah menghasilkan banyak ulama terkenal sejak dulu sampai sekarang”, kata Jalal saat memasuki Kota Tarim
Aku hanya mengangguk-angguk saja tanpa komentar sambil terus memperhatikan banyak bangunan tua yang masih terawat baik saat memasuki jalan-jalan sempit yang berkelok setelah melewati gerbang kotanya.
“Sekarang kita menuju makam yang dikeramatkan banyak orang. Konon disini merupakan salah satu tempat berdoa yang sangat makbul. Karena itu jangan lupa nanti anda berdoa”, kata Jalal mengingatkan.
Memasuki area makam yang cukup luas ini aku memperhatikan ukuran makam yang beragam, ada yang sangat besar tetapi juga ada yang sangat kecil, ada yang sangat mewah dilingkari pagar besi atau tembok dengan bentuk yang berbeda-beda. Aku mencoba mendekat dan membaca nama-nama mereka yang di makamkan.
“Biasanya makam yang bagus merupakan makam ulama besar”, kata Jalal menjelaskan seakan mengerti perasaanku.
“Berarti semakin besar makam seseorang semakin tinggi ilmunya”, komentarku.
“Bisa juga semakin bagus semakin banyak pengikutnya, karena makam-makam ini dibuat oleh keluarga atau oleh murid-murid almarhum”, tambah Jalal.

Makam Zanbal Tarim,tempat bersemayamnya para pemuka agama, para ulama, para wali, orang-orang saleh dan para habaib. Makam kuno berusia lebih seribu tahun. Yang hingga kini masih terus dipakai
Kami terus bergerak di jalan setapak yang berkelok diantara makam-makam yang posisinya tidak teratur, hingga sampai pada sebuah makam dimana aku melihat wajah-wajah Indonesia sedang khusuk berdoa. Aku berhenti dan menunggu sampai mereka semuanya menuntaskan doanya. Sesudah selesai satu-persatu berdiri kemudian saling bersalaman dengan berbagai ekspresi wajah lega yang menggambarkan harapan besar yang kini telah tertunaikan. Aku mendengar mereka berbicara dengan menggunakan Bahasa Madura.
“Asal dari mana ?”, tanyaku.
Mereka kemudian menoleh, setelah memperhatikan wajahku sejenak, seorang Ibu yang berbadan agak gemuk menjawab: “Saya dari Gresik, kalau ini dari Situbondo”, sambil menunjuk seorang gadis di sebelahnya.
“Kalau Saya dari Bangkalan”, jawab seorang laki-laki dengan kopiah putih sambil berdiri.
“Oooooooo berarti dari Jawa Timur”, komentarku.
“Kalau Bapak dari mana ?”, tanya si Ibu tadi kepadaku.
“Saya dari Yogya”, jawabku sambil pamitan meninggalkan mereka.
“Sudah waktunya”, kata Jalal sambil menunjukkan jam di tangan kirinya.
“Siapa nama ulama yang akan kita temui ?”, tanyaku lagi karena sebelumnya sudah dijelaskan.
“Habib Mustafa”, katanya.
Kami melewati pintu gerbang dan memasuki area seperti pesantren di Indonesia. Di sebelah kiri ada masjid besar dan banyak orang di sana, ada yang tampak menghafal Al Qur’an, ada yang membaca buku, tetapi ada juga yang diskusi, bahkan ada yang duduk setengah tiduran beristirahat. Kami terus bergerak menuju ruang utama. Kami dipersilahkan untuk duduk di ruang tunggu karena Habib sedang menerima rombongan dari Eropa, kata petugas penerima tamu sambil menanyakan mau minum teh atau kopi: “Shai au kahwa”, katanya dalam Bahasa Arab.

Makam Nabi Hud AS terletak di desa terpencil di Hadhramaut, Yaman, dan sering menjadi tempat ziarah umat Islam.
Beberapa saat kemudian keluar lima orang bule yang tubuhnya rata-rata tinggi besar tetapi aku berspikulasi kelihatannya mereka tidak berasal dari satu negara.
“Ahlan wasahlan wamarhaban”, kata Habib Mustafa menyongsong kami dengan senyum ramah.
“Afwan ! Agak terlambat kami baru saja menerima Jama’ah Tabligh dari Eropa. Mereka ada yang berprofesi sebagai dokter, insinyur, banker, dan pengusaha”, katanya sambil mempersilahkan kami duduk di lantai beralas permadani.
Jalal kemudian mengenalkanku sebagai pejabat di UN Tourism yang kini menjadi tamu dari Kementrian Pariwisata Yaman. Mungkin karena memperhatikan wajah dan tubuhku, spontan ia bertanya: “Asal ?”.
Ketika aku menjawab, beliau langsung mendekat sembari memegang kuat tanganku sembil berkata: “Ya akhi ! Kami memiliki banyak santri asal negara anda dan saya setiap tahun ke Indonesia, saya juga punya banyak teman di sana”.
“Apa yang menarik di Yaman ?”, katanya memulai.
Aku kemudian bercerita bagaimana kisahnya sehingga sampai menginjakkan kaki di pesantrennya.
“Masalah keamanan merupakan kendala terbesar jika berbicara pariwisata di negri ini”, katanya.
Aku tidak mengomentarinya tetapi hanya mengangguk-anggukkan kepala, karena sejak dari San’a Kami sudah berdiskusi tentang banyak hal disamping dengan mata kepala sendiri sudah menyaksikan kondisi di lapangan. Karena itu aku mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan secara perlahan ke sejumlah masalah yang selama ini terpendam di kepalaku dan mencari orang yang tepat untuk mendiskusikannya tanpa membuat Jalal kecewa atau tersinggung.
“Kalau ke Indonesia kemana saja ?”, kataku memulai.
“Jakarta, Jawa Timur, dan Banjarmasin”, katanya.
“Apa saja kegiatan selama di sana ?”.
“Pengajian”.
“Apa yang menarik di mata Habib masyarakat kami ?”.
“Orang Indonesia sangat menghormati ulama, rajin menekuni agama, juga memiliki solidaritas sosial yang tinggi, selain alamnya yang indah dan subur. Mungkin karena itu banyak ulama asal Hadramaut yang sejak dahulu kala suka berdakwah ke Indonesia, Malaysia, dan di kawasan sekitarnya”, katanya antusias.
“Banyak ulama Indonesia yang merasa guru-guru mereka berasal dari sini akan tetapi buku-buku Sejarah yang kami baca sejak kecil mengatakan bahwa para penyebar Islam di Nusantara tidak lain dari para pedagang dari Gujarat”, kataku dengan nada mengkonfirmasi.
“Para leluhur kami yang menuju Nusantara ada yang langsung dan ada pula yang transit bahkan menetap di kota-kota Pelabuhan yang berada di sepanjang Pantai Barat India. Itulah sebabnya terbentuk komunitas-komunitas Hadarim di sana. Salah satu yang paling besar dan sangat terkenal adalah Gujarat. Di wilayah Nusantara, Aceh dan Malaka menjadi tempat teransit berikutnya yang cukup penting sebelum menyebar ke seluruh wilayah Nusantara”.
Sambil mendengarkan aku terus mencari cara untuk membelokkan topik yang aku inginkan, saat suasana sudah kondusif lalu aku memulai dengan pertanyaan : “Para santri di sini belajar apa saja ?”.
“Beragam mereka yang berasal dari negara-negara Muslim termasuk Indonesia kebanyakan belajar Fiqih, Tafsir, Hadits dan sebagainya, akan tetapi mereka yang berasal dari Barat umumnya belajar Tasawuf”.
“Apa sebetulnya perbedaan diantara ilmu-ilmu itu ?”.
“Untuk mempermudah pemahaman saya akan mengenalkan dua istilah, yaitu Syariat dan Tareqat. Kedua istilah ini secara harfiah memiliki makna yang sama yaitu jalan yang dalam Bahasa Arab disebut ‘Syaari’ dan ‘Taariq’. Akan tetapi istilah Syariat lazim digunakan oleh ahli fiqih sedangkan istilah tariqat lebih dekat dengan ahli tasawuf atau penganut sufi. Secara substantial keduanya merupakan jalan atau cara untuk mendekatkan diri kita kepada Allah”.
“Itu kesamaannya, kalau perbedaannya ?”
“Perbedaannya jika fiqih lebih mengutamakan aktifitas lahiriah sedangkan tasawuf lebih mengutamakan olah bathin termasuk upaya untuk membersihkan hati dan jiwa secara terus-menerus”.
“Mana yang lebih baik ?”.
“Keduanya sama baiknya dan keduanya saling melengkapi. Bisa diibaratkan bagai wadah dan isi, jadi wadah tanpa isi jadi kosong atau isi tanpa wadah bisa liar. Jika berhenti di Syariat saja ibarat berhenti pada aktifitas fisik dari suatu ibadah”.
“Adakah saran bagaimana sebaiknya agar sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits, atau Sunnah Rasul ?”.
“Mulailah dari syariat baru masuk ke tareqat untuk menuju hakekat, karena syariat jauh lebih mudah difahami. Karena itu para ulama biasanya memulai dengan syariat khususnya untuk anak-anak dan orang awam, hanya orang-orang tertentu yang kemudian perlu melanjutkannya ke wilayah tasawuf”.
“Haruskah kita mengikuti tariqat tertentu yang jumlahnya cukup banyak untuk meningkatkan kualitas bathin kita sebagai proses mencapai hakekat ?”.
“Pertanyaan ini serupa dengan pertanyaan haruskah kita memilih majhab fiqih tertentu dalam melaksanakan syariat ?”.
“Menurut Habib ?”, kataku belum faham.
“Perlu diketahui bahwa Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Hambali, dan Syafii adalah ulama-ulama besar dalam fiqih yang ijtihadnya diikuti oleh banyak orang dan relefan dalam rentang waktu yang panjang yang kemudian dikenal dengan istilah mazhab. Tetapi jangan lupa ada mazhab lain seperti Ja’fari, dan sejumlah mazhab yang lebih kecil yang mungkin tidak banyak dikenal”.
“Bolehkah kita bermazhab tidak dengan satu imam saja ?”.
“Boleh saja karena ijtihad imam disamping bergantung pada kedalaman ilmunya, juga dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Karena itu pendapat seorang imam bisa relevan di tempat tertentu tetapi tidak relevan di tempat yang lain, begitu juga pendapat seorang imam bisa relevan pada waktu tertentu tetapi tidak relevan pada waktu yang lain”.
“Berarti Mazhab tertentu bisa hilang di suatu saat nanti?”, kataku untuk menegaskan.
“Bisa saja, begitu juga mazhab baru bisa saja muncul untuk menjawab tantangan zaman. Atau bisa juga pendapat Imam yang saat ini belum banyak pengikutnya suatu saat nanti akan diikuti banyak orang, begitu juga sebaliknya pendapat imam yang saat ini banyak pengikutnya bisa ditinggalkan”.
“Lalu bagaimana dengan tareqat ?”.
“Sama saja, banyak tareqat yang berkembang di dunia, ada yang pengikutnya banyak tetapi ada pula yang pengkutnya sedikit. Tareqat juga bisa datang dan pergi. Banyaknya pengikut suatu mazhab atau tareqat menggambarkan kedalaman atau keluasan ulama’ yang mengajarkan hasil ijtihadnya”.
“Adakah saran Habib sebagai khulasoh ?”, kataku untuk mendapatkan saripati dari penjelasannya yang panjang.
“Jangan memutlakkan atau jangan memfinalkan ijtihad seorang ulama baik dalam masalah syariat maupun tareqat, ikuti yang anda anggap cocok. Semuanya baik sepanjang hal itu dapat mendekatkan anda kepada Sang Khaliq”, katanya.
Kini aku mulai faham makna Syariat dan Tareqat, lalu aku manfaatkan kesempatan ini untuk menanyakan masalah pamungkas terkait dengan ilmu filsafat yang banyak aku pelajari selama belajar di bangku kuliah khususnya saat mengambil program S-2 dan S-3 di Eropa dengan menanyakan: “Lalu dimana letaknya filsafat ?”.
“Filsafat itu tidak lain sebagai instrumen yang wilayah kerjanya di otak dan kebenaran yang dihasilkannya bersifat spekulatif”, katanya.
“Maksudnya ?”, kataku tak faham.
“Hasil pemikiran para filosof bisa benar, bisa setengah benar, bisa juga salah. Filsafat bila digunakan untuk mendeskrifsikan perintah Al Qur’an dan Hadits dapat membantu untuk merumuskan perintah menjadi petunjuk yang sangat teknis yang kemudian dikenal dengan istilah Fiqih, sedangkan filsafat bila digunakan untuk membantu mengenal hakekat Tuhan di dunia Islam dikenal dengan istilah ilmu Kalam”.
“Lalu dimana letaknya tareqat ?”.
“Tareqat tidak memerlukan filsafat karena wilayahnya di hati bukan di kepala”.
“Kelihatannya rumit dan membingungkan !”, komentarku dengan nada mengeluh.
Sambil tersenyum Habib Mustafa kemudian menenangkanku dengan mengatakan: ”Jangan paksakan sesuatu yang belum waktunya kita fahami! Laksanakan perintah Allah sesuai dengan kemampuan ! Ingatlah tugas kita untuk menemukan kebenaran sebagai bagian dari langkah kita untuk mendekatkan diri kepadaNya tidak sepenuhnya bergantung pada usaha dan kemampuan kita, tetapi juga ditentukan oleh Ridhanya. Ibarat seorang pengembara jika kita berada di jalan yang buntu, maka berhentilah sejenak untuk beristirahat dan teruslah berdoa, pada saatnya Allah akan menyingkap tabir yang selama ini menyelimuti sejumlah rahasia hikmah dan kebijaksanaan atau membukakan jalan yang sebelumnya buntu”.
“Lalu bagaimana untuk menenangkan jiwa yang terus gelisah ingin menemukan jawaban ?”, kataku tidak puas.
“Pertanyaan yang belum terjawab kembalikan kepadaNya sebagai bagian dari bentuk tawakkal, tempatkanlah misteri yang belum terpecahkan sebagai bagian dari wilayah yang perlu kita Imani”.
“Ajarkan kepada saya bagaimana agar saya bisa menjalaninya”, kataku dengan penuh harap.
“Perbanyaklah bersykur atas segala sesuatu yang telah kita terima dan nikmati kemudian tingkatkan kesabaran atas berbagai halangan atau rintangan yang kita hadapi dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini!”, katanya.
“Caranya !”, kataku mengejar.
“Bersyukurlah atas kesempatan dan jalan yang Allah telah bukakan untuk anda yang orang lain tidak dapatkan dan bersabarlah atas keinginan yang belum terpenuhi”, katanya sembari menjabat tanganku sebagai salam perpisahan.
Walaupun tidak sepenuhnya puas dengan jawabannya, akan tetapi aku berusaha untuk mengikutinya sebagaimana tunduknya Musa pada Chidir, pada saat bersamaan aku mengingatkan diriku sendiri bahwa kemampuan manusia itu terbatas.
Dari Tarim aku diantar menuju Aden dan langsung ke Airport untuk meninggalkan Yaman. Saat memasuki kota matahari mulai tergelincir di Barat dan langitpun tampak mulai memerah. Suara azan Magrib terdengar bersahut-sahutan seperti di tanah air. Aku tidak perlu mengurus proses check-in dan memasukkan bagasi karena ada petugas dari dinas pariwisata setempat yang membantu sehingga semuanya berjalan mudah dan lancar.
Di tempat ini Jalal melepasku dan aku bergegas menuju ruang tempat boarding sambil melambaikan tangan sembari mengucapkan salam perpisahan dalam Bahasa Arab: “Syukran kathira wa ilaliqa !”.
Para penumpang nampak sudah mulai antre dan aku memilih untuk duduk sejenak karena duduk di kelas bisnis bisa memasuki pesawat kapan saja dan tidak perlu ikut antre. Setelah antrean di kelas ekonomi mulai semakin sedikit akupun memasuki pesawat. Tidak lama kemudian pintu pesawat ditutup dan terdengar aba-aba pesawat segera tinggal landas.
Saat roda pesawat tidak lagi menyentuh landasan pacu, aku menoleh ke jendela ku perhatikan lampu-lampu yang menerangi kota berkedip-kedip semakin lama semakin kecil sampai kemudian hilang dan menyisakan gelapnya malam. Jendela kemudian ku tutup bersamaan dengan datangnya suguhan makan.
Usai makan meja di bersihkan dan kulipat kembali ke posisinya. Aku kemudian ke toilet untuk menggosok gigi, saat kembali ke tempat duduk ku perhatikan para penumpang mulai banyak yang tidur. Saat sampai di tempat duduk lampu mulai di redupkan dan akupun tertidur.
Dalam lelapnya tidur Ibuku datang dalam mimpi untuk mengingatkanku;
Teruslah mencari, mencari, dan mencari
Janganlah berhenti pada kebenaran indra karena ia bisa kalah dengan kebenaran fikiran
Janganlah berhenti pada kebenaran fikiran karena ia bisa kalah dengan kebenaran hati
Janganlah berhenti pada kebenaran hati karena ia bisa kalah dengan kebenaran iman
Karena itu bersihkan hati dan luruskan niat terus-menerus agar Nur Ilahi dapat masuk ke jiwamu
Bayangan Ibuku lalu perlahan menjauh, aku spontan memanggil namanya dengan nada menghiba, ia menoleh sembari bertanya: “Ada apa anakku ?”.
“Aku khawatir Bu !”.
“Bukankah Allah selalu bersamamu dan membimbingmu ?”.
“Aku takut salah arah dan tersesat !”.
“Bersihkan hatimu dan luruskan niatmu terus-menerus, ia akan menjadi Kompas pemandu untuk meraih RidhaNya”, setelah menyelesaikan kalimat ini ia lalu menghilang.
T A M A T
EDITOR: REYNA
Baca seri sebelumnya:
Seri-19: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-19): Pencakar Langit Pertama di Dunia
Seri-18: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-18): Istana Ratu Bilqis
Seri-17: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-17): Mengunjungi Yaman
Seri-16: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-16): Madrasah di Buchara
Seri-15: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-15): Makam Imam Buchari
Seri-14: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-14): Kota Samarkand
Novel karya Dr Muhammad Najib yang lain dapat dibaca dibawah ini:
1) Di Beranda Istana Alhambra (1-Mendapat Beasiswa)
2)Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-1): Dunia Dalam Berita
3)Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-1): Meraih Mimpi
Related Posts
Muhammad Chirzin: Israel Merajalela
Alumni Harvard Turun Gunung Membantu Alma Maternya Melawan Trump.
Diskusi Psikologi Rakyat Konoha
Prabowo Adalah TNI Demokratis: Tanggapan Untuk Dhimam Abror Djuraid
Mau Dibawa Kemana Negara Ini Ketika Polri Ingkar Terhadap Konstitusi
Idul Fitri di Gaza dan Myanmar: Keteguhan di Tengah Ujian Kemanusiaan
Hari Pembebasan…
Mengapa Presiden Prabowo Diseret Seret ke Pasar?
Hingga Lebaran teror nDhas belum juga jelas, malah viral di media asing, jadi makin meluas
Pro Kontra Spiritualitas
No Responses