Oleh: Budi Puryanto
Setelah memenangkan pertarungan itu ayam jago Cindelaras dielukan para penonton. Namanya terus diteriakkan. Yel-yel Cindelaras terus menggema di arena petarungan itu.
Seperti janjinya semula, setelah adu jago selesai, Cindelaras diperbolehkan pergi. Sekantong uang diberikan oleh bebotoh sebagai bagian dari perjanjian, karena ayam Cindelaras menang.
“Uang apa ini paman,” tanya Cindelaras yang tidak mengharapkan imbalan apapun. Yang penting dia bisa pergi melanjutkan perjalanan bersama ayamnya, dia sudah senang.
“Seperti janjiku, kalau menang kau berhak mendapatkan bagian. Terserah kepadamu, untuk apa uang itu,” jawab bebotoh dengan tersenyum, karena dia mendapatkan hasil besar dari kemenangan itu. Yang diberikan kepada Cindelaras tidaklah seberapa dibanding yang dia terima.
“Baik paman, saya terima. Tetapi saya minta kepada paman untuk membagikan uang ini kepada orang-orang miskin, orang tua, para janda, anak yang orangtuanya sudah meninggal, dan para pengembara yang kehabisan bekal,” jawab Cindelaras.
Bagi Cindelaras, bekal pemberian ibundanya masih cukup. Dia tidak perlu uang itu. Lebih baik diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan pertolongan.
“Baiklah Cindelaras, kalau memang itu maumu. Terserah kau saja. Kau anak muda yang baik hati. Wajahmu sangat ganteng. Kulitmu kuning bersih. Sikapmu sopan dan santun. Namun, ternyata kau juga dermawan. Semoha Tuhan Yang Maha Kuasa memberkatimu.” jawab bebotoh itu.
“Terima kasih sebelumnya paman. Saya mohon ijin untuk melanjutkan perjalanan,” kata Cindelaras.
“Sebentar. Cindelaras, bolehkah aku tahu kemana tujuan pergimu,” tanya bebotoh.
“Saya akan ke kotaraja paman.”
“Untuk apa?”
“Ingin sekedar melihat-lihat saja.”
“Bolehkah aku mengantarmu. Sekedar untuk ucapan terima kasih.”
“Terima kasih, tidak perlu paman. Saya ingin jalan kaki saja, sambil melihat-lihat keindahan alam.”
“Baiklah kalau begitu. Berhati-hatilah dalam perjalanan.”
“Terima kasih paman. Saya mohon ijin.”
Sepeninggal Cindelaras, bebotoh dengan dibantu para cantriknya, membagikan sekantong uang kepada orang-orang, seperti yang diminta oleh Cindelaras.
Karena cukup banyak, uang itu selain dibagikan kepada para penonton, juga diberikan kepada warga sekitar arena adu jago.
Para penonton dan warga sekitar yang mendapatkan pemberian uang dari Cindelaras sangat senang. Bahagia. Banyak diantara orangtua yang menangis.
Bisa menonton saja sudah cukup bagi mereka, bisa menghibur hati dari penderitaan karena miskin. Ini justru mendapatkan uang yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Kemiskinan yang menimpa warga desa Balitar, sebenarnya juga menimpa banyak desa sekitarnya. Juga desa-desa lainnya diwilayah kerajaan Jenggala. Hasil panen sedikit karena kekurangan air. Saluran irigasi rusak terbengkalai karena tidak dirawat. Praktis para petani hanya mengandalkan air hujan untuk bertanam. Padahal dahulu, sekira 10-15 tahun lalu, saluran irigasi dibangun dan dirawat dengan baik. Sehingga air dari gunung dan sungai diwilayah atas, turun melimpah kebawah. Petani bisa bertanam 2 hingga 3 kali dalam setahun. Petani makmur dan hidup sejahtera.
Para petani dan rakyat sering manyalahkan sang Raja. Sejak memiliki Permaisuri Baru yang cantik jelita, kata mereka, Raja sudah lupa kepada rakyatnya. Sudah tidak pernah turun melihat keadaan rakyat yang sebenarnya.
Kemarahan rakyat makin menumpuk, karena penderitaan mereka tak kunjung teratasi. Hasil panen tidak cukup untuk bertahan hidup sampai panen berikutnya. Untuk bertanam lagi, mereka mesti hutang kepada rentenir. Dengan bunga tinggi, membuat mereka makin menderita.
Tapi rakyat tidak bisa berbuat banyak. Kecuali pasrah pada nasibnya. Dalam kondisi demikian pemberian Cinderalas bak air hujan turun dari langit. Menyegarkan. Menumbuhkan harapan baru. Pertolongan dari Yang Maha Kuasa benar-benar ada dan nyata.
Sejak kejadian itu, nama Cindelaras membekas dalam hati warga Balitar. Menjadi buah bibir dimana-mana. Di warung, di sawah, di pasar. Namanya menyebar ke desa-desa. Cindelaras dan ayam jagonya dipuja-puja layaknya tokoh dalam dongeng.
Dalam perjalanannya, Cindelaras tidak selalu melewati jalan-jalan umum yang besar. Yang biasa dilewati warga. Dia berjalan semaunya. Dia sangat senang menikmati keindahan alam: pegunungan, sawah, sungai, perkampungan.
Kadang-kadang dia berhenti dipinggir sungai. Kadang di gubuk-gubuk sawah. Kadang juga diwarung sambil makan. Juga memberi makan ayam jagonya.
Pagi itu, saat sedang makan diwarung, banyak orang memperhatikan ayam jagonya. Ayam itu memang mempesona bagi yang melihatnya. Namun rupanya, kabar kehebatan ayam Cidelaras belum sampai kedesa itu.
“Ayam yang bagus anak muda ganteng. Mau diadu? Nanti siang dilapangan dekat warung ini akan ada adu jago. Anda boleh ikut mencobanya. Ada yang kelas hiburan, tidak perlu bayar. Coba saja barangkali jagomu bisa menang. Kalau menang, baru bisa ikut kelas diatasnya. Adu jago sungguhan. Anda harus pasang taruhan,” kata orang diwarung itu.
Wajah Cindelaras berbinar senang mendengar akan ada adu jago. Ayamnya saat dilirik juga kelihatan senang. Tiba-tiba ayam itu kluruk: “kukuruyuuuukkkkk……”
Suaranya merdu dan melengking panjang. Orang-orang diwarung itu terkesima. Juga penjualnya, yang dari tadi memperhatikan Cindelaras ini. Dia mendengar sayup-sayup ada anak muda dan ayam jagonya yang mengebohkan desa Balitar, dari pengembara yang mampir makan dan minum air kelapa di warungnya, beberapa hari lalu.
Warung didesa seperti pusat informasi. Orang datang dari mana-mana sering bercerita sambil makan atau minum kopi. Terutama orang-orang dari jauh, senang sekali bila ceritanya didengar seisi warung.
Kini penjual itu baru ingat betul semua cerita pengembara yang mampir diwarungnya itu. Kata pengembara itu, ayam jago milik anak muda ganteng mengalahkan semua jago paling hebat yang ada di arena itu. Juga kehebohan lainnya, anak muda itu justru membagikan uang dari bebetoh kepada orang-orang miskin disana.
“Suara ayam jagonya seperti yang dikatakan orang pengembara kemarin. Pengembara itu malah cerita juga dapat uang dari anak muda pemilik jago itu. Dia menang, dapat uang, tapi uang itu dibagikan kepada orang yang membutuhkan. Dia sendiri tidak mengambilnya,” kata pemilik warung itu dalam hatinya, yang tiba-tiba ingat semua secara detail, apa yang dikatakan pengambara kemarin.
Tapi apakah benar anak ini? Pemilik warung itu memilih diam saja. Khawatir menyinggungnya, kalau tiba-tiba bertanya.
“Saya ingin ikut mencobanya paman. Saya ikut yang untuk hiburan saja. Tidak pakai taruhan,” jawab Cindelaras.
“Jagomu kluruknya bagus sekali. Keras melengking, tapi merdu. Bagaimana kamu melatihnya. Dikasih makan apa,” tanya orang diwarung itu dengan semangat.
“Makan apa adanya paman, seperti ayam pada umumnya. Saya juga tidak melatih suaranya. Ya seperti itu dari dulu. Biasa aja seperti suara ayam jago umumnya.”
“Tidak. Suara ayam-mu beda. Keras, melengking, tapi merdu. Enak didengar. Apakah dia bisa kluruk sekali lagi. Tolong anak muda saya ingin mendengarnya lagi. Perintahkan jagomu untuk kluruk lagi,” kata orang itu yang kemudian turun dari tempat duduknya, lalu memegang lutut Cindelaras, menundukkan kepala dan punggungnya. Berharap dengan sungguh-sungguh agar anak muda itu bersedia memenuhi permintaannya.
“Jangan berbuat begitu paman. Kembalilah duduk. Beri waktu sejenak agar ayam saya kluruk lagi,” jawab Cindelaras.
Sejenak dia diam. Cindelaras mengelus kepala ayamnya sambil tersenyum. Dia berbicara dengan ayamnya dalam diam yang membisu. Hanya dia dan ayamnya yang tahu.
Sejenak kemudian ayam jago itu mengeluarkan suara yang menggetarkan.
“Kukuruyuuuukkkk…..kukuruyuuuukkkkk….kukuruyuukkkkk,” ayam itu kluruk tiga kali dengan sangat keras, melengking, bening, merdu, dan penuh energi. Suaranya bertalu-talu bersautan, karena membentur tebing pegunungan disekitar desa itu.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 1)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 2)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 3)
Orang-orang di warung itu terbengong-bengong. Melongo. Diam terpaku memandang ayam jago itu, yang saat kluruk memandang keatas. Seolah suaranya dipancarkan kelangit untuk merontokkan bintang-bintang.
Orang-orang di warung itu tidak sadar, kedua tangannya masih tetap menutup telinga. Padahal sudah dari tadi kluruk ayam jago itu berhenti.
Diluar kesadaran mereka juga, daun-daun berjatuhan dihalaman warung itu. Ya, daun yang sudah menguning itu sebenarnya belum waktunya rontok. Tapi getaran suara ayam jago Cindelaras mempercepat daun-daun itu gugur.
Pemilik warung itu makin yakin inilah anak muda yang diceritakan pengembara kemarin.
Kejadian berikutnya diluar perhitungan. Kluruk ayam jago Cindelaras ternyata didengar seluruh warga desa itu. Juga warga desa lain di sekitarnya. Mereka berbondong-bondong datang ke lapangan adu jago. Lokasinya tidak jauh dari warung itu.
Orang-orang di warung itu jadi heran. Bukannya adu jago masih nanti siang. Kenapa sepagi ini sudah datang. Juga para bebotoh dari desa-desa lain berdatangan. Seperti tidak mau ketinggalan.
Orang-orang kerja disawah bergegas pulang. Mereka tidak ingin melihat adu jago, yang tidak setiap hari ada. Tapi kenapa pagi begini sudah dimulai?
Usut punya usut, mereka mendengar kluruk ayam yang sangat keras. Dipikirnya adu jago diajukan waktunya, pagi itu.
Tidak berapa lama, lapangan sudah penuh orang. Pengurus pertandingan tampak bingung. Karena belum ada persiapan apa-apa dilapangan tempat pertandingan.
Tetapi karena sudah ramai penonton, dan para bebotoh juga sudah berkumpul semua, dispekati pertandingan akan dilaksanakan pagi itu juga.
Namun pertanyaan besar muncul. Panitia, bebotoh, tokoh masyarakat, juga kepala desa, mempertanyakan jago siapa yang kluruk tadi pagi. Yang memaksa orang-orang untuk berbondong-bondong datang ke lapangan. Ayam jago itu yang menjadi biang keladinya.
Tidak sulit menemukan jawaban. Dari mulut ke mulut akhirnya diketahui kluruk itu berasal dari ayam jago yang ada di warung, tidak jauh dari lapangan.
Dengan nada kesal, marah, tapi juga kagum. Panitia meminta ayam jago Cindelaras dibawa ke lapangan untuk dihukum.
“Anak muda. Ayam jagomu bikin masalah. Gara-gara kluruknya, pertandingan terpaksa harus diadakan sekarang. Mestinya itu adu jagonya masih nanti siang. Makanya ayam jagomu harus dihukum,” kata tokoh desa itu.
“Dihukum untuk bertarung sampai mati,” ujar yang lainnya.
“Ya bertarung bergantian melawan 5 ayam jago, biar mampus,” kata orang yang lainnya lagi.
“Maaf paman semua. Sebelumnya saya minta maaf. Tidak ada maksud saya merusak acara paman-paman disini. Ayam saya kluruk, bukankah hal biasa. Bagaimana dengan ayam lain yang kluruk. Apakah juga akan dihukum,” jawab Cindelaras tenang.
Jawaban Cindelaras diluar dugaan orang-orang disitu. Seketika mulut mereka seperti dibungkam semua. Hening. Teriakan yang tadi ramai saut-sautan, mendadak berhenti. Ucapan Cindelaras seperti sihir. Suasana beku.
“Tapi paman, kalau memang harus menerima hukuman, saya tidak keberatan. Ayam jago saya boleh diadu dengan 5 ayam jago secara bergantian. Tapi ingat, ini bukan keinginan saya. Semata-mata untuk memenuhi tanggung-jawab saya,” jawaban itu diucapkan Cindelaras dengan jelas, lugas. Memecah kebekuan yang menyesakkan.
Tokoh desa sekaligus panitia penyelenggara adu jago merasa lega. Karena terbebas dari rasa bersalah. Dan hukuman yang dijatuhkah kepada Cindelaras menjadi jalan keluar agar dia tidak kehilangan muka didepan warganya. Juga didepan warga desa lain.
Akhirnya disepakati ayam jago Cindelaras diadu dengan 5 ayam secara bergantian. Dengan menghadapi secara bergantian, mereka berharap ayam Cindelaras akan mati kelelahan.
Namun rupanya banyak bebotoh yang memandang Cindelaras sombong. Mereka pikir, tidak usah 5 ayam, ayamnya saja sanggup mengalahkan sendirian. Makanya banyak yang berebut untuk diadu dengan ayam Cindelaras.
“Cukup ayam jago saya saja untuk membunuh ayam sialan itu,” kata seorang bebotoh kondang di daerah itu.
“Tidak, lawan jagoku saja. Yang lain minggir,” bebotoh lain menimpali.
Karena banyak yang ingin melawan ayam Cindelaras, akhirnya diundi untuk menentukan siapa yang harus bertarung pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
Pertarungan pertama
Arena pertarungan segera disiapkan. Orang-orang, penonton, bebotoh, para tokoh, duduk melingkari arena. Yang di belakang karena takut tidak bisa melihat, ada yang berdiri.
Ayam jago pertama dilepas arena. Ayam Cindelaras dielus sebentar, lalu memasuki arena. Tidak seperti lawannya yang sering kluruk sambil jalan memutar-mutar seperti menari. Ayam Cindelaras tenang, mulai mengepakkan sayapnya, sorot matanya tertuju kepada lawan didepannyaa. Dia kluruk sekali. Keras melengking.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 4)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 5)
Klurukannya memang tidak sekeras tadi pagi. Tapi cukup membuat jago didepannya kaget dan gugup. Kondisi itu dimanfaatkan oleh ayam Cindelaras. Dalam sekejap dia melompat ke udara. Lalu turun dengan cepat, sambil kedua kakinya mencakar kepala lawannya. Mengangkatnya keudara. Kemudian, tanpa memberi kesempatan lawannya, kedua sayapnya “mengabruk” dada lawannya dengan keras.
Ayam jago pertama itu langsung jatuh. Kakinya kejang-kejang. Dari mulutnya keluar darah. Mati.
Penonton tak ada yang bersuara. Kaget. Bingung. Tapi juga kagum dengan ayam Cindelaras. Mereka menikmati pertandingan. Tapi takut untuk bersorak.
Tak lama kemudian disiapkan pertandingan kedua. Ayam jago kedua sudah siap dipinggir arena. Dikasih makan, minum, dimandikan dengan air kembang.
Cindelaras hanya memberi minum sedikit air kepada ayamnya. Dia diam saja. Tapi tetap tenang. Menunggu petandingan kedua dimulai.
(BERSAMBUNG)
EDITOR: REYNA
Related Posts
Rempang Dan Potensi Gerakan Anti China
Menghitung Peluang dan Tantangan Amin di Jatim
Agustinus: Kasus Cak Imin “hanya” 20 M diusut padahal sudah 11 tahun, sedang kasus GOTO 5,6 Triliun yang saya laporkan ke KPK cuma ……
Tony Rosyid: Kemarahan SBY, Serius Atau Drama?
Salamuddin Daeng: Negara Terjebak Dalam Asap Dan Debu, Subsidi energy kotor semakin menggila
KRT Purbonagoro: Hotel Majapahit, Simbol Perjuangan Lintas Zaman
Daniel M Rosyid: Menyambut HUT ke-3, KAMI Reproklamasi, bukan Deklarasi Kemerdekaan
Zamal Nasution: Darurat Perkawinan Anak Di Indonesia (Bagian Pertama)
Pro Kontra Bacawapres Cak Imin
Daniel M Rosyid: Monopoli Radikal Partai Politik
No Responses
You must log in to post a comment.