Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi
Panggung kekuasaan nasional tengah berubah. Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang selama hampir satu dekade tampil sebagai sosok paling berpengaruh, perlahan mulai kehilangan daya kendali. Masa jabatan yang sudah berakhir tidak hanya memisahkan Jokowi dari kursi presiden, tetapi juga memudarkan cengkeramannya atas pemerintahan yang selama ini dikendalikan. Masa menjauh dari kekuasaan sudah mendekati 6 bulan dan akan terus menjauh, sementara disatu sisi kekuasaan Prabowo akan semakin bertambah sampai lima tahun mendatang. Ini menunjukkan bahwa panggung kekuasaan Jokowi juga akan semakin meredup.
Gejala meredupnya pengaruh Jokowi kini terlihat gamblang. Salah satu indikatornya adalah mulai dibatasinya ruang gerak orang-orang kepercayaan Jokowi di pemerintahan Prabowo mendatang. Bahkan yang lebih mencengangkan adalah berkumpulnya para oligarki di istana tanpa kehadiraan Jokowi disaat yang sama Hasyim adik Prabowo berkunjung ke Jokowi di Solo. Sinyal apakah ini ?
Runtuhnya Simbol Kekuatan Jokowi
Di antara nama besar loyalis Jokowi, Erick Thohir menjadi simbol paling nyata dari kekuatan yang kini mulai runtuh. Erick, Menteri BUMN sekaligus tokoh kunci dalam lingkaran ekonomi Jokowi, kini menghadapi situasi sulit setelah namanya dan sang adik, Boy Thohir, disebut dalam pusaran kasus korupsi Pertamina. Selain itu juga Budie Ari, loyalis Jokowi juga mulai diperiksa oleh Kepolisian dalam dugaan backing judi online semasa menjabat menteri informasi dan komunikasi
Dugaan korupsi pengadaan minyak mentah di Pertamina membuka kotak pandora yang selama ini tersembunyi rapat. Lebih jauh, langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) memanggil Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Komisaris Utama Pertamina, menjadi sinyal politik penting.
Pertanyaan pun muncul: mengapa Ahok dipanggil sekarang, di tengah transisi kekuasaan menuju Prabowo? Apakah Prabowo ingin membongkar warisan mafia migas era Jokowi, atau sekadar menunjukkan ketegasan menghadapi korupsi?
Ahok: Kunci yang Bisa Membuka atau Menutup Jaringan Mafia
Pemanggilan Ahok menandakan dua hal. Pertama, Ahok bisa menjadi saksi kunci untuk membongkar jaringan mafia migas yang selama ini diduga dilindungi kekuasaan. Posisi Ahok sebagai Komisaris Utama tentu memberinya akses terhadap berbagai informasi strategis, mulai dari jalur distribusi minyak ilegal hingga keterlibatan elite-elite besar di baliknya.
Jika Ahok mau bicara jujur, ini bisa menjadi pintu masuk Prabowo untuk membersihkan BUMN dari kepentingan lama yang menggerogoti keuangan negara. Prabowo dapat tampil sebagai presiden yang berani memutus rantai korupsi, sekaligus menunjukkan bahwa ia bukan “boneka” yang dikendalikan Jokowi.
Namun, skenario kedua bisa saja terjadi. Ahok, sebagai loyalis lama Jokowi, bisa memilih diam. Setia kepada Jokowi mungkin akan membuatnya enggan membongkar aib yang melibatkan nama-nama besar di lingkaran kekuasaan. Jika Ahok memilih jalan ini, Prabowo akan tahu bahwa sisa-sisa kekuatan Jokowi masih siap melawan balik, meskipun mulai melemah.
Pertarungan Politik di Balik Kasus Pertamina
Kasus Pertamina sejatinya lebih dari sekedar perkara korupsi. Ini adalah medan laga politik antara kekuatan lama dan kekuatan baru. Prabowo, yang selama ini seolah mengikuti alur politik Jokowi, kini mulai menunjukkan sikap independen.
Kejagung yang selama ini sering bergerak tegas terhadap kasus BUMN kini naik kelas dengan berani membuka kasus yang menyentuh inti kekuasaan Jokowi. Pertanyaannya: apakah ini gerakan murni hukum atau strategi politik Prabowo untuk mempreteli pengaruh Jokowi?
Jika langkah Kejagung ini berhasil sampai ke akar, maka Prabowo berhasil “membersihkan” jalur kekuasaannya dari cengkaman elite-elite lama. Tetapi jika hanya berhenti sebagai manuver simbolik, kasus ini bisa menjadi alat tekan politik belaka.
Jokowi dalam Posisi Dilema
Jokowi kini dihadapkan pada dilema besar. Jika membela Erick Thohir atau Ahok secara terbuka, ia akan terlihat melawan arus yang dibangun Kejagung dan Prabowo. Tetapi jika membiarkan kasus ini bergulir, nama baiknya dan warisan politiknya bisa hancur karena terungkapnya borok selama pemerintahannya.
Pilihan Jokowi kini sangat terbatas. Ia tidak lagi memiliki kekuatan politik penuh, bahkan di partai asalnya sendiri, PDIP. Dukungan Megawati dan PDIP lebih condong ke Ganjar Pranowo yang kalah di Pilpres. Jokowi seperti raja tanpa kerajaan, menunggu nasib ditentukan arus politik yang makin bergerak tanpa kendalinya.
Prabowo Menentukan Arah Sejarah
Kini, semua mata tertuju pada Prabowo. Jika ia serius mengusut tuntas kasus Pertamina, ia akan dikenang sebagai presiden yang memutus mata rantai korupsi lama. Ini akan menjadi modal politik besar, sekaligus pesan tegas bahwa era Jokowi benar-benar berakhir.
Namun, jika Prabowo memilih kompromi, membiarkan orang-orang Jokowi tetap bercokol di lingkar kekuasaan, maka pemerintahannya tidak lebih dari kelanjutan rezim lama dengan wajah baru. Harapan publik akan pembersihan BUMN dari mafia hanya menjadi pepesan kosong.
Pengaruh Jokowi Kian Memudar
Hari-hari ini, Jokowi benar-benar sedang menghitung hari, bukan saja menuju akhir masa jabatan, tetapi menghitung detik-detik terakhir dari pengaruh kekuasaannya yang semakin menjauh.
Di sisi lain, Prabowo berdiri di persimpangan sejarah: memilih menjadi pemimpin sejati yang membersihkan pemerintahan dari warisan korupsi, atau menjadi penerus setia oligarki yang telah mencengkeram negeri ini selama satu dekade terakhir.
Masyarakat Indonesia menunggu jawaban itu. Dan sejarah, tentu, akan mencatat siapa yang menang dan siapa yang ditinggalkan oleh zaman.
Surabaya, 13 Maret 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts
Skripsi dari Masa Depan, Dosen dari Dunia Khayal
Perumahan MBR, MBG dan Hilirisasi, Mengapa Pengusaha TerCuan di RI Belum Berkontribusi?
Jilal Mardhani: Prabowo (Bagian 1)
Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (46) : Revisi UU TNI tidak bertujuan untuk membangkitkan militerisme
Sekolah Rakyat Untuk Anak-Anak Miskin
Tanda dan Tidak Ada Kebetulan: Menyadari Campur Tangan Allah dalam Hidup Kita
Guncangan Ekonomi Memang Akan Terjadi
Dari Manusia Gelap Menuju Manusia Terang Benderang: Salah, Islah, Aslah, Maslahah
Militerisme di Indonesia
Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (45): Turun ke Lapangan Pastikan Kelancaran Pasokan dan Mudik Lebaran
No Responses