40 Hari Ajal Kekuasaan Jokowi: Pilgub Jakarta, Pelajaran untuk Prabowo

40 Hari Ajal Kekuasaan Jokowi: Pilgub Jakarta, Pelajaran untuk Prabowo
Isa Ansori



Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

27 November 2024, pelaksanaan pilkada serentak, menjadi medan pertarungan kekuasaan dibeberapa daerah. Pertarungan antara Koalisi Indonesia Maju Plus dengan calon calon yang diusung oleh PDIP. Dalam kalender Jawa, tanggal tersebut genap menunjukkan 40 hari ajal kekuasaan Jokowi. Ibarat jazad yang sudah terkubur, 40 hari akan memperlihatkan watak sejati sang jazad yang terkubur, kalau dia baik, maka dia akan muncul dengan pesan – pesan yang baik, sebaliknya kalau selama masa hidupnya sang jazad banyak berbuat dosa dan menyakiti hati orang lain, maka jazadnya akan bergentayangan menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang masih hidup. Ilustrasi inilah yang bisa menjadim petunjuk bagi kita bagaimana Jokowi selama 10 tahun memimpin Indonesia. Kalau tak merasa bersalah dan berdosa maka dia akan tenang dan nyaman menikmati masa istirahatnya sambil menggendong dan bermain dengan sang cucu, tapi ini tidak terjadi dengan Jokwi, justru semakin menjadi – jadi cawe cawenya, ambisi kekuasaanya dan bahkan terang terangan melawan PDIP yang pernah membesarkannya.

Kerasnya pertempuran itu terlihat didaerah Jawa Tengah, Daerah Khusus Jakarta dan Sumatra Utara. Koalisi Indonesia Maju Plus identik dengan cawe cawe Jokowi dan Prabowo. Pertarungan sangat nampak di tiga daerah, yaitu Jawa tengah, Jakarta dan Sumatra Utara. Di Jawa Tengah dan Sumut, pengaruh Jokowi dengan memanfaatkan sisa sisa kekuasaanya, masih mampu menggerakkan elemen negara yang disinyalir oleh kader PDIP, Deddy Sitorus dan Hasto Kristiyanto, Sekjed PDIP sebagai Partai Coklat yang merujuk pada aparat negara, namun di Pilgub Jakarta yang memenangkan pasangan Pramono Anung dan Rano Karno, calon dari PDIP yang didukung oleh Anies Baswedan, Jokowi mendapatkan perlawanan dari rakyat Jakarta, hal ini menjadi titik balik penting dalam politik nasional. Kemenangan ini menegaskan melemahnya pengaruh Jokowi yang pernah dianggap tak tergantikan. Sosok yang dahulu mendominasi panggung politik kini mulai tersisih, bahkan di wilayah yang pernah menjadi simbol kekuatannya: Jakarta.

Kemenangan ini tak hanya menjadi pukulan telak bagi Jokowi, tetapi juga memberikan pelajaran penting bagi Prabowo Subianto, yang kini memimpin di tengah dilema besar: bagaimana ia harus memperlakukan Jokowi di sisa-sisa masa berkuasanya?

Pilgub Jakarta: Simbol Merosotnya Pengaruh Jokowi

Pilgub Jakarta telah menjadi barometer kekuatan politik sejak lama. Ketika Anies Baswedan secara terbuka mendukung Pramono Anung dan Rano Karno, ini menunjukkan bahwa pengaruh Jokowi di lingkaran kekuasaan semakin pudar. Padahal, Jakarta adalah wilayah yang pernah menjadi panggung utama Jokowi saat memulai karier politik nasionalnya.

PDIP, yang sebelumnya menjadi rumah politik Jokowi, kini memanfaatkan momentum ini untuk mengonsolidasi kekuatan sekaligus menjadikan Jokowi sebagai simbol kegagalan. Langkah PDIP berkolaborasi dengan Anies sebagai sekutu strategis adalah bukti bahwa Jokowi tidak lagi relevan dalam pertarungan politik saat ini.

Pelajaran bagi Prabowo: Menimbang Warisan dan Beban Jokowi

Bagi Prabowo, situasi ini menyajikan dilema. Di satu sisi, Jokowi adalah presiden dua periode yang masih memiliki loyalis di berbagai level, termasuk birokrasi dan jaringan oligarki. Meminggirkan Jokowi secara frontal bisa menciptakan instabilitas politik yang tidak diinginkan.

Namun, di sisi lain, keberlanjutan Prabowo sebagai presiden bergantung pada bagaimana ia mampu menciptakan jarak dari warisan negatif Jokowi. Kegagalan dalam memutuskan hubungan ini dapat menghambat legitimasi Prabowo, terutama jika warisan Jokowi terus menjadi isu yang dimanfaatkan oleh oposisi seperti PDIP.

Kolaborasi Anies Baswedan dan PDIP: Strategi Keseimbangan Politik

Keputusan Anies mendukung Pramono-Rano memberikan pesan politik yang kuat: Anies tidak lagi terjebak dalam rivalitas lama, tetapi memanfaatkan momentum untuk melawan Jokowi. Dengan mendukung PDIP, Anies menunjukkan kecerdikannya dalam bermain strategi politik. Bagi Prabowo, ini adalah sinyal bahwa oposisi yang kuat dapat menjadi sekutu tak langsung jika Jokowi terus dilindungi.

Prabowo perlu memahami bahwa PDIP, yang kini berada di luar lingkar kekuasaan, dapat memainkan peran penting sebagai oposisi yang menjaga keseimbangan politik. Mempertahankan Jokowi di posisi aman hanya akan memperkuat narasi oposisi bahwa Prabowo adalah perpanjangan tangan dari kekuasaan Jokowi yang penuh dosa. Prabowo juga harsu waspada , bahwa banyak disekliling mereka bukanlah orang orang yang tulus loyal kepadanya, dengan memainkan sentimen kepada Anies dan mengadu domba antara Prabowo dengan kekuatan pengaruh Anies dan PDIP. Bukan tidak mungkin mereka punya agenda lain bukan untuk kepentingannya.

Dilema Prabowo: Menjaga Stabilitas atau Membuka Lembaran Baru

Prabowo menghadapi pilihan sulit. Jika ia terus memberi ruang bagi Jokowi, ia berisiko dianggap terlalu dekat dengan warisan politik yang telah kehilangan daya tariknya. Sebaliknya, jika ia terlalu cepat memutuskan hubungan, ia dapat memicu ketidakpuasan dari loyalis Jokowi yang masih berpengaruh.

Strategi terbaik bagi Prabowo adalah mengambil posisi moderat: membiarkan Jokowi menghadapi konsekuensi politiknya sendiri, sembari menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin yang berani menciptakan jarak dari dosa-dosa pemerintahan sebelumnya. Dalam situasi ini, Prabowo dapat memanfaatkan oposisi PDIP untuk memperkuat narasi perubahan tanpa harus kehilangan stabilitas politik.

40 Hari Paska Ajal Kekuasaan Jokowi

Kemenangan Pramono-Rano di Jakarta menandai akhir simbolis dari era Jokowi. Kekuasaan yang dulu dianggap tak tertandingi kini hanya menyisakan bayang-bayang dosa dan pengkhianatan. Bagi Prabowo, 40 hari ini bukan hanya tentang menyaksikan akhir dari kekuasaan Jokowi, tetapi juga tentang menentukan langkah strategis untuk memulai lembaran baru.

Pilgub Jakarta telah memberikan pelajaran penting: kekuasaan yang tidak dikelola dengan hati-hati akan kehilangan pijakannya. Prabowo harus belajar dari kesalahan Jokowi, menjauhi warisan yang penuh dosa, dan membangun pemerintahan yang benar-benar independen. Dengan cara ini, ia tidak hanya memastikan keberlanjutan pemerintahannya, tetapi juga menciptakan narasi politik yang mampu membebaskan bangsa dari bayang-bayang masa lalu.

Surabaya, 7 Desember 2024

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=