Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-2)

Geneologi Politik dan Kosmologi Politik Indonesia (Bagian-2)
Dr. Mulyadi (Opu Andi Tadampali), Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia



Oleh: Mulyadi (Opu Andi Tadampali)
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia

 

II. Republik Periode Awal

Periode yang saya jelaskan di sini adalah peralihan dari masyarakat yang terbelenggu ke periode masyarakat yang melepaskan diri dari ikatan bangsa dan negara leluhurnya yang menginginkan suatu kemerdekaan menyeluruh. Dari masyarakat terguncang selama era penjajahan ke periode awal Republik yang menjanjikan kemerdekaan dalam segala bentuknya. Suatu masyarakat selama ratusan tahun dipaksa hidup dalam alam penjajahan dari tangan ke tangan: kolonialisme VOC selama 197 tahun (1602-1799), imperialisme Belanda selama 142 tahun (1800-1942), dan pendudukan Jepang selama kurang lebih 3 tahun (1942-1945) beralih ke Republik pada 17 Agustus 1945.

Dalam langkahnya menuju kemerdekaan menyeluruh, Republik Nusantara lebih memilih desain sistem politik baru khas Nusantara daripada menduplikasi sistem politik negara-negara Barat, seperti Amerika, Inggris, dan Prancis. Dengan mendasarkan pada realitas politik dimana Republik sejatinya adalah negara baru (new state) hasil gabungan bangsa-bangsa lama (old nations) dan negara-negara lama (old states), sistem politik Republik Nusantara didesain khusus untuk kepentingan Kaum Republik. Langkah ini dipermudah oleh penerimaan masyarakat yang telah tergugah kecenderungan demokratisnya yang sudah lama tumbuh pada periode sebelum masa penjajahan Asing.

Dalam masa peralihan ini, virus oligarki, despotisme, dan feodalime terutama yang dibawa oleh kolonialisme dan imperialisme, sama sekali tidak diberi wadah untuk berkembang biak. Itu pencegahan paling efektif, sebab seperti sepasang rayap yang menemukan jalannya mencari makan di rumah tembok yang berlantai dasar keramik, maka lapuklah semua perabotan kayu yang ada di dalamnya. Sekali saja ketiga virus kekuasaan buruk (power over) itu menemukan cara masuk ke dalam politik, maka hancurlah demokrasi itu. Begitu pula dengan hukum keturunan (law of descent) yang menggandeng hukum pewarisan (law of heir) khas bangsa lama, juga tak diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dari tuduhan yang mengambil setting masa penjajahan.

Pertimbangannya tentu semata-mata karena hukum aristokratis ini diasumsikan telah terjangkiti virus oligarkis, despotisme, dan feodalisme yang memungkinkan segelintir orang memperoleh kekuasaan lebih besar dalam menentukan masa depan keluarganya. Di atas teritori yang dikosongkan itulah, Indonesia berdiri tegak dengan desain sistem politik Republik khas Nusantara (Republik Nusantara). Sistem politik ini betul-betul baru dan canggih hingga melampui konstruksi sistem politik negara manapun di dunia terutama sistem politik Barat, tempat lahirnya demokrasi baru lalu menyebar luas di era gelombang demokrasi ketiga. Dalam kalimat yang saya tidak lebih-lebihkan, sistem politik Republik Nusantara ini mengalahkan sistem politik negara-negara Barat yang sudah tumbuh ratusan tahun dari negara lama hingga bertransformasi menjadi negara modern. Inilah kelebihan desain sistem politik Republik Nusantara yang dibangun dalam suasana kebatinan yang sangat mendalam.

Salah satu kecanggihan sistem politik Republik Nusantara yang paling mengemuka adalah ia dirancang khusus untuk menjaga Republik agar tidak terperosok ke dalam pemerintahan mobokrasi, yaitu pemerintahan yang berada di tangan segerombolan orang-orang jahat (mobocratein) dengan terlebih dahulu mengubah demokrasi subtansial menjadi demokrasi perosedural untuk kendaraan kuda troya. Pemerintahan mobokrasi adalah pemerintahan kotor yang muncul setelah demokrasi dan pemilunya dibajak dan disandera oleh kawanan kaum oligarkis, despotis, dan feodal. Berbeda dengan sistem politik demokrasi Barat yang hanya memiliki dua struktur politik: infra-struktur politik dan supra-struktur politik, sistem politik Republik Nusantara dibuat menjadi empat lapis struktur politik: meta-struktur, super-struktur, supra-struktur, dan infra-struktur.

Mula-mula para pendiri negara mencari solusi agar seluruh warga Republik betul-betul berdaulat. Sebab, absurd berbicara kedaulatan rakyat kalau rakyat tidak berdaulat. Agar rakyat berdaulat, maka warga Republik yang memenuhi syarat memerintah harus terlibat langsung dalam proses politik. Pencarian ini menemukan solusi efektif dengan cara membuat sistem politik modern dalam pengertian yang lebih luas, yakni selain mendeskripsikan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, juga seluruh struktur politiknya harus mematuhi kaidah-kaidah diferensiasi struktural dan diferensiasi fungsional. Berikut saya padatkan penjelasan keempat struktur politik yang dimiliki sistem politik Republik Nusantara:

Pertama, meta-struktur politik berupa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Struktur paling puncak ini merefsentasikan kedaulatan rakyat sekaligus rakyat berdaulat, dimana rakyat menjelma ke dalam dirinya sendiri untuk secara langsung melaksanakan kedaulatannya sendiri dengan cara menetapkan pokok kekuasaan dan kebijakan yang paling fundamental. Melalui institusi ini, rakyat berdaulat memegang kekuasaan tertinggi pemerintahan negara dalam hal: (1) menjaga termasuk mengadendum Konstitusi bilamana sangat diperlukan; (2) memilih dan melantik Presiden-Wakil Presiden yang dipandang memenuhi syarat istimewa termasuk memberhentikannya bilamana melakukan perbuatan tercela: melanggar peraturan hukum dan norma-norma yang dianut masyarakat umum; (3) membuat peta jalan (roadmap) yang berisi garis-garis pokok kebijakan negara (GBHN) yang harus dijalankan oleh Presiden selaku mandataris politik, yakni pelaksana kekuasaan pmerintahan negara yang bersifat taktis saja. Ini adalah upaya pencegahan dini paling efektif agar Presiden bersama Kongres (DPR-Senat) tidak membelokkan maksud dan tujuan, serta cita-cita Republik.

Secara konseptual-teoritik dan aktual-empirik, institusi meta-struktur politik ini bukanlah sejenis institusi perwakilan politik yang sensitif terhadap narasi perwakilan politik dan keterwakilan politik. Melainkan institusi penjelmaan rakyat yang desainnya terdiri dari tiga unsur penjelmaan: (1) unsur penjelmaan warga negara, yang secara repsentatif diisi oleh anggota-anggota badan perwakilan rakyat (Kongres: DPR dan Senat) hasil pemilu berjalan. Sebagai anggota institusi perwakilan politik yang bergerak atas dasar mandat kedaulatan rakyat, orang-orang terpilih karena diasumsikan memiliki keinginan dan kemampuan dalam mewujudkan keterwakilan politik; (2) unsur penjelmaan negara-negara lama, yang secara repsentatif diisi oleh para raja/sultan Nusantara.

Secara historis dan politik, raja/sultan Nusantara tidak hanya menjadi bagian dari BPUPKI/PPKI sebagai Utusan Daerah dalam pendirian negara, tetapi di Istana Tampaksiring sebagai pemilik dan penyerah mandat politik (bisa ditarik kembali) kepada pemimpin Republik (Soekarno) untuk tugas memakmurkan seluruh warga Republik; (3) unsur penjelmaan bangsa-bangsa lama, yang secara repsentasi politik diisi oleh golongan-golongan dalam masyarakat, seperti golongan profesional dan fungsional lainnya. Golongan-golongan ini dipandang sebagai repsentasi politik dari bangsa-bangsa lama yang menjadi inti dari bangsa pribumi atau bangsa Indonesia asli.

Kedua, super-struktur politik berupa Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang secara repsentatif diisi oleh otoritas agama: para pemimpin semua agama. Kedudukannya di bawah istitusi penjelmaan rakyat (MPR) dalam tugas dan fungsi memberikan nasehat politik dan pertimbangan politik kepada supra-struktur politik: Presiden, DPR-DPD/Senat, dan MA, didasarkan pada otoritas religiusnya yang berkaitan kabajikan politik yang harus menjadi bagian hidup dari pejabat politik puncak.

Ketiga, supra-struktur politik berupa Presiden, DPR-DPD/Senat, dan MA, yang secara repsentatif diisi oleh otoritas sipil, yaitu pejabat politik atau pejabat yang diangkat oleh pejabat politik yang bertindak sebagai otoritas sipil: pejabat instititusi politik yang bergerak atas dasar mandat kedaulatan rakyat. Presiden bersama DPR-DPD/Senat menjalankan fungsi negara di bidang: (1) kesejahteraan (welfare), yang dibebankan kepada institusi birokrasi; (2) external security yang dibebankan kepada institusi kemiliteran; dan (3) intenal order, yang dibebankan kepada institusi kepolisian. Sedangkan MA menjalankan fungsi negara di bidang kebebasan (freedom) dan hukum (justice) yang dibebankan kepada institusi peradilan: kejaksaan dan kehakiman.

BACA JUGA:

Keempat, infra-struktur politik berupa lembaga-lembaga non-pemerintah, yang secara repsentatif diisi oleh partai politik, kelompok kepentingan, media, dan aktivis politik. Struktur politik paling bawah ini fungsinya sangat strategis karena menjalankan dua fungsi input politik, yakni: (1) input penolakan, yaitu aspirasi politik yang menolak kebijakan atau keputusan politik yang merugikan rakyat; dan (2) input penerimaan, berupa aspirasi politik yang menerima kebijakan atau keputusan politik yang menguntungkan rakyat. Kedua fungsi ini secara teknis dilaksanakan melalui lima fungsi input politik: (1) artikulasi politik; (2) agregasi politik; (3) sosialisasi politik; (4) komunikasi politik; dan (5) rekrutmen politik.

Dari keempat lapisan struktur sistem politik Republik terlihat jelas bagaimana kekuasaan: kewenangan, pengaruh, dan kekuatan hanya berpusat pada kedaulatan rakyat dan rakyat berdaulat. Secara sistemik, kekuasaan buruk (power over) yang ditandai oleh adanya penindasan, anti-kritik, anti-perubahan, status quo, korupsi telah dihindari sedemikian rupa dengan cara menghindari kemungkinan adanya kekuasaan berada di tempat yang sama dan orang-orang yang sama dalam sistem pemerintahan yang sangat sentralistik dan konsentralistik yang diperkuat oleh asas medebewing yang dipenuhi tendensi dan belas kasihan.

Bersambung …

Editor: Reyna




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=