Oleh: Mirza Muttaqien
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana universitas Airlangga
Idul Fitri adalah momen yang seharusnya diisi dengan kebahagiaan dan kebersamaan. Namun, bagi umat Muslim di Gaza dan Myanmar, tahun 2025 kembali menjadi ujian berat. Di tengah konflik berkepanjangan dan bencana alam, mereka merayakan hari kemenangan bukan dengan kemewahan, tetapi dengan keteguhan hati untuk bertahan hidup.
Di antara reruntuhan bangunan dan tenda pengungsian, suara takbir tetap berkumandang. Iman dan solidaritas menjadi satu-satunya kekuatan yang mereka miliki, mengingatkan dunia bahwa meski dalam penderitaan, harapan tidak pernah benar-benar padam.
Gaza: Takbir di Tengah Reruntuhan
Gaza masih terus diguncang serangan sejak Oktober 2023, dengan lebih dari 50.423 jiwa telah meninggal dan 114.638 lainnya mengalami luka-luka (Anadolu Agency, April 2025). Idul Fitri tahun ini pun tidak luput dari duka. Serangan udara yang terjadi pada pagi hari raya menewaskan sedikitnya 30 warga sipil, termasuk anak-anak yang baru saja menyelesaikan puasa Ramadan (The Guardian, April 2025).
Meskipun dihantui ketakutan, warga Gaza tetap melaksanakan shalat Id di tempat-tempat terbuka di antara puing-puing bangunan. Para ibu menyiapkan makanan sederhana untuk keluarga mereka, bukan sebagai pesta, tetapi sebagai bentuk rasa syukur karena masih diberikan kehidupan. Salah satu warga yang diwawancarai oleh Anadolu Agency mengatakan bahwa mereka tidak memiliki pakaian baru untuk Idul Fitri, tetapi keberadaan keluarga dan keselamatan menjadi hal yang lebih berharga (Anadolu Agency, April 2025).
Perdamaian dan keadilan bagi rakyat Palestina masih menjadi tuntutan global. Mantan Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam salah satu pidatonya menegaskan bahwa “perdamaian dan keadilan adalah hak setiap manusia,” tetapi hingga kini, hak tersebut masih jauh dari kenyataan bagi rakyat Gaza (Pidato Ban Ki-moon, 2016).
Myanmar: Gempa yang Memperparah Nestapa
Di Myanmar, umat Muslim—terutama Rohingya—menghadapi tantangan yang berbeda. Gempa bumi berkekuatan 7,7 SR yang mengguncang wilayah barat laut Mandalay pada 28 Maret 2025 menewaskan lebih dari 2.700 orang dan menghancurkan lebih dari 10.000 bangunan (People.com, April 2025). Bencana ini semakin memperburuk situasi pengungsi Rohingya yang telah lama hidup dalam keterbatasan.
Di kamp pengungsian Cox’s Bazar, Bangladesh, ratusan ribu pengungsi menjalani Idul Fitri dengan penuh kesederhanaan. Shalat Id dilakukan di tenda-tenda darurat, tanpa alas yang layak. Laporan dari World Food Programme (WFP) menunjukkan bahwa krisis pangan di kamp tersebut semakin memburuk, dengan banyak keluarga yang hanya bisa mengandalkan bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup (Laporan WFP, Maret 2025).
Direktur Eksekutif WFP, Cindy McCain, dalam sebuah pernyataan menegaskan bahwa kondisi di kamp-kamp pengungsian Rohingya semakin mengkhawatirkan. “Kita membutuhkan lebih banyak dukungan global untuk menyelamatkan nyawa,” ujarnya, menyoroti betapa gentingnya situasi yang dihadapi para pengungsi (Laporan WFP, Maret 2025).
Penderitaan Muslim Rohingya juga menjadi perhatian berbagai organisasi hak asasi manusia. Amnesty International dalam laporannya pada Februari 2025 menyatakan bahwa situasi pengungsi di Cox’s Bazar adalah salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia saat ini dan membutuhkan perhatian mendesak dari komunitas internasional (Laporan Amnesty International, Februari 2025).
Pelajaran Besar dari Gaza dan Myanmar
Dari Gaza dan Myanmar, kita belajar bahwa di tengah penderitaan, iman dan solidaritas menjadi kekuatan utama yang menopang kehidupan. Ketahanan spiritual memainkan peran besar dalam menghadapi cobaan berat. Meskipun dilanda perang dan bencana, umat Muslim di kedua wilayah ini tetap melaksanakan shalat Id dan beribadah dengan penuh ketulusan.
Selain itu, solidaritas global menjadi bukti bahwa penderitaan satu kelompok manusia seharusnya menjadi perhatian dunia. Bantuan kemanusiaan dari berbagai negara membuktikan bahwa kepedulian melampaui batas-batas geografis dan politik. Namun, meskipun bantuan terus berdatangan, kebutuhan di lapangan masih jauh lebih besar dibandingkan dengan sumber daya yang tersedia.
Idul Fitri bagi mereka bukanlah tentang kemewahan, tetapi tentang bertahan hidup dan menjaga harapan. Di Gaza, takbir yang dikumandangkan bukan sekadar simbol perayaan, tetapi juga pernyataan bahwa mereka tidak akan menyerah pada ketidakadilan. Sementara itu, di tenda-tenda pengungsian Rohingya, kebersamaan dengan keluarga adalah satu-satunya kemewahan yang tersisa.
Aksi Nyata: Bagaimana Dunia Bisa Membantu?
Menghadapi krisis kemanusiaan ini, ada banyak cara untuk membantu mereka yang terdampak. Donasi melalui lembaga kemanusiaan terpercaya seperti UNICEF, MER-C, dan Palang Merah Internasional dapat memastikan bahwa bantuan sampai kepada mereka yang membutuhkan.
Kesadaran global juga harus terus ditingkatkan melalui media sosial dan kampanye kemanusiaan. Amnesty International dalam laporannya menegaskan bahwa “media sosial memiliki peran besar dalam meningkatkan kesadaran dan menekan pemerintah untuk bertindak atas krisis kemanusiaan” (Laporan Amnesty International, Februari 2025).
Dukungan politik juga diperlukan agar konflik berkepanjangan dapat menemukan solusi damai. Advokasi yang kuat dan tekanan diplomatik dari masyarakat internasional dapat menjadi jalan untuk mengakhiri penderitaan yang telah berlangsung lama.
Cahaya Iman di Tengah Kegelapan
Di balik reruntuhan Gaza dan tenda-tenda pengungsian di Myanmar, cahaya iman dan harapan tidak pernah padam. Mereka tetap bertahan, beribadah, dan saling mendukung satu sama lain dalam keterbatasan.
Bagi mereka yang merayakan Idul Fitri dalam kedamaian dan kenyamanan, kisah ini adalah pengingat bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang berjuang untuk sekadar bertahan hidup. Idul Fitri bukan sekadar tentang pakaian baru dan hidangan lezat, tetapi tentang bagaimana kita bisa berbagi kebahagiaan dengan mereka yang membutuhkan.
Kemanusiaan tidak memiliki batas. Gaza dan Myanmar mungkin jauh secara geografis, tetapi penderitaan mereka adalah panggilan bagi hati nurani kita semua
EDITOR: REYNA
Related Posts
Makna Simbol: Analogi Pesawat Sasyuik dan Pencarian Manusia
Muhammad Chirzin: Israel Merajalela
Alumni Harvard Turun Gunung Membantu Alma Maternya Melawan Trump.
OPINI Ulrich Schlie: Kebangkitan pertahanan Jerman: Perspektif Bundeswehr
Sampai Kapan US$ Menguat Terhadap Rupiah?
ICMI: Dari Gagasan Menuju Gerakan, Dari Cendekiawan Menuju Pelayan Umat
Diskusi Psikologi Rakyat Konoha
Prabowo Adalah TNI Demokratis: Tanggapan Untuk Dhimam Abror Djuraid
Mau Dibawa Kemana Negara Ini Ketika Polri Ingkar Terhadap Konstitusi
Janji Gibran 19 Juta Lapangan Kerja, Realisasi Buka Moratorium Kerja di Arab Saudi
No Responses