Oleh: Jilal Mardhani
Anda memenangkan pemilihan Presiden kemarin dengan perolehan sangat meyakinkan. Sekaligus menyuguhkan kenyataan demokrasi Indonesia yang belakangan ini: semakin mampu meniadakan banyak kemustahilan. Termasuk pasangan yang mendampingi Anda.
Saya tak pernah mengira berpolitik di negeri ini begitu lentur dalam menegakkan prinsip dan nilai-nilai. Hal yang semula tak demikian. Seperti ketika Anda berpasangan dengan Megawati pada pemilihan 2009. Masyarakat Indonesia seakan ‘masih cukup waras’ untuk tak memilih kalian. Mungkin Megawati dan Anda dianggap sebagai pasangan ‘tak masuk akal’. Putri bung Karno itu baru sejak 10 tahun sebelumnya, leluasa berpolitik. Tak lagi dipersekusi maupun direpresi penguasa. Seperti era Suharto sebelumnya. Ketika Anda yang menikahi salah seorang putri beliau, menjadi bagian penting dan strategis dalam jaringan kekuasaannya yang ditopang penuh dwifungsi ABRI. Waktu itu, TNI masih satu naungan dengan Polri di sana.
Kekuasaan mertua Anda kemudian digulung Gerakan Reformasi 1998. Dia mundur diganti wakilnya, Habibie. Anda pun tersingkir dan mengasingkan diri ke luar negeri.
Indonesia mengalami pancaroba dengan niat kolektif untuk menata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara yang dituding telah melenceng jauh. Sentralisasi kekuasaan; budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme; serta kebijakan Dwifungsi ABRI merupakan bagian dari agenda utama, penting, dan strategis yang kita sepakati untuk segera mengakhirinya.
Penyelesaian sentralisasi dilakukan melalui penguatan fungsi dan peran legislatif. Juga kebijakan desentralisasi yang dibarengi ikhtiar otonomi daerah seluas-luasnya. Lalu UU Tipikor dan pembentukan KPK untuk memberantas KKN. Sementara TNI dikembalikan ke barak dan dipisahkan dengan Polri.
Di masa euforia itu, masyarakat kita sejatinya masih berfikir sangat sederhana. Pada umumnya segera kembali beraktivitas seperti biasa dan menyerahkan hampir begitu saja urusan penataan kehidupan berbangsa dan bernegara kepada partai-partai politik yang berkembang subur bak cendawan di musim hujan. Bagaimana pun, kebijakan represi Orde Baru selama lebih dari 3 dekade sebelumnya telah membangun perilaku bahkan budaya ‘berhati-hati’ yang berlebih. Jika kita tak ingin mengatakannya sebagai wujud ‘ketakutan’ massal. Sebab sebelumnya, menentang bahkan sekedar mengkritik kebijakan pemerintah kerap diancam sebagai perbuatan subversif.
Kesederhanaan itu kemudian disempurnakan oleh taraf kehidupan ekonomi dan pendidikan yang relatif masih rendah. Sehingga tak menyisakan cukup ruang bagi mereka untuk ketat mengawal perkembangan politik yang justru sedang marak-maraknya.
Singkat kata, hanya dalam waktu kurang dari lima tahun. Simpati dan dukungan mereka terhadap kepemimpinan sipil mulai meluntur. Bahkan Megawati yang tercatat sebagai salah seorang tokoh sentral Gerakan Reformasi — bersama Gus Dur, Amin Rais, dan Sultan Hamengkubuwono X — dengan mudah disingkirkan SBY saat pemilihan presiden secara langsung pertama kali kita selenggarakan tahun 2004.
Kekecewaan masyarakat terhadap sepak terjang dan pertikaian politikus sipil dalam memperebutkan kekuasaan, termasuk etika publik yang leluasa dpertontonkan media massa yang tak lagi terkekang, menopang keberhasilan SBY yang pensiunan Jenderal TNI AD, bersama pendukungnya, membangun citra antithesa dan positif.
Menurut hemat saya, menjadi pasangan Megawati ketika Pilpres 2009 adalah kekeliruan besar Anda.
[bersambung]
EDITOR: REYNA
Related Posts
Makna Simbol: Analogi Pesawat Sasyuik dan Pencarian Manusia
Muhammad Chirzin: Israel Merajalela
Alumni Harvard Turun Gunung Membantu Alma Maternya Melawan Trump.
OPINI Ulrich Schlie: Kebangkitan pertahanan Jerman: Perspektif Bundeswehr
Sampai Kapan US$ Menguat Terhadap Rupiah?
ICMI: Dari Gagasan Menuju Gerakan, Dari Cendekiawan Menuju Pelayan Umat
Diskusi Psikologi Rakyat Konoha
Prabowo Adalah TNI Demokratis: Tanggapan Untuk Dhimam Abror Djuraid
Mau Dibawa Kemana Negara Ini Ketika Polri Ingkar Terhadap Konstitusi
Janji Gibran 19 Juta Lapangan Kerja, Realisasi Buka Moratorium Kerja di Arab Saudi
No Responses