Makna Persahabatan

Makna Persahabatan



Oleh: Muhammad Chirzin

Sahabat artinya sejawat, kawan, teman, ikhwan. Persahabatan artinya perkawanan dan pertemanan. Sebuah silaturahmi yang mengandung keakraban, keramahan, dan kehangatan yang menyenangkan serta membahagiakan.
Al-Quran mengapresiasi persahabatan dengan berpesan agar setiap orang berbuat baik, termasuk kepada sahabat karib.

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS An-Nisa`4:36)

Allah swt memerintahkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtua, lemah lembut dalam berbicara, taat dan patuh, menyayangi dan berbakti. Setelah itu berbuat baik kepada sanak kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat maupun jauh, dan berbuat baik serta menghormati teman seperjalanan dan perdagangan atau dalam kegiatan apa pun. Mereka teman yang harus dipenuhi hak-haknya sebagai sahabat. Demikian pula kepada musafir yang kehabisan bekal dan para pembantu. Pertemanan itu bukan di dunia saja, melainkan sampai di akhirat.

“Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa`4:69)

Dalam khazanah Al-Quran terdapat persahabatan guru-murid, antara Nabi Khidhir dengan Nabi Musa, Nabi Musa dengan pemuda, Nabi Isa dengan hawariyyun, dan Nabi Muhammad saw dengan para sahabat, khususnya Abu Bakar.

Ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya, “Aku takkan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan terus sampai bertahun-tahun.” Tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu ikannya melompat mengambil jalan ke laut. Setelah mereka berjalan lebih jauh, Musa berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita. Sungguh kita telah letih karena perjalanan kita ini.” Muridnya menjawab, “Tatkala kita berlindung di batu tadi, ikan itu melompat dan mengambil jalan ke laut aneh sekali.” Aku lupa menceritakan tentang ikan itu. Tak ada yang membuat aku lupa kecuali setan. Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula dan bertemu Nabi Khidhir.

Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kauajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Khidhir menjawab, “Kamu takkan sanggup sabar bersamaku, karena kamu belum punya cukup pengetahuan tentang itu.” Musa berkata, “Insya Allah aku sabar dan takkan menentangmu sesuatu pun.” Dia berkata, “Jika kamu mengikutiku, janganlah menanyakan apa pun, sampai aku terangkan kepadamu.”

Tatkala keduanya menaiki perahu Khidhir melubanginya. Musa berkata, “Mengapa kaulubangi perahu itu, akibatnya penumpang akan tenggelam? Sungguh, kamu telah melalukan kesalahan besar.” Khidhir berkata, “Bukankah aku telah berkata, kamu takkan sabar bersama denganku?” Musa berkata, “Janganlah menghukum aku karena aku lupa dan jangan pula beri kesulitan dalam urusanku.”

Maka berjalanlah keduanya, hingga berjumpa dengan seorang anak dan Khidhir pun membunuhnya. Musa berkata, “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih? Sungguh, kamu melakukan suatu kemungkaran.” Khidhir berkata, “Bukankah sudah kukatakan, kamu takkan dapat sabar bersamaku?” Musa berkata, “Jika aku bertanya lagi, jangan kau perbolehkan aku menyertaimu.”

Maka keduanya berjalan hingga sampai di perkampungan dan minta dijamu, tetapi penduduk kampung itu tak mau menjamu. Keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh lalu Khidhir menegakkannya. Musa berkata, “Jikalau mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.”

Khidhir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dan kau. Akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kau tak dapat sabar. Bahtera itu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut. Aku merusaknya, supaya raja yang lalim tidak merampasnya. Anak muda itu orangtuanya mukmin. Dia akan mendorong keduanya pada kesesatan dan kekafiran. Tuhan hendak mengganti dengan anak yang lebih suci dan sayang kepada mereka. Adapun dinding rumah itu kepunyaan anak yatim yang ayahnya saleh. Di bawahnya harta benda simpanan bagi mereka berdua. Tuhan menghendaki agar mereka mencapai dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari-Nya. Aku melakukannya bukan menurut kemauanku sendiri…” (Al-Kahfi/18:60-82)

Persahabatan Nabi Isa as dengan pengikutnya terungkap dalam penutup QS ash-Shaff, “Hai orang-orang beriman, jadilah penolong agama Allah, sebagaimana ketika Isa putra Maryam berkata kepada pengikutnya, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk menegakkan agama Allah?” Pengikut-pengikutnya yang setia itu berkata, “Kamilah penolong-penolong agama Allah,” lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan yang lain tidak. Maka Allah berikan kekuatan kepada orang-orang beriman atas musuh-musuh mereka, lalu mereka menang.”

Persahabatan Nabi Muhammad saw dengan Abu Bakar diabadikan dalam Al-Quran sebagai berikut. “Jikalau kalian tidak menolong Muhammad, maka sesungguhnya Allah telah menolongnya, yaitu ketika orang-orang kafir, musyrikin Mekah, mengeluarkannya dari Mekah, sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah berduka cita, sungguh, Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan keterangan kepada Muhammad dan membantunya dengan tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah/9:40)

Dalam sejarah Islam, terdapat persahabatan antara Ibnu Taimiyyah dengan murid-muridnya, antara Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta antara Muhammad Abduh dengan Muhammad Rasyid Ridha, antara HOS Cokroaminoto dan Bung Karno.

Sebagai ulama, Ibnu Taimiyyah (1263-1328 M) memiliki pengetahuan luas di bidang akidah, ibadah, akhlak, tasawuf, tafsir Al-Quran, hadis, ekonomi, politik dan filsafat. Di antara murid-murid Ibnu Taimiyyah yang terkemuka ialah Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan Ibnu Katsir. Ibnu Qayyim mengembangkan ilmu gurunya dengan menyusun kitab Madarij as-Salikin, sedangkan Ibnu Katsir terkenal dengan kitab Tafsir al-Quran al-‘Azhim atau Tafsir Ibnu Katsir.

Jamaluddin al-Afghani, tokoh pemersatu umat Islam abad 19 dengan gerakan Pan-Islamisme, didukung Muhammad Abduh yang setia dengan idenya. Untuk menggelorakan semangat umat Islam, mereka menerbitkan majalah Al-‘Urwatul Wutsqa – ikatan tali yang amat kuat. Meskipun hanya terbit beberapa edisi, majalah tersebut berhasil membangkitkan kesadaran umat Islam untuk membebaskan diri dari penjajah.

Salah seorang murid terbaik Muhammad Abduh di Universitas Al-Azhar Mesir adalah Muhammad Rasyid Ridha. Tertarik dengan kuliah-kuliah tafsir Muhammad Abduh, Rasyid Ridha mencatat kuliah-kuliahnya, lalu mengkonsultasikan dan memuatnya di majalah Al-Manar, hingga terhimpun menjadi kitab Tafsir Al-Manar.

HOS Cokroaminoto, tokoh karismatik pergerakan nasional Syarikat Islam dengan pemikiran sosialisme Islam, memiliki murid Soekarno dan lain-lain. Mereka intensif mendiskusikan isu-isu kebangkitan nasional dan internasional. Dari Cokroaminoto Soekarno belajar berpidato dan paham Islam militant.

Para guru dari masa ke masa melahirkan murid-murid yang hebat, dan para murid mengharumkan nama guru-gurunya. Persahabatan guru dan murid mengingatkan pada kata-kata Nietszche, “Kebanggaan guru yang paling besar adalah jika muridnya melebihi dirinya.”

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=