Oleh : Dr. Anton Permana
(Pengamat Geopolitik Pertahanan, Tanhana Dharma Mangruva Institute)
Sebenarnya tidak ada pembatasan khusus antara entitas sipil dengan militer, ataupun entitas demokrasi dalam sistem Politik di Indonesia. Namun yang membuat tiga entitas ini seakan berbeda dan berkonflik adalah “kepentingan” sekelompok elit yang memanfaatkan narasi entitas itu demi kepentingan kelompoknya.
Entitas sipil dan militer, dan konsepsi doktrin pertahanan kita sesuai yang termaktub dalam pasal 30 UUD (ayat) 1 UUD 1945 ; “ Sistem Pertahanan Negara Indonesia adalah Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat semesta (Sishankamrata)”.
Dimana dalam kondisi darurat perang maupun non-perang, rakyat bersatu padu menggunakan seluruh sumber daya nasionalnya untuk mempertahankan kedaulatan negara. Artinya, seharusnya doktrin ini menyatukan antara rakyat dan militer (TNI) dalam kondisi apapun. Maka lahirlah istilah “Bersama Rakyat, TNI Kuat”.
Doktrin TNI berasal dari rakyat untuk rakyat ini tidaklah lahir begitu saja. Ada faktor sejarah yang melahirkannya. Dan inilah yang membedakan antara kedudukan militer dalam kehidupan bernegara kita. Karena, Indonesialah negara satu-satunya yang memerdekakan diri melalui perjuangan bersenjata rakyatnya dari Sabang sampai Merauke.
Dan entitas militer ketika itu belum ada. Baru berupa pasukan milisi, laskar-laskar perjuangan rakyat dari kelompok Islam seperti salah satunya Hizbullah. Setelah merdeka, barulah bangsa Indonesia lahir dan diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemudian pemerintahan dan konstitusinya dibentuk pada tanggal 18 Agustus 1945, barulah Badan Keamanan Rakyat (BKR), lalu berubah nama jadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dibentuk sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Kemudian TKR bermetamorfosis lagi menjadi TRI, ABRI, dan sekarang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Artinya, ada faktor sejarah yang mendasar antara posisi kedudukan institusi militer di Indonesia dengan negara lain, yang mayoritas kemerdekaan dan pembentukan militernya dibuat oleh negara lain yang menjajahnya alias “Given”.
Begitu juga dalam kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia. Sebagai negara besar dan majemuk yang hidup di tengah hutan belantara dunia global. Tentu tidak bisa lepas dari pengaruh perang hegemoni antara negara besar di dunia blok barat dan timur secara garis besar. Militer sebagai institusi negara yang berfungsi sebagai alat pertahanan negara, tentu tidak bisa lepas dari konflik kepentingan politik yang terjadi. Baik global maupun lokal.
Di era Soekarno, ketika beberapa kali terjadi antara konflik antara pemerintahan pusat dan daerah, entitas militer kerap juga dijadikan sebagai penyelesaian akhir, seperti konflik dengan PRRI, DI/TII, dan Parmesta.
Begitu juga sebaliknya, ketika terjadi pemberontakan dan kudeta berdarah pada tahun 1965 oleh PKI, akhirnya juga militer yang akhirnya terdepan dan turun menumpas bersama rakyat.
Tidak hanya untuk konflik lokal, ketika terjadi agresi militer Belanda baik I dan II, pasukan militer Indonesia yang masih muda belia, bersama rakyat bersatu padu melakukan perlawanan dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan meski tak terhitung harta, dan jiwa yang menjadi korban.
Berbeda dengan era Orde Baru. Pak Harto, justru menjadikan militer sebagai tulang punggung penggerak dan stabilisator kekuasaannya hingga bertahan 32 tahun lamanya. Militer masuk dalam sistem kekuasaan pemerintahannya. Sejak itulah, terjadi pro dan kontra tentang keterlibatan militer dalam kehidupan bernegara kita.
Ada yang pro, karena ketika itu negara ini masih rapuh dan rentan untuk kembali dikuasai gerakan komunis (PKI) yang sangat terlatih dan sistematis, dan kekuatan yang bisa untuk melawan dan menetralisir ancaman traumatik PKI ini hanya militer (ABRI ketika itu). Makanya Soeharto menjadikan ABRI menjadi pilar utama kekuasaanya.
Begitu juga yang kontra. Atas nama demokrasi, menganggap itu adalah “haram” dalam kehidupan demokrasi. Karena militer kerap dijadikan alat kekuasaan dan melakukan pelanggaran HAM. Sebagaimana standar ini juga digunakan terhadap Saddam Husein di Irak, Khadafi di Libya, atau beberapa negara lainnya dengan istilah pemerintahan diktatorian. Sehingga akhirnya pemerintahan Orde Baru dilengserkan dan lahirlah era Reformasi. Dan sejak itu jugalah, konflik dan dikotomi istilah sipil versus militer selalu panas diperdebatkan.
Dari rangkaian sejarah dan peta konflik kepentingan yang terjadi ini, tentu sebagai anak bangsa yang baik kita mesti jeli mencermati secara objektif. Bagaimana memahami urgensi kata sipil, militer, dalam kehidupan berdemokrasi kita hari ini. Seperti :
1. Secara doktrin dan amanat konstitusi, secara tegas dinyatakan bahwa : Militer adalah alat pertahanan negara, penjaga kedaulatan negara. Dengan konsep Sishankamrata, dimana dalam kondisi apapun rakyat dan TNI (militer) harus tetap bersatu. Dan sistem ini sudah terbukti “ampuh” serta teruji. Ketika menghadapi beberapa kali agresi militer asing dan mengatasi pemberontakan dalam negeri.
2. Dari faktor sejarah dan kedudukan, posisi TNI (militer-red) Indonesia jauh berbeda dengan negara lain. TNI dilahirkan dari rahim rakyat, dibentuk oleh rakyat. Untuk rakyat bukan kekuasaan.
3. 27 tahun reformasi, telah merubah wajah militer Indonesia secara luar biasa dalam azas Supremasi Sipil. Sehingga, TNI adalah institusi yang paling dipercaya masyarakat. Artinya, tak ada alasan lagi untuk membenci TNI.
4. Perlu kesepakatan dan pemahaman bersama kembali, tentang memahami posisi kedudukan militer dalam kehidupan demokrasi. Karena ada gap tajam antara pemahaman kelompok yang pro dan kontra. Nah gap ini terjadi karena basic cara pandangnya yang jauh berbeda. Bagi yang anti militer, selain traumatik masa lalu (Orde Baru), kelompok ini menganggap militer tidak bisa masuk dalam sistem demokrasi sipil. Biarkan kelompok sipil saja yang berpolitik.
5. Sedangkan kelompok yang pro militer. Melihat dari sudut dan kaca mata geoplitik serta inteligent. Bahwasanya, perang saat ini adalah perang moderen yang tidak lagi gunakan kekuatan senjata saja. Tetapi pakai strategi perang non-fisik menggunakan “proxy” (agen2) untuk mempengaruhi kebijakan negara untuk kepentingan asing. Dan militer harus tetap hadir dalam politik negara untuk melakukan tindakan cegah dini, tangkal dini. Namun tetap tunduk pada azas supremasi sipil. Karena perang yang dahsyat dan mematikan itu adalah perang non fisik tadi (asymmetric war).
6. Kita semua sepakat menjadikan Demokrasi sebagai sistem politik negara kita. Tetapi bukan berarti menjadikan demokrasi seolah jadi agama. Demokrasipun seharusnya juga mesti tetap kita awasi dan koreksi, pelaksanaannya. Karena, banyak terjadi di negara lain, demokrasi justru dijadikan sebagai instrumen dan standar ganda alat kekuasaan.
7. Konflik sipil dan militer ini terjadi, karena ada perbedaan algoritma politik kepentingan. Khususnya bagi kelompok radikal kiri (komunis) dan kanan (Islam jihadis) di Indonesia. Karena di era Orde Baru, dua kelompok ini dianggap jadi ancaman bagi kedaulatan negara. Sehingga kerap mendapat perlakuan keras dari militer.
8. Traumatik dua kelompok di atas inilah, yang dimanfaatkan oleh kelompok liberal. Karena dalam pemahaman ideologi liberal yang menjadikan Demokrasi seolah sebagi agama, kehadiran militer sangat mengancam eksistensi mereka. Makanya militer harus dibuang jauh keluar dari pusaran kekuasaan. Caranya dengan melakukan propaganda dan agitasi menyulap “militer” menjadi “monster” yang menakutkan, melalui sihir narasi narasi propaganda serta memanfaatkan tangan tangan dendam kelompok kiri dan kanan untuk bersama membunuh karakter TNI di mata masyarakat.
Segitiga kepentingan inilah yang sedang terjadi dan bergulat dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Ada kelompok yang traumatik dan anti kehadiran TNI dalam kekuasaan, karena merasa terancam dan tahu bahwa kehadiran militer pasti akan menghambat agenda agenda “terselubung” selama ini yang sudah mereka nikmati dan kuasai.
Padahal, bagi yang pro, TNI hanya hadir untuk politik negara semata, yang wajib tunduk pada azas supremasi sipil, dan tidak bisa masuk dalam politik praktis. Toh, hak politik TNI untuk memilih dan dipilih juga tidak ada.
Hal inilah yang mesti kita luruskan kepada masyarakat, agar tidak mudah dihasut untuk membenci TNI dan menjadikan TNI seolah jadi monster menakutkan. Kan lucu, ketika semua negara maju dan kuat karena militer, hampir semua negara maju warga negaranya karena ikut wajib militer, di Indonesia mau disihir bahwa militer itu seolah jahat. Wallahu’alam.
Salam Indonesia Jaya
Duren Sawit, 05 Mei 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts
Muhammad Chirzin: Pesan Kearifan Semesta
Sufmi Dasco, Senopati politik Prabowo Subianto (47): Danantara akan menjadi lembaga investasi penting bagi motor penegakan ekonomi di Indonesia
Rahasia Potensi Diri Yang Akan Terjadi
Muhammad Chirzin: Bekal Haji 2025
Fungsi dan Isi Pikiran Bawah Sadar (2)
Anton Permana: Prabowo Diantara Dua Mata Pisau
Fungsi Dan Isi Pikiran Bawah Sadar
Berbagi motivasi di Hari Pendidikan Nasional: Proses Terwujudnya Garis Nasib
Bijak Berdoa
Mengungkap Potensi Diri Yang Tersembunyi: Hati adalah magnet dahsyat pengundang “nasib” kehidupan
No Responses