Mendadak muncul “Ijazah JkW”, Diuji ilmiah dengan ELA. Hasilnya …?

Mendadak muncul “Ijazah JkW”, Diuji ilmiah dengan ELA. Hasilnya …?
Hasil analisis ELA. (Foto: Istimewa) Dengan menganalisis distribusi error dalam gambar, maka metode ini membantu membedakan (antara) gambar asli dari gambar hasil editan atau yang dihasilkan komputer.



Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes

Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen

 

Hari-hari ini masyarakat Indonesia, khususnya Netizen +62, gempar karena setelah ditunggu-tunggu selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sampai berkali-kali dilakukan upaya menghadirkannya secara resmi berdasar hukum fornal di beberapa sidang pengadilan tidak kunjung berhasil, mendadak bak diorkestrasi (baca: digerakkan / diperintah oleh tangan-tangan tertentu), serempak muncul foto “Ijazah JkW” yang disebut-sebut oleh penyebarnya sebagai “asli”. Para penyebar foto di berbagai platform socmed, utamanya di X / Twitter tersebut, sebenarnya sangat mudah ditebak dari mana asalnya.

Mereka adalah para Ceboker (ini Istilah Netizen sekarang untuk para BuzzerRp yang kerjaannya memang untuk melakukan “cuci piring” atau klarifikasi atas issue-issue tertentu) dan mayoritas juga berasal dari kader politik satu partai yang sempat disebut juga salah input mendadak digelembungkan suaraya saat Pemilu 2024 lalu, meski tetap saja gagal masuk Parlemen. Lucunya gerakan “publikasi terpimpin” ini seperti kompak (diperintah) dilakukan mereka sesaat setelah ada pertemuan “Gang Solo” pada awal Hari Raya Idul Fitri kemarin, bahkan dengan disertari ada statemen dari L4 (Loe lagi, loe lagi) bak pahlawan kesiangan yang melakukan pembelaan membabi buta pada bekas presidennya itu. Tentu kata “membabi buta” ini tidak ada hubungannya dengan teror Ndhas Babi yang anehnya sampai hari ini juga tidak jelas pengusutannya, Terwelu.

Bagaimanapun juga munculnya foto yang berusaha disebut-sebut dan mau diyakinkan sebagai “Ijazah JkW” memang cukup membagongkan, karena seperti digunakan untuk menjawab kasus Ijazah Palsu yang kembali viral sebulan terakhir pasca bisa disampaikan novelty (= kebaruan) oleh Dr.Eng Rismon Hasiholan Sianipar, S.T, M.T, M.Eng (RHS) dengan memotret secara langsung “Buku Skripsi” di Perpustakaan Fak Kehutanan UGM baru-baru ini, sekaligus menegaskan kembali Analisis saya 5 tahun silam tentang penggunaan Font baru Times New Roman yang jelas belum lazim dipakai pada pertengahan tahun 80-an, tepatnya tahun 1985 saat “Skripsi” dan “Ijazah JkW” itu dibuat.

Detailnya, Selasa, 25/02/20 dalam Akun X / Twitter @KRMTRoySuryo2 pukul 13.27 WIB, dapat dicek di link x.com/KRMTRoySuryo2/status/1232190348916453377 saat itu menampilkan 4 (empat) lampiran, masing-masing Halaman “Buku Wisuda” tahun 1985 dengan foto orang yang diaku sebagai JkW, Copy “Ijazah JkW” yang tidak pernah bisa dibuktikan keasliannya hingga saat ini, Skrinsut dari laman Online Public Acess Catalog (OPAC) opac.lib.ugm.ac.id dan tentu saja Sampul luar berikut “Halaman pengesahan” yang sama dengan hasil hipotesis RHS yang dikemukakan belakangan ini.

Cuitan saya 5 tahun lalu itupun memperkuat postingan sehari sebelumnya (Senin, 24/02/20 14.43 WIB) di link x.com/KRMTRoySuryo2/status/1232209584216920065 yang juga berisi 4 (empat) lampiran, masing-masing adalah Foto “Drs. JkW” (bergelar “Drs”) saat kunjungan di Pabrik Sritex bersama Alm. HM Lukminto 20/09/06, Foto dengan titel “Ir. JkW” bersama pak FX Hadi Rudiyatmo, “Akta Kelahiran JkW” -seharusnya 1961- yang baru dibuat tahun 1988 (?) dan Skrinsut DetikCom tahun 2017 yang memberitakan pergantian nama “Mulyono jadi JkW”. Sebagaimana hipotesis RHS kemarin, saat itupun sudah saya sampaikan detail semua temuan yang ada, termasuk soal Font / Huruf yang digunakan. Dalam berbagai Seminar maupun Diskusi Aktivis beberapa tahun terakhir pun, Analisis ini kerap saya sampaikan dan paparkan secara terbuka ke publik.

Sebagaimana hal teknis dan ilmiah yang biasa dilakukan untuk meneliti keabsahan foto atau dokumen yang (mendadak) beredar seperti “ijazah JkW” tersebut, menarik apa yang disentil oleh Dr. Tifauzia Tiasumma / Dr. Tifa (DRT) melalui X / Twitter kemarin (Kamis, 03/04/25 pukul 19.41) yang tertarik dengan Analisis ELA (Error Level Analysis) yang dikemukakan oleh akun @doxsint (Doxsint.pl) 8 jam sebelumnya yang disebutnya “the will answer the question” (= akan menjawab pertanyaan) soal Foto “Ijazah JkW” yang viral lagi ini. Analisis keaslian Foto / Dokumen menggunakan metode ELA ini memang bisa menjadi solusi jitu menjawab pertanyaan masyarakat tentang keabsahan Foto “Ijazah JkW”, apakah memang benar bisa dipertanggungjawabkan otentifikasi nya atau tidak.

Teknik ELA ini pertama kali diperkenalkan oleh Neal Krawetz, seorang pakar keamanan dan forensik digital. Krawetz memperkenalkan konsep ini 18 tahun lalu (2007) dalam blog forensik digitalnya dan dalam berbagai presentasi terkait keamanan digital. Sejak saat itu, ELA digunakan secara luas dalam investigasi forensik gambar, analisis hoaks, serta untuk mengidentifikasi gambar yang telah dimanipulasi dalam berbagai kasus hukum dan jurnalistik.Teknik ELA bisa membantu mengidentifikasi area dalam gambar yang telah diedit atau diubah dengan cara menganalisis perbedaan tingkat kesalahan kompresi di berbagai bagian gambar. Prinsip utama ELA adalah bahwa gambar yang asli (tanpa manipulasi) akan memiliki distribusi tingkat kesalahan yang relatif merata setelah dikompresi ulang. Sebaliknya, gambar yang telah diedit akan menunjukkan perbedaan tingkat kesalahan yang signifikan di area yang telah dimanipulasi.

Hasil kajian ELA akan membuat semacam “Peta Error Level” dimana Gambar yang menunjukkan perbedaan tingkat kesalahan dengan warna atau kontras tinggi di area yang mengalami manipulasi. Dengannya didapatkan indikasi Keaslian Gambar untuk mengidentifikasi apakah sebuah gambar telah diedit atau merupakan hasil asli dari kamera. ELA bisa melakukan Deteksi Area yang Dimanipulasi dengan Menunjukkan bagian gambar yang memiliki tingkat kompresi berbeda, yang bisa mengindikasikan proses editing seperti penempelan objek, penghapusan elemen, atau perubahan lainnya.

Beberapa parameter utama dalam ELA efektif atau cocok untuk gambar dengan format JPEG (Joint Photographuc Expert Group) seperti “Ijazah JkW” ini karena kompresinya menghasilkan perbedaan error level yang dapat diukur dan bisa menguji gambar yang dikompresi ulang untuk menghasilkan versi referensi yang dibandingkan dengan gambar asli. Perbedaan antara gambar asli dan versi yang dikompresi dianalisis untuk melihat area dengan perubahan tingkat kesalahan yang tidak wajar. Hasilnya ada dalam “Peta Warna ELA” dimana: Warnanya menunjukkan perbedaan error level: Warna seragam menandakan area yang belum diedit sedangkan Kontras tinggi / bercak terang menunjukkan Indikasi area yang telah dimodifikasi.

Disini saya gunakan 2 (dua) sampel Foto dengan masing-masing 2 varian (Foto asli dengan separuh hasil ELA dan seluruhnya hasil ELA). Pertama adalah Ijazah Asli UGM milik saya sendiri (tahun 1991) yang bisa dipastikan 100% keasliannya yang memiliki distribusi error yang lebih seragam karena seluruh piksel mengalami kompresi dengan pola yang mirip. Kedua adalah foto “Ijazah JkW”” (yang disebut tahun 1985 ?) dimana jika , gambar tersebut dibuat menggunakan perangkat lunak Computer Generated Imaging (CGI) atau AI-generated images alias yang telah diedit, maka menunjukkan pola error yang tidak konsisten. Hal ini karena area yang dimanipulasi memiliki tingkat kompresi yang berbeda dari bagian lain dalam gambar.

Kesimpulannya, Ijazah Asli UGM (1991) memiliki tingkat error yang seragam di seluruh gambar (karena seluruh gambar dihasilkan secara digital) sedangkan Foto “Ijazah Jkw” (1985 ?) tidak menunjukkan pola kompresi alami yang khas dari gambar asli dan malah menunjukkan ketidakwajaran dalam transisi antara objek dan background. Jadi ELA ini penting untuk analisis forensik gambar guna mendeteksi manipulasi digital. Dengan menganalisis distribusi error dalam gambar, metode ini membantu membedakan gambar asli dari gambar hasil editan atau yang dihasilkan komputer. Masih mau mengelak dengan cara bagaimana lagi? Tetap harus #AdiliJokowi dan #MakzulkanFufufafa jika tidak ingin #IndonesiaGelap …

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=