Menyewa Hidup: Apakah Kita Siap Menjadi Budak dalam Dunia Tanpa Kepemilikan?

Menyewa Hidup: Apakah Kita Siap Menjadi Budak dalam Dunia Tanpa Kepemilikan?



Oleh: Soegianto, soegianto@fst.unair.ac.id

Pengamat kegiatan Elit Global

 

Bayangkan sebuah dunia di mana semakin kaya seseorang, semakin sedikit yang ia miliki. Dunia ini tidak lagi mengutamakan kepemilikan barang sebagai simbol status, melainkan beralih kepada pengalaman sebagai hal yang paling bernilai. Sebuah dunia yang bertanya, “Apakah kita bisa memiliki segalanya tanpa harus memiliki apapun?” Konsep ini membawa kita pada pemikiran tentang bagaimana teknologi, layanan digital, dan perubahan budaya dapat mengubah cara kita menjalani hidup.

Di masa lalu, ketika rumah terbakar dan semua orang selamat, mungkin satu-satunya barang yang ingin kita selamatkan adalah album foto. Namun, dengan kemajuan teknologi, foto-foto kita kini aman tersimpan di cloud, begitu pula dengan musik, buku, dan film kita yang telah beralih dari objek fisik menjadi layanan digital. Transformasi ini baru permulaan. Setiap tahun, kita semakin sedikit memiliki barang, karena banyak aspek kehidupan yang kini bisa diakses melalui layanan digital.

Pernahkah kita memikirkan betapa merepotkannya memiliki sebuah mobil? Dari membeli mobil, mengurus asuransi, perawatan, hingga mencari tempat parkir, semua itu menghabiskan waktu dan energi. Dengan kemajuan teknologi, kini kita bisa memanggil mobil kapan saja dan di mana saja, tanpa perlu khawatir tentang perawatan atau parkir. Mobil yang dulunya menjadi simbol kebebasan, kini bertransformasi menjadi layanan yang dapat diakses sesuai kebutuhan.

Namun, di balik tampilan ideal dunia tanpa kepemilikan ini, ada kenyataan yang lebih gelap yang harus kita waspadai. Meskipun model ini menawarkan kemudahan dan kenyamanan, ada ancaman tersembunyi: siapa yang sebenarnya akan memiliki barang-barang yang kita sewa? Sistem ini justru membuka peluang bagi elit global untuk mengendalikan segala sesuatu yang kita butuhkan. Di dunia yang sepenuhnya bergantung pada layanan, siapa pun yang memiliki layanan tersebut—baik itu makanan, pakaian, atau tempat tinggal—akan memegang kendali mutlak atas hidup kita. Kita, sebagai individu yang hanya bisa mengakses layanan tersebut, tidak lagi memiliki kontrol atas kehidupan kita sendiri.

Dunia yang digambarkan oleh beberapa visi futuristik tentang “sewa tanpa memiliki” mungkin tampak seperti sebuah kemajuan menuju kebebasan, tetapi sesungguhnya itu adalah bentuk perbudakan yang baru. Ketika semua barang dan kebutuhan hidup kita menjadi layanan yang dikelola oleh segelintir perusahaan besar dan individu-individu elit, kita bukan lagi sebagai pemilik, melainkan sebagai konsumen yang sepenuhnya bergantung pada mereka. Kita akan berada dalam posisi yang jauh lebih rentan, tanpa kendali atas apa yang kita miliki atau tidak miliki, dan dengan harga yang bisa naik sewaktu-waktu, bergantung pada keputusan yang diambil oleh mereka yang memiliki kendali.

Di dunia ini, kita dapat tinggal di sebuah kompleks yang menyediakan semua kebutuhan hidup, bekerja, dan bermain. Konsep co-living yang semakin populer menawarkan layanan 24 jam yang memungkinkan penghuni untuk fokus pada kehidupan mereka tanpa terganggu oleh pekerjaan rumah tangga. Makanan bisa diantar langsung ke pintu melalui layanan pengiriman bahan makanan segar, disesuaikan dengan preferensi kuliner pribadi. Bahkan pakaian kita bisa datang melalui layanan berlangganan, dikirim setiap pagi dengan drone dan diambil kembali setelah digunakan.

Namun, apakah kita menyadari bahwa semua ini, meskipun praktis, mengarah pada sistem yang semakin menempatkan kita dalam posisi yang lebih tergantung dan lebih lemah? Layanan yang mudah diakses mungkin menawarkan kenyamanan, tetapi juga menghilangkan kemandirian kita. Kebergantungan pada layanan yang dikelola oleh pihak ketiga mengaburkan batas antara kebutuhan dan hak, serta mempermudah elit global untuk mengontrol dan mengatur kehidupan kita.

Di masa depan, perabotan rumah, bahkan perhiasan, bisa dibuat menggunakan teknologi seperti 3D printing. Pakaian atau perhiasan untuk acara tertentu bisa dicetak sesuai dengan desain pribadi, dan setelah acara selesai, kita cukup mengembalikannya untuk didaur ulang. Rumah kita akan bebas dari lemari pakaian atau mesin cuci, dan tidak perlu lagi khawatir tentang hipotek atau perawatan. Bahkan, layanan bayi dan mainan bisa disesuaikan berdasarkan kebutuhan anak, diambil dan diganti secara berkala.

Namun, meskipun dunia ini menawarkan kebebasan dan kenyamanan, muncul pertanyaan besar: Bagaimana rasanya hidup tanpa kepemilikan? Apakah kita akan kehilangan hubungan emosional dengan barang-barang yang kita miliki? Apakah kita akan merasa seperti tanpa tempat tinggal atau bahkan kehilangan identitas kita? Meskipun pertanyaan-pertanyaan ini valid, masa depan yang berfokus pada layanan juga membuka peluang besar untuk merancang ulang kota-kota yang lebih ramah lingkungan dan inklusif. Dengan mengganti tempat parkir dan rumah terisolasi dengan taman hijau dan ruang bersama, kita bisa menciptakan ruang yang lebih bersih, lebih terbuka, dan lebih ramah bagi semua orang.

Selain itu, konsep ini juga dapat membawa perubahan besar dalam sistem pendidikan. Bayangkan jika pendidikan tidak lagi terikat pada sekolah tertentu atau lokasi fisik. Sebagai gantinya, pendidikan bisa menjadi perjalanan berkeliling dunia, memungkinkan anak-anak untuk belajar dari berbagai pengalaman dan perspektif, tanpa terbatasi oleh ruang kelas tradisional. Ini akan mengubah cara kita memandang proses belajar, dengan pengalaman langsung sebagai sumber utama pendidikan.

Namun, kita harus berhati-hati, karena meskipun dunia ini menawarkan banyak kemudahan, ia juga menempatkan kita dalam posisi yang sangat tergantung pada pihak yang mengendalikan layanan tersebut. Ketergantungan pada layanan dan sistem sewa berarti kita kehilangan kontrol atas banyak aspek kehidupan kita. Layanan ini, meskipun tampak mempermudah hidup, sebenarnya bisa menjadi bentuk perbudakan baru di mana kita tidak lagi menjadi pemilik, melainkan budak dari sistem yang dikendalikan oleh segelintir elit global.

Transformasi ini menawarkan kita peluang untuk memiliki lebih sedikit, tetapi merasakan lebih banyak—lebih banyak kebebasan, lebih banyak waktu untuk hal-hal yang benar-benar penting, dan lebih banyak kesempatan untuk mengumpulkan pengalaman berharga daripada barang-barang materi. Namun, kita harus selalu waspada terhadap siapa yang benar-benar memegang kendali atas dunia yang kita jalani, karena masa depan yang terlihat bebas ini bisa saja mengarah pada bentuk perbudakan yang lebih halus, di mana kita bergantung pada mereka yang mengendalikan segalanya.

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=