Muhammad Chirzin: Fenomena Kebebasan Akademik

Muhammad Chirzin: Fenomena Kebebasan Akademik
Muhammad Chirzin



Oleh: Muhammad Chirzin
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kebebasan akademik (academic freedom) adalah konsep moral dan hukum yang menyatakan bahwa kebebasan untuk melakukan penyelidikan ilmiah oleh akademisi dan peneliti sangat penting dalam misi perguruan tinggi dan dalam prinsip-prinsip akademik.

Para akademisi dan peneliti harus memiliki kebebasan untuk mengajar atau mengkomunikasikan gagasan atau fakta, termasuk hal-hal yang dianggap tidak menyenangkan, baik bagi kelompok politik tertentu maupun otoritas yang berkuasa, tanpa rasa takut terhadap adanya penindasan, kehilangan pekerjaan, atau pemenjaraan.

Inti dari kebebasan akademik adalah bahwa para cendekiawan yang bertindak dalam kapasitas akademik – sebagai pengajar atau peneliti – bebas untuk mengekspresikan perspektif ilmiah mereka.

Kini terdapat sebuah interpretasi yang memperluas perlindungan profesi ini termasuk pada ceramah atau kuliah para akademisi tentang hal-hal di luar keahlian profesional mereka.

Kebebasan akademik adalah isu yang terus diperdebatkan. Oleh karena itu, terdapat pula batasan-batasan dalam praktiknya. Para pengajar harus berhati-hati untuk menghindari hal-hal yang kontroversial yang sama sekali tidak terkait dengan mata pelajaran yang dibahas.

Ketika mereka berbicara atau menulis untuk publik, mereka bebas untuk mengungkapkan pendapat ilmiah tanpa rasa takut terhadap adanya sensor institusional atau sanksi disiplin, tetapi mereka harus menunjukkan bahwa mereka berbicara dalam kapasitas mereka sebagai akademisi dan bukan atas nama institusi mereka.

Jabatan akademik melindungi kebebasan akademik dengan memastikan bahwa para pengajar hanya dapat dipecat karena alasan seperti inkompetensi dalam profesi mereka atau perilaku yang menimbulkan kecaman dari komunitas akademik itu sendiri.

Kebebasan akademik merupakan dasar dari perkembangan ilmu pengetahuan. UNESCO mendefinisikan kebebasan akademik sebagai hak yang dimiliki oleh akademisi di perguruan tinggi atas kebebasan dalam mengajar dan berdiskusi, kebebasan untuk melakukan penelitian dan menyebarluaskan dan menerbitkan hasil penelitian, kebebasan untuk mengemukakan pendapat tentang institusi pendidikan tinggi, kebebasan dari penyensoran yang bersifat institusional dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam badan-badan perwakilan akademik.

Kebebasan akademik adalah kebutuhan mendasar untuk produksi pengetahuan yang sebenarnya. Alasan yang mendasari kebebasan akademik adalah untuk menegakkan prinsip bahwa ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang telah ditemukan, tetapi sebagai sesuatu yang tidak akan pernah diketahui seluruhnya dan perlu untuk dicari tanpa henti.

Gagasan kebebasan akademik juga dirumuskan sebagai tanggapan terhadap pelanggaran kewenangan oleh negara totaliter terhadap ilmu pengetahuan dan dunia akademika pada umumnya untuk menjalankan misinya.

Iklim kebebasan sangat penting untuk kemajuan ilmu pengetahuan – bahwa kebebasan untuk mengejar ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan prasyarat untuk produksi pengetahuan melalui peer review dan metode ilmiah.

Kerjasama antar para ilmuwan mirip dengan cara pelaku ekonomi mengoordinasikan diri mereka sendiri dalam pasar bebas.

Ilmu pengetahuan adalah tatanan spontan yang muncul sebagai konsekuensi dari perdebatan terbuka di antara para spesialis. Ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang jika para ilmuwan memiliki kebebasan untuk mengejar kebenaran sebagai tujuan itu sendiri.

Kebebasan penyelidikan ilmiah oleh mahasiswa dan warga fakultas adalah sangat penting untuk misi akademi. Komunitas akademik seringkali menjadi sasaran represi karena kemampuan mereka untuk membentuk dan mengontrol arus informasi.

Ketika para cendekiawan berusaha untuk mengomunikasikan gagasan atau fakta yang tidak menyenangkan bagi kelompok tertentu atau otoritas yang berkuasa, mereka dapat menjadi sasaran fitnah publik, kehilangan pekerjaan, pemenjaraan, atau bahkan kematian.

Konsep kebebasan akademik diperlukan untuk melindungi karya-karya kesarjanaan dari kecaman oleh otoritas negara atau agama, dan bukan untuk membela intoleransi.

Kebebasan akademik berarti universitas dapat menentukan dirinya sendiri atas dasar akademik: (1) siapa yang bisa mengajar, (2) apa yang bisa diajarkan, (3) bagaimana itu harus diajarkan, dan (4) apa yang dapat diterima untuk belajar.

TEMPO.CO, Jakarta – 16 Juli 2024 melaporkan, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mencatat sejumlah temuan pelanggaran kebebasan akademik sepanjang 2023 hingga 2024. Hal itu terekam dalam pertemuan tahunan KIKA yang digelar di UGM pada 11-12 Juli 2024.

Sepanjang 2023 hingga 2024, KIKA mencatat ada 27 jenis kasus pelanggaran kebebasan akademik. Apa yang terjadi pada kasus-kasus kebebasan akademik sepanjang 2023-2024 sebenarnya hanya mengulang peristiwa-peristiwa yang terus-menerus terjadi sejak 2015.

Berdasarkan kasus tersebut, dosen, mahasiswa, kelompok masyarakat sipil menjadi korban pelanggaran kebebasan akademik.

Menurut KIKA ada empat model pelanggaran akademik berdasarkan tekanan dan ancaman yang diberikan, yakni:
(1) serangan terhadap gerakan mahasiswa;
(2) problem insan akademik terkait dengan advokasi kebijakan publik;
(3) problem insan akademik terkait dengan advokasi problem SDA;
(4) integritas akademik dan polemik guru besar, serta persoalan integritas akademik guru besar lainnya.

KIKA menyoroti problem integritas akademik mulai dari joki jurnal ilmiah hingga problem pengangkatan guru besar yang bermasalah, termasuk melibatkan tokoh politik dan kekuasaannya. KIKA berharap Kemendikbudristek dapat menyelasaikan masalah tersebut.

KIKA juga mencatat berbagai “upaya” pelanggaran akademik seperti plagiasi, kartel publikasi, hingga pengangkatan guru besar yang tak memenuhi syarat. Bahkan secara sistematis melibatkan oknum Kemendikbudristek dalam meloloskan calon guru besar dengan cara yang tak sesuai integritas.

Mudah-mudahan kebebasan akademik di negeri ini semakin membaik, dan berkontribusi positif pada agenda merdeka belajar dan kampus merdeka, serta menghapus paradoks pendidikan di negeri ini, di mana outcome pendidikan adalah kemampuan berpikir kritis, sementara akademisi yang kritis terancam eksistensinya.

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=