Perlunya Diksi Yang Memberi Semangat

Perlunya Diksi Yang Memberi Semangat



Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Ahmad Cholis Hamzah

Kalau tidak salah dalam ilmu komunikasi disebutkan bahwa salah satu hambatan komunikasi yang efektif adalah masalah semantik. Gangguan semantik merupakan gangguan komunikasi yang terjadi karena kesalahan pada bahasa yang digunakan. Pada saat banyak masyarakat Indonesia yang masih menderita karena kondisi ekonominya, ingin makan saja harus antri panjang untuk mendapatkan beras murah, maka penderitaan mereka tidak boleh ditambah dengan komunikasi yang malah membuat mereka down, terpuruk hatinya, misalkan ada pejabat yang mengatakan kalau beras mahal maka gak usah makan nasi ganti saja dengan singkong; atau ada yang mengatakan gak usah sekolah perguruan tinggi karena biayanya mahal.

Itu dalah persoalan pilihan kata atau diksi yang perlu diperhatikan semua pejabat negara ini yang melakukan komunikasi publik kepada masyarakat banyak dimana pilihan kata-katanya haruslah “motivating” atau memberi motivasi kearah hal yang positif.

Saya sejak kecil tahun 1950an ketika belajar ngaji di musholla kampung saya di Surabaya guru ngaji saya selalu memberi semangat kita untuk mencari ilmu, dan diksi yang digunakan pada waktu itu adalah sabda Kanjeng Nabi Muhammad dalam hadisnya “carilah ilmu mulai dari buaian bayi sampai liang kubur (“Seek knowledge from the Cradle to the Grave”).

Diksi atau pilihan kata yang tidak “motivating” itu baru saja muncul dari pernyataan Sekretaris Ditjen Kemendikbudristek Prof. Tjitjik Srie Tjahjandarie yang menyebutkan perguruan tinggi sebagai edukasi tersier yang bersifat opsional atau pilihan, jadi bukan wajib. Pernyataan ini muncul karena ramainya demonstrasi mahasiswa yang menentang kenaikan UKT atau Uang Kuliah Tunggal di masing-masing perguruan tingginya. Ada yang memberikan reaksi bahwa Pernyataan tersebut dinilai tidak simpatik sekaligus bisa menguatkan persepsi jika kuliah bersifat elitis dan hanya untuk kalangan tertentu saja.

Saya tidak akan membahas soal UKT nya dalam tulisan saya karena saya tidak terlalu faham secara detail. Namun perhatian atau concern saya soal perlunya kita memberi dorongan semua warga Indonesia untuk menempuh pendidikan. Bagi yang beragama Islam tentu faham dengan hadis yang saya tulis diatas itu, dan banyak hadis lainnya yang menyebutkan keutamaan orang mencari ilmu. Sahabat Rasulullah syaidina Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa ilmu lebih berharga dari harta benda. Hal ini lantaran banyaknya keutamaan ilmu dibandingkan dengan harta. Di antaranya itu Ilmu lebih baik daripada harta dengan dalil harta itu makin lama didiamkan makin bertambah usang, sedangkan ilmu tidak bisa lapuk dan usang. Selain itu menurutnya, harta bisa membuat hati menjadi keras sedang ilmu itu menerangi hati.

Tentu makna dari hadis Nabi carilah ilmu dari buaian bayi sampai liang kubur itu pada masa kini tidak membatasi carilah ilmu hanya sampai SMP, SMA saja jangan ke perguruan tinggi karena itu tidak wajib. Kalimat dalam hadis itu kita diminta menimba ilmu sampai perguruan tinggi atau lembaga apapun, pokoknya tidak boleh berhenti. Apalagi dalam UUD kita disebutkan bahwa pendidikan itu merupakan hak rakyat.

Masyarakat seringkali mendengar jargon “kita menuju Indonesia emas 2045” dimana negara kita nanti pada tahun itu menjadi negara digjaya dan menjadi negara dengan tingkat perekonomian yang tinggi di dunia. Pertanyaannya bisa gak kita mencapai tahun emas 2045 itu apabila rakyat kita di “ojok-ojoki” bahasa Jawa yang bermakna “diyakinkan, didorong-dorong” gak usah sekolah perguruan tinggi karena tidak wajib.

Pada hal pengalaman negara-negara yang sudah maju seperti Jepang, kemajuan mereka itu lebih banyak terjadi karena adanya inovasi dan kreativitas anak-anak bangsanya. Sehingga tahun 1970 Amerika Serikat terkejut karena negaranya dibanjiri dengan mobil-mobil Jepang yang lebih irit dari mobil buatan Amerika Serikat dan Eropa. Mobil sedan Jepang konsumsi bahan bakarnya bisa 1 liter untuk 15-20 km, sementara mobil buatan negara barat ada yang 1 liter untuk 5 km. Mobil Jepang yang efisien itu merupakan hasil penelitian dari perguruan tinggi.

Memang lulusan perguruan tinggi tidak harus semuanya jadi seorang peniliti yang memiliki naluri meneliti (bukan penelitian abal-abal). Namun perlu disadari bahwa hasil penelitian dari berbagai perguruan tinggi itu sangat diperlukan, dan ini berarti bahwa warga negara Indonesia harus dimotivasi untuk sekolah sampai ke jenjang tersier. Kalau belum-belum sudah turunkan gairah untuk bersekolah ke perguruan tinggai, maka kita akan kekurangan kader-kader peneliti yang handal.

Sekali lagi saya tidak faham secara detail tentang kebijakan UKT masing-masing perguruan tinggi, tapi saya yakin perguruan tinggi kita memiliki kebijakan untuk memberikan UKT yang sesuai dengan kemampuan warga yang ekonominya kurang mampu.

Tapi yang jelas soal UKT ini perlu perhatian yang serius sebab apabila terlalu mahal maka akan menghalangi anak-anak kita yang pinter tapi keluarganya tidak memiliki kemampuan ekonomi. Selain itu persoalan ini akan mendorong perguruan tinggi luar negeri untuk ramai-ramai mempromosikan bahwa studi di tempat mereka lebih bagus dan toh tidak terlalu mahal; atau perguruan-perguruan tinggi luar negeri itu mendirikan perguruan tinggi di Indonesia dengan biaya yang relative sama dengan UKT pergurun tinggi kita. Itulah globalisasi itu.

Saya haya berharap agar para pemangku jabatan di negeri ini menggunakan pilihan-pilihan kata yang bijak kepada masyarakat agar memberikan motivasi yang positif; jangan pilihan kata yang malah menurunkan semangat rakyat, misalkan “kalau harga minyak goreng naik, ya dikukus saja”, atau “kalau harga beras naik, ya makan ubi-ubian saja” atau “kalau biaya masuk sekolah mahal ya jangan sekolah.

EDITOR: REYNA
Artikel sama dimuat di Optika.id




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=