Oleh: MHR Shikka Songge
Pria itu,
tertangkap warga,
saat mencuri,
kemudian dihakimi,
hingga tergeletak di jalan,
sudah tidak bernyawa.
Tiba-tiba,
telepon berdering,
dari saku celana sang pencuri,
tersingkap sebuah HP Jadul.
Bergegaslah salah seorang warga mengambilnya.
Perlahan, ia
mengangkat telepon itu.
Ia pun membunyikan spikernya,
terdengar oleh semua warga,
di antara para pelaku menghakiman pencuri naas itu.
Di kejauhan,
terdengar suara anak kecil,
menangis memanggil sang ayah:
“Haloo Ayah …
Kata Ibu, apakah Ayah sudah dapat uang untuk membeli beras? Kalau sudah dapat cepet pulang, Yaah!!
Kami sudah lapar sekali dari pagi belum makan”.
Mendadak semua warga tertegun,
diam membisu!
Dunia seakan berhenti berputar.
Siang yang panas seakan menggigil dan tersungkur.
Riuh rendah orang-orang berteriak sedari tadi, “bakar, bakar, kini mendadak sepi dan dingin.
Alam pun menangis ….
Daun-daun berjatuhan, gugur berhamburan ke bumi.
Hampa menusuk kalbu …
Apa kabar,
wahai para koruptor,
ribuan milyar,
ratusan triliyun, berjilid-jilid.
Apa kabar,
duhai para pemimpin negara,
para menteri penikmat kuasa,
dibeking pengusaha,
ditopang partai,
didukung penegak hukum.
Apa kabar,
wahai para anggota parlemen yang terhormat,
di mana sumpah janjimu dulu saat kampanye,
sebagai pembela rakyat kecil?
Duhai engkau yang di atas sana, di ruang sejuk, di istana mewah, di villa indah.
Wahai engkau yang gemar menabur janji,
rajin menebar angan-angan palsu, lihatlah drama kematian seorang ayah dlm jihad mencari nafkah.
Dia sudah menebus kesalahannya dengan kematiannya.
Dia sudah pergi utk mengakhiri jihad nafkahnya,
urusan dunianya telah berakhir setelah dipisah paksa oleh warga yang kalap.
Tapi, bagaimana dengan anak dan istrinya yang kelaparan, haruskah mereka mati juga bersama kematian sang ayah dan suami itu?
Duhai para pemilik kuasa! Di manakah posisi negara di saat maling itu meregang nyawa, tanpa bisa membela diri? Padahal, dia mencuri karena anak dan istrinya kelaparan.
Di manakah posisi pemimpin partai di saat anak si maling itu menangis kelaparan dan meminta ayahnya pulang membawa beras?
Di manakah aparat keamanan, di saat ayahnya meregang nyawa, tak ada yang dapat menolong,
sementara anak dan istrinya belum makan dari pagi?
Ya Allah,
mengapa begini jadinya?
Mengapa semua ini terjadi?
Di saat negeri kami sedang sibuk
mencari pemimpin baru?
Di manakah Engkau, Tuhanku?
Di saat kezaliman itu terjadi?
Ya Allah,
mengapa, tiba-tiba saja,
hati ini terasa ngilu,
perih, dan teriris.
Mengapa nalarku sontak mendidih,
sakit, dan terjungkal.
Mengapa, aku merasa, darahku mendadak berhenti mengalir.
Ya Allah!!!!
alangkah besar rahmat-Mu
tapi, alangkah jauhnya rasa
keadilan itu.
Mengapa Engkau tak kirim bala tentara-Mu,
untuk menolong ayah dan suami dari amukan massa?
Mengapa setetes kasih-Mu,
tak tercurah
untuk sekedar menghapus air mata
istri dan anak-anak yang malang itu?
Ya Allah!!!
Engkau Maha Tahu,
kami tidak tahu.
“Yang bisa dengan rasa pasti menjawab pun, ternyata tak tahu apa-apa.” (Hasan M. Noer/08/09/2023)
Saya membaca dengan khusuk bait demi bait tulisan saudara Hasan M Noer, seraya membayangkan, jika peristiwa ini sungguh sungguh terjadi, atau memang telah terjadi di tengah runtuhnya moralitas publik para pejabat penyelenggara negara dan brutalnya prilaku sosial sesama warga yang saling menghakimi.
Tentu pangkal persoalan tersebut bisa ditelusuri dari pembangunan yang timpang dan tidak mensejahterakan. Dimana Negara yang besar dan kaya dengan berlimpah sumber daya alam ini, namun gagal memberikan rasa keadilan sosial dan keadilan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat.
Kita juga menyaksikan tragedi kekuasaan, ambisius dan ambigu terlalu kuat mendominasi, mengintiidasi kehidupan kebernegaraan kita semenjak rezim ini berkuasa. Sehingga hukum tidak lagi menjadi panglima untuk meluruskan berbagai penyimpangan. Hukum ternyata hanya mandul keatas tajam kebawah, bahkan hukum telah berfungsi menjadii alat yang efektif bagi kekuasaan untuk mengabsolutkan kekuasaan dengan melibas setiap lawan politik. Olehnya rakyat kehilangan kepercayaan pada aparat penegak hukum, dan akhirnya rakyat punya cara sendiri, yaitu melakukan pengadilan jalanan dalam penyelesaian setiap masalah yang dihadapi.
Hakekat Penyelenggaraan negeri saat ini kian bergeser dan terus tergusur, bahkan ada upaya terstruktur dan sistemik pengosongan nilai-nilai luhur sebagai hakekat bernegara, dari tujuan dan cita cita kemerdekaan. Negeri ini, diurus oleh satu rezim tanpa ilmu dan cita cita mulia. Kita, tengah menghadapi beban atau dìlema bernegara yang tidak ringan. Moga selalu ada kewarasan yang tumbuh di setiap manusia yang rindu dan bekerja untuk perubahan.
Saat ini saya sedang sholat subuh di Bulukumba Sulsel.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Ta’im alias Miftah sudah Mundur, Kapan Fufufafa (di) Mundur (kan) ?
Catatan Atas Penghinaan Utusan Khusus Presiden Prabowo Kepada Penjual Es: Maafkan Kami Datuk Sri Anwar Ibrahim
Jika kebijakan kenaikan PPN 12 persen diambil?
Lagi-Lagi Soal Komunikasi
Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (Bagian 3): Kesetiaan, Kepercayaan, dan Kehormatan
Kita Harus Faham DNA Media Barat
Bukti Gamblang, Kebenaran Takdir Allah
Keikhlasan Kunci Keberhasilan
Akurasi Membaca Kemunculan Pratanda Pilbup Kulon Progo
Para Pejabat Negara Perlu Belajar Ilmu Komunikasi
No Responses