Oleh: Smith Alhadar
Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Sejak 7 September, negeri ini heboh oleh perilaku aib rezim. Media mainstream dan medsos didominasi berita kasus Rempang. Ketika itu pecah konflik fisik antara rakyat dan aparat keamanan gabungan. Puluhan warga terluka, terkena gas air mata, dan ditangkap.
Kita semua terkejut. Kok bisa? Tapi reaksi kita berbeda. Ada yg diam, ada yg tertawa, dan banyak yg menangis. Yg diam adalah mereka yg apatis menghadapi realitas politik nasional hari ini. Rezim ini terlalu bebal dan arogan. Dan sepenuhnya tunduk pd oligarki dan Cina. Tak ada yg bs diubah kecuali dgn kekuatan yg besar.
Memang sulit dimengerti rezim Prediden Jokowi msh mndpt dukungan rakyat, sampai2 bakal capres Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo berebut klaim bhw mereka didukung Jokowi. Lembaga survey yg “kredibel” memang mengungkap endorsement Jokowi ckp menentukan kemenangan capres.
Krn Jokowi msh sgt berpengaruh, percuma kita melawannya. Lbh baik kita mengurus diri kita sendiri di tengah lilitan ekonomi akibat kenaikan harga barang2 yg terus terjadi. Subsidi BBM tertentu pun terpaksa akan dinaikkan akibat kenaikan harga minyak di pasar global.
Yg tertawa adalah mereka yang menyambut penuh suka cita masuknya investasi jumbo dari Cina ke Rempang. Kemarahan puak Melayu tak mereka hirau, hanya dianggap sbg reaksi org2 tolol. Buldozer saja mereka bila perlu.
Memang konon PT Makmur Elok Graha (MEG) milik taipanTomy Winata yg menggandeng perusahaan asal Cina, Xinyi Glass Holding Ltd, akan berinvestasi di Rempang sebesar 11,6 miliar dollar AS sampai thn 2080.
Mereka akan membangun Proyek Eco City (PEC) yg akan mengokupasi sekitar 50 persen Pulau Rempang, trmsk 16 Kampung Tua yg kemarin penghuninya melawan aparat. Konon, di dlm PEC akan dibangun industri kaca terbesar kedua di dunia, panel surya, dan pariwisata.
Katanya, ini akan membutuhkan lebih dari 300.000 tenaga kerja. Puak Melayu yg miskin akan hidup sejahtera lahir batin. Mereka tak peduli bhw PEC akan membuat penduduk kehilangan ruang hidup, budaya, sejarah, dan lingkungan yg sehat.
Semua itu tdk ada artinya ketimbang keuntungan materiil yg akan mereka peroleh, meskipun meningkatnya pendptan tdk otomatis meningkatkan kualitas hidup. Terlbh, fakta bhw nyaris semua proyek tambang milik Cina di negeri ini tdk menciptakan kesejahteraan bagi penduduk di sekitar proyek.
Malah, mereka hrs menghdpi kualitas hidup yg lbh buruk akibat polusi, kerusakan lingkungan, dan menyempitnya ruang hidup. Kenyataan lain, buruh yg bekerja di proyek mayoritas adalah warga Cina. Hanya sedikit warga lokal yg direkrut.
Itu pun dgn gaji yg menyedihkan dibandingkan upah buruh Cina meskipun mereka memiliki keterampilan dan pekerjaan yg sama. Ini menimbulkan kecemburuan buruh lokal.
Maka, beberapa wkt lalu kita menyaksikan perkelahian di tambang nikel di Morowali, Sulawesi Tenggara, yg digarap perusahaan Cina, yg menewaskan dua buruh lokal dan satu buruh Cina.
Mereka yg menangis melihat bgm puak Melayu diperlakukan adalah mereka yg msh memiliki akal sehat, nurani, dan semangat menghadapi kezaliman.
Tdk msk akal rezim lbh mendahulukan kepentingan asing dan oligarki dibandingkan dgn ribuan warganya yg miskin. Bkn mereka antiinvestasi, tp tujuan investasi hrslah yg menyejahterakan rakyat, memajukan bangsa, dan menguatkan negara.
Faktanya, blm apa2 rezim sdh mnghadirkan musibah bagi warga lokal. Tanpa musyawarah lbh dulu dgn warga lokal, pd Agustus lalu pemda mulai melakukan pematokan tanah rakyat di sana.
Pantas sj warga lokal marah besar atas upaya rezim merampas lahan mereka dgn kompensasi yg jauh dari memadai. Mereka yg pd pilpres 2019 mencoblos Jokowi. Dlm kampanye wkt itu, Jokowi berjanji akan membuat sertifikat tanah bagi warga Rempang. Lalu, di dlm suatu rapat kabinet, presiden menyatakan tdk boleh konsesi lahan diberikan kpd investor dgn mengusir penduduk lokal. Penduduk hrs merupakan bagian dari konsesi. Kl tdk, izin konsesi hrs dicabut.
Rezim, melalui Menko Polhukam Mahfud MD, lbh suka menggunakan kata ‘pengosongan’, bkn penggusuran. Kata ‘pengosongan’ punya makna tanah itu milik negara yg hendak diambil kembali. Sdngkan ‘penggusuran’ punya konotasi negatif, yakni pengusiran rakyat dari tanah mereka sendiri. Faktanya, memang ini yg terjadi di Rempang.
Puak Melayu — total populasi sekitar 7.500 jiwa — sdh menghuni wilayah itu lbh dari seabad sblm Indonesia merdeka. Dus, atas dasar apa rezim mengklaim tanah penduduk di Rempang sbg milik negara?
Investasi dgn cara menggusur warga lokal , sbgm praktik kolonial, bertentangan dgn tujuan imvestasi. Bkn sj warga lokal kian menderita akibat tercerabut dari akar sosial-budaya dan sumber penghidupan mereka, tp jg melemahkan negara.
Berhentilah melihat investasi sbg kunci penyelesaian semua hal yg mendera bangsa ini. Investasi tentu sj berguna sepanjang ia dikelola dgn baik di mana kesejahteraan dan keadilan sosial menjdi titik pusat pembangunan, bkn memperkaya org yg sdh sgt kaya dan memiskinkan org yang sudah sangat miskin.
Bknkah tujuan kita memerdekakan diri dari penjajahan adalah menghadirkan kemanusiaan yg beradab serta keadilan sosial? Dlm membangun, jgn meniru cara pandang kolonial atau rezim Orba yg main gusur atas nama investasi.
Tanah2 rakyat yg tdk bersertifikat meskipun sudah ditempati secara turun-temurun dirampas begitu saja. Sikap dan tindakan ini jg yg hendak dilakukan rezim di Rempang.
Mereka tdk belajar dari konsep pembangunan humanis yg diterapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yg mnjdikan humanisme berkeadilan titik berangkat setiap kebijakan pemerintah.
Untuk warga yg terpaksa tergusur, ia membangun perkampungan2 yg layak huni, bhkan kualitasnya lbh baik daripd habitat mereka sblmnya.
Lalu, kita ingat ia menghentikan proyek oligarki berupa reklamasi belasan pulau bernilai Rp 500 triliun hanya karena proyek ini merusak lingkungan dan menggerus nafkah hidup nelayan kecil.
Menghadirkan keadilan sosial dan melindungi seluruh rakyat tanpa kecuali merupakan cita2 kemerdekaan yg hrs dipenuhi pemimpin sbgm diulang-ulang Anies. Kl rezim dibenarkan menggusur rakyat kapan pun mereka mau, maka apa bedanya dgn penjajah? Lbh dari itu, rakyat di manapun kini was-was dgn masa depan huniannya. Hari ini Rempang, besok mungkin tanah kita.
Memang sdh lama rakyat Rempang mendengar akan dibangun industri di kampung mereka. Tp mereka diberi tahu bhw yg akan dibangun hanya industri pariwisata yg melibatkan kampung mereka.
Baru bulan lalu mereka tahu dari media bhw industri yg akan dibangun mencakup juga industri kaca dan panel surya. Industri yg disebut terakhir akan dibangun di tepi pantai dgn areal yg sgt luas. Dgn sendirinya akan mengancam mata pencahrian warga lokal sbg nelayan.
Yang lebih mengagetkan adalah ultimatum pemerintah daerah BP Batam agar warga meninggalkan rumah mereka paling telat 28 September.
Memang rezim menjanjikan rmh tipe 45 di atas lahan 500 meter persegi untuk tiap keluarga sbg ganti rugi. Juga diberikan uang tunggu bulanan selama 7 bln rmh mereka dibangun. Sejauh ini warga menolak kompensasi ini, yg memang tak sepadan dgn ongkos sosial, budaya, dan lingkungan hidup yg hrs mereka bayar.
Kendati demikian, rezim msh bersikeras agar warga 16 Kampung Tua sdh hrs kosong pd tgl yg telah ditetapkan. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia beralasan, investor dari Cina akan lari kl proyek ini tertunda.
Tp sesungguhnya Bahlil sdg berusaha menyelamatkan muka Jokowi di mata Presiden Cina Xi Jinping. PEC ditandatangani perusahaanXinyi dan MEG di Chengdu, Cina, pd 28 Juli 2023, disaksikan Jokowi dan Xi.
Dus, bisa dikata kasus Rempang berpotensi bereskalasi. Sulit membayangkan rezim akan mengalah. Jokowi dikenal sbg org yg sulit mengubah sudut pandangnya. Lihat, kendati IKN adalah proyek yg tdk msk akal, ia ttp ngotot.
Kalau pendapat saya tidak meleset bahwa rezim tetap memaksa warga Rempang mengosongkan kampung mereka pd 28 September, dampak ikutannya akan sgt luas krn ada preseden yg akan mendorong rakyat di tmpt lain untuk jg bangkit.
Baru2 ini Komnas HAM menyatakan dari Januari hingga Agustus 2023, kasus agraria antara rakyat melawan rezim yg dilaporkan ke Komnas HAM sebanyak 692 kasus atau 4 kasus per hari kerja.
Kl kita menempatkan kasus Rempang dlm perspektif politik elektoral, bisa jd isu ini akan merugikan bakal capres Prabowo dan Ganjar yg di-endorse dan mengaku akan meneruskan program pembangunan Jokowi.
Kl dlm 1-2 hari ini isu Rempang bisa diselesaikan secara damai, status quo akan terjaga. Namun, bila Rempang kembali meledak, populeritas Jokowi mestinya turun secara signifikan.
Dan ini akan berdampak pd Prabowo dan Ganjar yg hingga hari ini msh berharap mndpt efek ekor jas Jokowi. Trlbh rakyat Indonesia akan teringat kasus Wadas di Jawa Tengah di mana sbg gubernur Ganjar mengirim aparat bersenjata untuk mengintimidasi warga Wadas yg menolak menjual lahannya untuk dijadikan tambang batu andesit.
Terkait Prabowo, saat ini beredar berita ttng Prabowo menampar dan mencekik Wakil Menteri Pertanian di ruang rapat kabinet. Masalahnya, Prabowo melihat Kementan tak membantunya yg ditugaskan Jokowi membangun food estate sehingga proyek itu gagal dan ia jd tertawaan publik.
Kekerasaan di ruang rapat kabinet oleh seorg menteri akan sulit diterima publik sbg presiden mereka. Alhasil, kasus Rempang berpotensi merugikan Prabowo dan Ganjar. Gagasan perubahan yang diusung koalisi yg mengusung Anies justru menemukan momentum sekarang ini.
Terlebih, beberapa wkt ke depan, akibat harga barang kebutuhan pokok yg semakin tinggi, capres yg berasosiasi dgn Jokowi akan kehilangan simpatik. Pantaskah kita perpanjang kekuasaan rezim kingkong ini melalui Prabowo atau Ganjar? Kl hari ini keduanya bangkit melawan rezim terkait Rempang, posisi mereka akan tertolong. Sayang, hal itu tak mungkin mereka lakukan.
Tangsel, 21 September 2023
EDITOR: REYNA
Related Posts
Muhammad Chirzin: Israel Merajalela
Alumni Harvard Turun Gunung Membantu Alma Maternya Melawan Trump.
OPINI Ulrich Schlie: Kebangkitan pertahanan Jerman: Perspektif Bundeswehr
Sampai Kapan US$ Menguat Terhadap Rupiah?
ICMI: Dari Gagasan Menuju Gerakan, Dari Cendekiawan Menuju Pelayan Umat
Diskusi Psikologi Rakyat Konoha
Prabowo Adalah TNI Demokratis: Tanggapan Untuk Dhimam Abror Djuraid
Mau Dibawa Kemana Negara Ini Ketika Polri Ingkar Terhadap Konstitusi
Janji Gibran 19 Juta Lapangan Kerja, Realisasi Buka Moratorium Kerja di Arab Saudi
Era Balas Membalas
No Responses