Oleh: Budi Puryanto, Pemimpin redaksi
Penulisan sejarah adalah pekerjaan merangkai ingatan kolektif bangsa. Ia bukan sekadar catatan peristiwa lampau, tetapi menjadi dasar pijakan identitas, kebijakan, hingga arah masa depan. Karena itu, saat pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan menggagas proyek penulisan ulang sejarah nasional, muncul gelombang antusiasme sekaligus kekhawatiran. Di tengah euforia tersebut, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan langkah konkret: pembentukan Tim Pengawas Khusus DPR RI.
Langkah ini bukan reaksi spontan, melainkan respons strategis atas potensi distorsi narasi dan kontestasi ideologis dalam sejarah yang ditulis ulang. “DPR melalui Komisi III dan Komisi X akan menurunkan tim untuk mengawal proyek ini agar berjalan tertib, profesional, dan bebas dari manipulasi,” ujar Dasco dalam pernyataannya.
Mengapa Sejarah Perlu Diawasi?
Penulisan ulang sejarah bukan hal baru. Banyak negara telah melakukannya untuk memperbaiki perspektif yang timpang, mengangkat suara-suara yang terpinggirkan, atau menyelaraskan catatan sejarah dengan semangat zaman baru. Namun dalam praktiknya, sejarah kerap menjadi arena tafsir yang sarat kepentingan: ideologi, politik, bahkan ekonomi.
Indonesia memiliki masa lalu yang penuh simpul-simpul sensitif—dari tragedi 1965, peristiwa Timor Timur, konflik Papua, hingga soal peran tokoh-tokoh nasional yang masih diperdebatkan. Proyek penulisan ulang sejarah, jika tidak diawasi dengan ketat, berisiko melanggengkan narasi sepihak atau bahkan menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Itulah sebabnya langkah DPR membentuk Tim Pengawas menjadi sangat penting. “Bukan untuk mencampuri isi narasi sejarah, tetapi memastikan semua proses berjalan berdasarkan prinsip akademik, inklusif, dan objektif,” kata Dasco.
Kolaborasi Dua Komisi: Kekuatan Hukum dan Budaya
Uniknya, Tim Pengawas ini akan diturunkan oleh dua komisi strategis DPR:
Komisi III, yang membidangi hukum, hak asasi manusia, dan keamanan, akan memastikan bahwa penulisan sejarah tidak melanggar prinsip-prinsip hukum, termasuk perlindungan terhadap hak individu dan kelompok yang mungkin disebut dalam narasi sejarah.
Komisi X, yang membidangi pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi, akan mengawasi aspek akademik dan edukatif dari proyek ini—dari proses kurasi sumber hingga distribusi hasil ke publik, termasuk buku pelajaran dan dokumen resmi negara.
Langkah kolaboratif ini menunjukkan bahwa pengawasan bukan sebatas politis, melainkan multidisipliner dan substantif.
Menghindari Polarisasi Publik
Di era media sosial yang serba cepat, wacana sejarah sangat mudah terseret arus politisasi. Sebuah narasi yang kontroversial bisa memicu perang opini, saling lapor, bahkan potensi konflik sosial. Contohnya bisa dilihat dari perdebatan mengenai film sejarah, konten YouTube bertema G30S/PKI, atau bahkan nama jalan tokoh tertentu.
Dasco menegaskan bahwa pengawasan DPR bukan dalam kerangka “sensor”, tetapi justru mendorong transparansi dan partisipasi publik. “Kita ingin ada ruang dengar, kritik, dan kajian bersama. Sejarah milik rakyat, bukan segelintir elite,” ujarnya.
Dalam konteks ini, Tim Pengawas juga diharapkan bekerja sama dengan sejarawan independen, lembaga arsip nasional, akademisi lintas kampus, serta komunitas-komunitas sejarah lokal agar proses penulisan ulang ini benar-benar inklusif.
Menuju Sejarah Yang Membebaskan
Indonesia telah terlalu lama bergantung pada narasi tunggal yang kerap dibentuk di masa otoritarian. Kini, semangat reformasi menuntut sejarah yang membebaskan, bukan membelenggu. Penulisan ulang sejarah harus memberi ruang bagi semua suara—termasuk yang dulu dibungkam.
Langkah DPR membentuk tim pengawas menjadi penyeimbang penting. Tidak sekadar menjaga integritas ilmiah, tetapi juga mencegah penggunaan sejarah sebagai alat kekuasaan atau alat dendam.
Tim ini diharapkan bekerja secara terbuka, menyampaikan laporan berkala ke publik, serta memiliki mekanisme aduan dari masyarakat terhadap temuan-temuan sejarah yang dianggap tidak akurat atau bias.
Catatan Sejarah Harus Diluruskan, Bukan Dipelintir
Penulisan ulang sejarah bangsa adalah kesempatan langka untuk merefleksi siapa kita sebagai bangsa, dan ke mana arah kita ke depan. Namun tanpa pengawasan yang independen dan sistematis, proyek ini bisa jadi bumerang.
Dengan dibentuknya Tim Pengawas Khusus oleh DPR, publik punya alasan untuk lebih percaya bahwa narasi sejarah yang baru nantinya tidak hanya lebih lengkap, tetapi juga lebih jujur dan adil.
Karena pada akhirnya, sejarah bukan milik pemenang. Sejarah adalah milik semua yang pernah hidup dan berjuang demi negeri ini. Dan tugas kita sekarang memastikan sejarah itu ditulis dengan kepala dingin, hati jernih, dan tangan yang bersih.
EDITOR: REYNA
Baca juga artikel terkait:
Related Posts

Sampah Indonesia: Potensi Energi Terbarukan Masa Depan

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Sebuah Kereta, Cepat Korupsinya

Menata Ulang Otonomi: Saatnya Menghadirkan Keadilan dan Menata Layanan

Gerbang Nusantara: Jatim Kaya Angka, Tapi Rakyat Masih Menderita

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

“Purbayanomics” (3), Tata Kelola Keuangan Negara: Terobosan Purbaya

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Habil Marati: Jokowi Mana Ijasah Aslimu?

Misteri Pesta Sabu Perangkat Desa Yang Sunyi di Ngawi: Rizky Diam Membisu Saat Dikonfirmasi



No Responses