Oleh: Zamal Nasution, PhD.
Dosen Unair Surabaya, Peneliti Pemberdayaan Anak dan Perempuan
Perkawinan anak di Indonesia seperti fenomena gunung es, banyak anak yang hamil terpaksa dispensasi kawin. Namun, ternyata lebih banyak lagi yang aborsi dan menjadi korban perdagangan. Tulisan ini merupakan penelitian kerjasama dosen Universitas Airlangga yakni Zamal Nasution, PhD., dan dr. Annette d’Arqom, PhD. Tulisan ini merupakan bagian ketiga.
Perkawinan Anak Tidak Terkendali
Tulisan ini fokus pada meningkatnya kasus perkawinan anak sejak Indonesia terdampak pandemik Covid-19. Tanpa pandemik sekalipun, tren perkawinan anak sesungguhnya selalu meningkat setiap tahun. Data tahun 2021 yang dikutip oleh KemenPPPA, jumlah anak sebanyak 79,4 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, persentase anak perempuan yang kawin sebelum usia 18 tahun sebanyak 8,06%. Menurut statistik Pengadilan Agama tahun 2022, terdapat 52.000 dispensasi perkawinan diberikan pada anak yang berusia di bawah 19 tahun. Pada tahun 2016, angka perkawinan anak tercatat sebanyak 8.488 kejadian. Pada 2017 meningkat menjadi 11.819, meningkat lagi di tahun 2018 menjadi 12.504, kemudian menjadi 23.126 di 2019. Lonjakan terbanyak terjadi di tahun 2020 yakni menjadi 64.211, dan sedikit menurun menjadi 59.709 di tahun 2021.
Mencermati laju kenaikan perkawinan anak, pada era 2016 ke 2017 terjadi kenaikan sebanyak 39%. Kenaikan juga terjadi sebanyak 5% dari 2017 ke 2018. Kenaikan drastis mulai sejak 2018 ke 2019 dengan laju sebanyak 84%. Kenaikan tersebut menjadi dua kali lipat yakni 177% di tahun 2019 ke tahun 2020. Ternyata kemudian terjadi penurunan 7% di tahun 2021 yang dilanjutkan menurun kembali 12% di tahun 2022, hal ini tidak akan secara drastis mengembalikan angka perkawinan anak ke era sebelum pandemik. Namun, justru menunjukkan rapuhnya mitigasi terhadap perkawinan anak yang terefleksi dari lemahnya peranan pendidikan keluarga. Ketika anak berada di rumah selama penutupan tatap muka sekolah, angka perkawinan anak justru meningkat tajam.
Terkait:
- Zamal Nasution: Darurat Perkawinan Anak Di Indonesia (Bagian Pertama)
- Zamal Nasution: Darurat Perkawinan Anak Di Indonesia (Bagian Kedua)
Kesempatan bersekolah memungkinkan anak terjadwal waktunya sehingga pada masa lulus sekolah menengah atas (SMA), usianya sudah 19 tahun. Dalam periode sekolah tersebut, seharusnya anak fokus terhadap proses belajar. Pemerintah menentukan batas usia minimal 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki yang akan menikah sesuai UU No. 16 Tahun 2019. Namun, program penundaan menikah tersebut terlihat kurang mengena sasaran. Terdapat faktor lain yang tidak tersentuh yakni keluarga miskin, berpendidikan rendah, masyarakat pedesaan, remaja, dan anak dengan orang tua tunggal. Perkawinan anak terkonsentrasi di kelompok sosial tersebut yang cenderung terus meningkat kompleksitasnya.
Waspadai Kawasan Perdesaan
Dari total kejadian perkawinan anak, sebanyak 63% tercatat di kawasan perdesaan. Kawasan perdesaan identik dengan keluarga yang mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian. Jumlah keluarga petani di Indonesia masih mayoritas yakni sekitar 60%. Dilihat dari produktivitas, umumnya (70%) hanya memiliki lahan pertanian <0,5 hektar per keluarga. Menurut perhitungan nilai ekonomis, luasan lahan pertanian seharusnya >1 hektar per keluarga agar penghasilan berada di atas nominal upah minimum. Dikarenakan persoalan produktivitas lahan tersebut, banyak petani menjual tanah yang kemudian berubah fungsi menjadi penggunaan non-pertanian. Akibatnya, jumlah pengangguran yang berada di tingkat 7,4% ditambah tekanan jumlah penduduk dan minimnya produktivitas dari lahan pertanian berdampak pada banyaknya persoalan sosial.
Di antara persoalan keluarga perdesaan, dampak terbesar diterima oleh anak. Anak perempuan lebih rentan terhadap diskriminasi. Data BPS secara konsisten menunjukkan 1 dari 9 anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, sementara anak laki-laki pada angka 1 dari 100 orang. Pandemik merupakan faktor yang memperburuk kasus perkawinan anak. Akibat pandemik, program penghapusan perkawinan anak nasional tidak hanya melambat namun justru meningkat secara drastis, yang terutama disumbang dari kawasan perdesaan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Bencana Sumatera dan Kegagalan Tata Kelola Kawasan

Kekayaan Keragaman Hayati Tercabut Dari Bumi Sumatra

Banjir Bandang Sumatera: Pembantaian Massif (Saatnya Rakyat Menjadi “Algojo”)

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (11): Pengakuan Dunia, Diplomasi Damai, dan Kiprah Internasional Indonesia di Era Soeharto”

Monumen

Kami Bersama Dokter Tifa

Saatnya Menegaskan Arah, Membongkar Simpang Siur Kekuasaan SDA

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (10): Warisan Stabilitas Makro dan Fondasi Ekonomi Jangka Panjang

Daniel M Rosyid: Bencana Dan Riba Politik

Bandara IMIP Morowali : Antara Hilirisasi, Kedaulatan, dan Arah Baru Politik Pengawasan Negara



No Responses