Cerita Fiksi Politik
Oleh: Budi Puryanto
Pagi 12 September 2025, halaman Istana Negara dipenuhi wartawan. Tripod kamera berjajar rapat, mikrofon berlogo berbagai stasiun televisi saling berebut posisi. Udara pagi terasa tegang, seolah semua orang tahu bahwa pengumuman hari ini akan mengguncang peta politik nasional.
Di dalam Istana, Presiden Pradipa Wiranegara mengenakan jas abu-abu dengan dasi biru. Wajahnya datar, tapi matanya tajam. Di tangannya, daftar final reshuffle kabinet terlipat rapi. Delapan menteri akan diganti, lima di antaranya memiliki kaitan dengan jaringan Lingkar Solo.
Sebelum keluar menemui wartawan, Pradipa sempat memanggil Seno.
“Pastikan semua orang yang kita angkat sudah terverifikasi. Tidak ada penyusup,” tegasnya.
Seno mengangguk, meski di dalam hati masih terbayang pesan misterius yang ia terima kemarin: ‘Ada ganda agen di daftar Anda’.
Pukul 09.00 tepat, Pradipa melangkah ke podium. Suara kamera berderak, lampu blitz menyala berkali-kali.
“Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,” ucapnya, “demi memperkuat kinerja pemerintahan, saya memutuskan melakukan penyegaran kabinet. Ini langkah untuk mempercepat pembangunan dan menjawab tantangan bangsa.”
Satu per satu nama diumumkan. Setiap nama yang disebut digantikan oleh sosok baru, tepuk tangan terdengar dari beberapa jurnalis, sementara lainnya sibuk mengetik cepat di ponsel. Di luar pagar Istana, sejumlah pendukung Pradipa mengibarkan bendera partai koalisi, meneriakkan yel-yel kemenangan.
Namun tidak semua pihak menyambut gembira.
Di sebuah ruang konferensi hotel mewah di kawasan Sudirman, Gema Rakarsa duduk bersama inti Lingkar Solo. Televisi di sudut ruangan menyiarkan langsung pengumuman reshuffle. Setiap kali nama orang mereka disebut dan digantikan, raut wajah yang duduk di meja memucat.
“Lima orang kita hilang dalam sekali pukul,” kata seorang pengusaha yang menjadi salah satu donatur utama.
Seorang mantan anggota DPR mengetuk meja keras. “Kalau kita diam, ini akan jadi gelombang bersih-bersih yang lebih luas. Kita harus balas.”
Gema tetap tenang. Ia tahu panik hanya akan membuat mereka salah langkah. “Kita mulai Operasi Bayangan Balik. Target kita bukan menyerang langsung, tapi menggerus legitimasi reshuffle ini di mata publik. Kita buat seolah ini hanya balas dendam politik.”
Rencana pun disusun. Influencer media sosial yang selama ini dekat dengan Lingkar Solo menerima instruksi: sebarkan narasi bahwa Pradipa sedang membersihkan orang hanya karena berbeda pandangan, bukan karena kinerja. Media daring yang bersahabat diminta menulis opini kritis. Bahkan, di beberapa daerah, jaringan relawan lama mulai digerakkan untuk menggelar diskusi publik yang mempertanyakan arah pemerintahan.
Seno, yang memimpin Tim Bayangan, cepat menangkap pergerakan ini. “Mereka tidak menyerang frontal, Pak,” lapornya kepada Pradipa di ruang kerja. “Tapi mereka menggunakan soft power. Narasi di media sosial mulai berubah. Dalam 24 jam terakhir, tagar #ReshuffleBalasDendam sudah masuk trending.”
Pradipa memandangi grafik yang Seno tunjukkan. Ia tahu perang opini bisa sama mematikannya dengan perang di lapangan. “Kalau mereka pakai jalur halus, kita juga harus halus. Tapi… jangan ragu untuk menekan titik lemah mereka.”
Titik lemah yang dimaksud adalah sejumlah proyek pemerintah daerah yang diduga dikelola jaringan Lingkar Solo dengan anggaran mencurigakan. Data sudah di tangan, tinggal menunggu waktu untuk membukanya.
Di Menteng, Gema menerima laporan bahwa tagar yang mereka dorong mulai menuai simpati dari segmen muda di media sosial. “Bagus. Teruskan,” katanya sambil memandang peta besar Indonesia di dinding. “Kita tidak bisa menyerang bentengnya langsung, tapi kita bisa mengikis fondasinya.”
Salah satu penasihatnya bertanya, “Apa Anda yakin publik akan percaya ini balas dendam?”
Gema tersenyum tipis. “Publik tidak butuh bukti penuh. Mereka hanya butuh alasan untuk ragu.”
Malam itu, Seno menggelar rapat darurat dengan para analis Tim Bayangan. “Operasi Catur Putih berhasil setengah jalan. Kita menempatkan orang-orang loyal di posisi kunci. Tapi jika legitimasi publik runtuh, ini bisa jadi bumerang.”
Seorang analis muda mengusulkan langkah berani: “Kita publikasikan bukti keterlibatan Lingkar Solo dalam kerusuhan akhir Agustus. Biar publik lihat alasan reshuffle ini jelas.”
Seno ragu. “Itu peluru terakhir. Sekali kita tembak, mereka akan menyerang balik habis-habisan.”
Di luar sana, Jakarta tampak seperti kota yang kembali normal. Lalu lintas padat, lampu kota menyala, kafe penuh pengunjung. Tapi di balik dinding gedung kekuasaan, dua operasi rahasia kini berjalan bersamaan—Operasi Catur Putih dan Operasi Bayangan Balik. Papan catur masih sama, tapi langkah-langkahnya semakin berani, dan taruhannya semakin besar.
Pradipa tahu, ini baru awal. Serangan balasan akan datang. Pertanyaannya bukan apakah, tapi kapan.
EDITOR: REYNA
Api Diujung Agustus (Seri 1) – Lima Hari Setelah Api Padam
Api Diujung Agustus (Seri 2) – Operasi Catur Putih
Related Posts

Zohran Mamdani adalah Pahlawan Kita

Soeharto, Satu-satunya Jenderal TNI Yang 8 Kali Jadi Panglima

Pro-Kontra Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Antara Rekonsiliasi dan Pengkhianatan Reformasi

Kasusnya Tengah Disidik Kejagung, Sugianto Alias Asun Pelaku Illegal Mining Kaltim Diduga Dibacking Oknum Intelijen

Habib Umar Alhamid: Waspada, Ombak dan Badai Bisa Menerpa Pemuda-Pemudi Indonesia

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

OKI mendesak Dewan Keamanan untuk mendukung keanggotaan penuh Palestina di PBB

Jokowi, Pratikno dan Prabowo Bisa Terbakar Bersama – sama

Pongah Jadi Menko Tiga Kali

Jihad Konstitusi Kembali ke UUD 18/8/1945


No Responses