Membangun Surabaya, Waqaf sebagai Alternatif Pembiayaan

Membangun Surabaya,  Waqaf sebagai Alternatif Pembiayaan
Isa Ansori

Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Wakil Ketua ICMI Jatim dan Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya

Rencana Pemerintah Kota Surabaya untuk menarik utang Rp1,5 triliun memicu polemik panjang. Sebagian kalangan DPRD menyetujuinya dengan alasan percepatan pembangunan, sebagian lain menolak karena khawatir beban utang itu akan diwariskan pada pemerintahan selanjutnya. Kecemasan publik wajar, sebab masa jabatan wali kota hanya lima tahun, sementara cicilan utang bisa membelenggu kota lebih lama.

Simulasi sederhana menunjukkan, dengan bunga 6–7% per tahun dan tenor lima tahun, cicilan tahunan bisa mencapai lebih dari Rp360 miliar per tahun, dengan total bunga yang ditanggung lebih dari Rp300 miliar. Angka ini jelas bukan kecil, apalagi jika harus mengurangi alokasi untuk layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur rakyat.

Dalam kondisi seperti ini, Surabaya membutuhkan terobosan. Salah satu alternatif yang mulai banyak diperbincangkan adalah waqaf. Tidak hanya waqaf tunai atau waqaf tanah, tetapi juga waqaf profesi.

Potensi Waqaf Profesi

Simulasi sederhana menunjukkan:

Skema konservatif (1% partisipasi profesional Surabaya) → Rp435 juta/bulan (Rp5,22 miliar/tahun).

Skema moderat (5%) → Rp2,17 miliar/bulan (Rp26,1 miliar/tahun).

Skema ambisius (10%) → Rp4,35 miliar/bulan (Rp52,2 miliar/tahun).

Potensi ini berasal dari beragam profesi: dokter, guru, pengacara, arsitek, perawat, akuntan, hingga profesional IT yang berwaqaf waktunya (jam kerja) untuk layanan masyarakat. Nilai ini memang bukan dana kas segar, melainkan value in-kind berupa layanan profesional. Namun jika dikelola dengan baik oleh BAZNAS dan Pemkot (misalnya melalui program Bangga Surabaya), nilai in-kind tersebut dapat dikonversi menjadi penghematan APBD secara nyata.

Alternatif dan Kolaborasi

Selain waqaf profesi, Pemkot dapat membangun model kapling pembiayaan dengan melibatkan:

1. Waqaf tunai masyarakat: misalnya 40% warga yang mampu berwaqaf Rp10.000 per bulan, potensi mencapai puluhan miliar rupiah per tahun.

2. CSR perusahaan dan zakat: diarahkan ke sektor pendidikan, kesehatan, dan UMKM.

3. Kerjasama lembaga keuangan syariah: sukuk sosial atau wakaf produktif untuk proyek strategis.

4. Filantropi internasional: hibah untuk program lingkungan dan ruang publik.

5. Profesional melalui waqaf profesi: kontribusi jam kerja sesuai keahlian, mengurangi biaya konsultasi, layanan hukum, medis, dan pendidikan.

6. Profesional melalui waqaf profesi juga bisa menyisihkan pendapatannya sehari dalam satu bulan untuk diberikan kepada pemerintah kota dalam membangun dan memberi layanan warga kota

Dengan pola ini, setiap program pembangunan bisa “dikapling” pembiayaannya: puskesmas dari kombinasi waqaf tanah + waqaf profesi dokter + CSR alat medis; sekolah dari zakat + waqaf profesi guru; taman kota dari filantropi dan CSR lingkungan.

Catatan Kritis

Namun, perlu kehati-hatian. Pertama, jangan sampai gagasan mulia ini hanya menjadi jargon politik tanpa mekanisme jelas. Kedua, potensi waqaf (baik tunai, tanah, maupun profesi) membutuhkan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan profesional agar masyarakat percaya. Ketiga, Pemkot tetap harus realistis—tidak semua pembangunan bisa dibiayai dengan waqaf; ada sektor yang memang harus dibiayai APBD.

Dengan demikian, waqaf bukan sekadar substitusi utang, tetapi juga inovasi pembiayaan sosial yang membangun partisipasi warga sekaligus memperkuat gotong royong kota. Seorang wali kota yang visioner bisa menjadikan ini sebagai tawaran politik kebijakan: membangun tanpa meninggalkan beban utang, sambil menggerakkan solidaritas sosial warga.

Surabaya, 30 September 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K