FIKSI POLITIK
Oleh: Budi Puryanto
Langit ibu kota pada pagi itu tampak biasa. Lalu lintas padat, orang-orang berangkat kerja, dan berita di televisi masih mengulang angka inflasi dan isu harga BBM. Namun di balik rutinitas itu, sesuatu yang jauh lebih besar sedang bergerak.
Pukul 09.00, laporan masuk ke ruang kendali Seno: beberapa unit militer bergerak tanpa komando resmi. Tank dan kendaraan lapis baja keluar dari barak, menuju arah pusat pemerintahan. Sinyal komunikasi mulai terganggu.
“Operasi Cahaya Merah sudah dimulai,” ujar Seno dengan suara dingin.
Di Istana, Presiden Pradipa berdiri kaku di depan jendela. Dari kejauhan ia bisa mendengar gemuruh konvoi. Para ajudan berlarian, telepon berdering tanpa henti, tapi wajah Pradipa tak berubah.
“Mereka benar-benar ingin mengambil negara ini dari tanganku,” gumamnya lirih.
Seorang perwira masuk tergesa. “Pak Presiden, sebagian pasukan sudah membelot. Gedung TV Nasional dikuasai. Pusat logistik minyak dikuasai. Bandara dikuasai. Pusat telekomunikasi dikuasai. Semua telah diduduki kelompok bersenjata. Mereka telah dengan berani menyiarkan pernyataan bahwa pemerintahan Bapak sudah berakhir.”
Pradipa mengepalkan tangan. Ia tahu, perang informasi kini berpacu dengan peluru.
Di jalan-jalan ibu kota, bentrokan pecah.
Pasukan Garuda menyerbu titik vital: markas kepolisian, gedung kementerian, dan kantor stasiun televisi. Ledakan terdengar di sekitar gedung DPR. Jalanan dipenuhi asap ban terbakar.
Maya, menyusup di antara kekacauan, mengaktifkan komunikator. “Seno, mereka sudah bergerak di semua titik. Ini bukan lagi manuver—ini deklarasi perang terbuka.”
Suara Seno terdengar mantap, meski di sekelilingnya suara tembakan menggema. “Dengar, Maya. Tugas kita bukan hanya menyelamatkan Presiden Pradipa. Kita harus pastikan negara ini tidak jatuh ke tangan bayangan. Fokusmu adalah menemukan pusat komando mereka. Aku akan menjaga jalur Istana.”
Di gedung TV Nasional dan semua TV swasta penyiar dipaksa membacakan deklarasi:
“Mulai hari ini, pemerintahan Presiden Pradipa dinyatakan telah berakhir. Demi rakyat dan bangsa, Garuda mengambil alih kendali negara. Semua pasukan diminta bergabung atau dianggap musuh rakyat.”
Kata-kata itu bergaung ke seluruh negeri. Di beberapa kota besar, simpatisan Garuda turun ke jalan membawa bendera. Serangan terkoordinasi terjadi di pelabuhan utama, bandara, hingga jaringan rel kereta.
Seno berlari menyusuri lorong darurat Istana. Timnya bersiap menghadang pasukan pembelot yang mencoba masuk lewat pintu barat. Dentuman granat mengguncang dinding.
“Pertahankan posisi! Jangan biarkan mereka masuk ke ruang kendali!” seru Seno.
Di tengah kepulan asap, ia sadar satu hal: ini bukan sekadar kudeta. Ini ujian terakhir antara bayangan dan terang, antara negara yang bertahan atau runtuh.
Hari itu, Gerakan yang disebut “Garuda Hitam” resmi melancarkan kudeta melalui “Operasi Cahaya Merah” — serangan serentak di ibu kota dan kota besar.
Pradipa terpojok, kehilangan kendali atas sebagian militer, namun masih berdiri di Istana.
Seno dan Maya bergerak di dua jalur berbeda: Seno menjaga pertahanan terakhir Pradipa, Maya berburu jantung komando Garuda.
Jantung Garuda
Kota itu berubah menjadi medan pertempuran. Jalan protokol yang biasanya dipenuhi kendaraan dan bendera merah putih kini terhalang tank, asap hitam dari ban terbakar, dan suara tembakan yang bersahut-sahutan.
Seno berada di garis pertahanan Istana, pelipisnya berlumur keringat bercampur debu mesiu. Radio komunikasinya terus berderak, laporan masuk dari semua arah: pasukan Garuda telah menduduki 3 kementerian, bandara utama, dan gedung DPR.
“Kalau mereka sampai berhasil menembus Istana, semua selesai,” gumamnya, sembari mengarahkan tim menutup jalur masuk barat.
Di sisi lain kota, Maya bergerak dalam bayangan.
Dengan identitas samaran, ia menembus gedung pencakar langit di kawasan bisnis, tempat intelijen Seno menandai sebagai pusat kendali rahasia Garuda. Lift berhenti di lantai 27, suasana mencekam. Maya menyiapkan pistol dengan peredam.
Lorong sepi, tapi ia tahu mata-mata Garuda mengawasi dari segala arah. Saat pintu terakhir terbuka, Maya terpaku.
Di dalam ruangan itu, bukan wajah asing yang menyambutnya. Wiratmaja—tokoh senior politik, orang kepercayaan Presiden Pradipa sendiri—sedang berdiri di depan layar penuh peta kota. Di sekelilingnya, beberapa perwira militer yang sudah membelot memberi laporan.
“Operasi Cahaya Merah berjalan sesuai rencana. Istana akan jatuh sebelum matahari terbenam,” kata Wiratmaja dengan suara mantap.
Dada Maya berdegup kencang. Benar dugaan Seno: jantung Garuda ternyata berada di lingkaran inti kekuasaan Presiden Pradipa.
Maya menyalakan alat perekam mini di saku jasnya, lalu melangkah maju. Namun seorang penjaga bersenjata otomatis segera menghalangi.
“Siapa kau?” bentak sang penjaga.
Maya tersenyum tipis. “Aku dikirim untuk mengantar kabar terakhir dari lapangan.”
Ia menyerahkan chip data palsu yang memang sudah dipersiapkan Seno sebagai umpan. Sang penjaga memeriksa sekilas, lalu mengizinkannya masuk.
Di dalam, Maya memperhatikan dengan seksama. Wiratmaja menunjuk titik-titik strategis di peta—bandara, markas kepolisian, gedung TV, pusat logistik. Semua serangan dipimpin langsung dari ruangan itu.
Dan ketika Wiratmaja menyinggung soal “fase akhir—mengumumkan pemerintahan darurat Garuda di televisi nasional,” Maya tahu: ini bukti yang mereka cari.
Sementara itu, di Istana, pertempuran semakin sengit. Seno memimpin perlawanan sengit di gerbang barat istana. Ledakan mortir membuat dinding berguncang. Seorang prajuritnya berteriak, “Komandan, kita hampir kehabisan amunisi!”
Seno menatap ke arah bendera merah putih yang masih berkibar di atas Istana. “Kita bertahan sampai tetes terakhir. Kalau mereka merebut ini, bangsa ini akan hancur dalam semalam.”
Maya, dengan tangan bergetar, menekan tombol pengirim data. Semua rekaman suara dan gambar Wiratmaja telah terkirim ke Seno. Ia hanya bisa berharap Seno masih hidup untuk menerimanya.
Di layar Seno yang berdebu dan retak karena ledakan, pesan masuk:
“Target utama terkonfirmasi: Wiratmaja. Dia otak Garuda.”
Seno menatap layar itu lama. Matanya menyipit, napasnya berat. “Jadi selama ini… pengkhianat itu ada di samping Presiden Pradipa sendiri….”
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Related Posts
Kerusakan besar ekosistem Gaza, runtuhnya sistem air, pangan, dan pertanian akibat serangan Israel
Ilmuwan Gunakan AI untuk Ungkap Rahasia Dasar Laut Antartika
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Kepala Desa Tirak, Suprapto, Membisu Soal Status Anaknya Yang Diduga Pembebasan Bersyarat (PB) Kasus Narkoba, Lolos Seleksi Calon Perangkat Desa
Jerat Jalur Merah: Ketika Bea Cukai Jadi Diktator Ekonomi
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Mahfud MD Guncang Kemenkeu: Bongkar Skandal 3,5 Ton Emas dan TPPU Rp189 Triliun di Bea Cukai!
Skandal Tirak: Dinasti Narkoba di Balik Kursi Perangkat Desa Ngawi
Studi iklim menunjukkan dunia yang terlalu panas akan menambah 57 hari superpanas dalam setahun
No Responses